Tidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim yang bagaimana.
Tugas utama seorang anak adalah berbakti pada orang tuanya.
Sekalipun orang tua itu seakan tak pernah mau menerima kita sebagai anaknya.
Dan itulah yang Aruna alami.
Karena seingatnya, ibunya tak pernah memanjakannya. Melihatnya seperti seorang musuh bahkan sejak kecil.
Hidup lelah karena selalu pindah kontrakan dan berakhir di satu keadaan yang membuatnya semakin merasa bahwa memang tak seharusnya dia dilahirkan.
Tapi semesta selalu punya cara untuk mempertemukan keluarga meski sudah lama terpisah.
Haruskah Aruna selalu mengalah dan mengorbankan perasaannya?
Atau satu kali ini saja dalam hidupnya dia akan berjuang demi rasa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bund FF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
terlambat
Kembali keributan malam ini terdengar di pintu rumahnya, padahal masih dini hari dan Aruna yang paham langsung saja membukakan pintu untuk ibunya yang sudah dua hari ini baru terlihat pulang.
"Anak goblok, buka pintu doang lama banget" ujar Selly yang kini pukulannya sudah bisa Aruna tangkis, tak jadi mengenai dirinya.
Tapi rupanya membuat sang ibu harus jatuh tersungkur karena tak seimbang saat berdiri dalam keadaan mabuk seperti ini.
"Sebenarnya ibu dari mana sih?" baru kali ini Aruna berani bertanya, setelah merasa jika pertumbuhannya sudah sangat baik bahkan tingginya sudah melebihi ibunya.
"Beraninya lo tanya-tanya. Memangnya apa urusan Lo melarang gue pergi kemanapun yang gue mau, dasar Wiguna yang tak berguna" cerca ibu Aruna dalam pengaruh alkohol.
Aruna sedikit berfikir, sebenarnya dia bisa mencari petunjuk tentang siapa bapaknya saat kondisi sang ibu sedang kalap begini. Tapi tentu harus berhati-hati juga.
"Siapa Wiguna?" tanya Aruna lagi sambil menyeret tubuh ibunya seperti malam-malam yang lalu.
"Si brengsek yang bikin Lo hadir di dunia ini, hahaha" tawa Selly terdengar perih, namun wajahnya masih saja beringas.
"Bapakku ya Bu?" tanya Aruna lagi.
"Lo diam, jangan banyak bacot. Gue capek, mau tidur" ujar ibu Aruna yang sudah sampai diatas kasur dan berbaring nyaman meski kasurnya tak begitu empuk.
Aruna terdiam, menutupi tubuh ibunya dengan selimut tipis hingga sebatas pundak. Menyisakan kepalanya yang menyembul dengan nafas teratur.
Sejenak menghela nafas. Aruna tahu sekarang kalau bapaknya bernama Wiguna.
"Seharusnya sejak lama gue tanya sama ibu kalau sedang mabuk. Lebih mudah informasinya keluar daripada saat sedang sadar" kata Aruna.
Padahal diapun paham kalau selama ini dia terlalu takut dengan semua perlakuan tak baik yang ibunya berikan.
Minggu kemarin saja dia masih terkena bogem mentah dari tangan ibunya hingga lebamnya baru saja menghilang.
"Untuk ke depannya gue harus berhati-hati saat ibu sedang mabuk. Harus bisa menghindar saat ibu mau pukul" tekadnya menguat mengingat baru saja dia bisa melakukannya, selamat dari tangan sang ibu.
......................
Aruna sudah memakai seragam sekolah pagi ini. Sudah bersiap pergi saat kembali ibunya berbuat ulah.
"Huekk... Huekk..." rupanya wanita itu tengah muntah di atas kasurnya.
"Ibu kan bisa pergi ke kamar mandi dulu, kenapa muntah disini sih" keluh Aruna yang sudah semakin berani, masalahnya sudah hampir jam tujuh dan dia harus sekolah.
"Diem Lo. Bacot doang bisanya. Cepetan beresin" masih dengan memegangi kepalanya yang pusing, Selly menatap malas pada anaknya yang terlihat mengenaskan.
Beruntung muntahan itu hanya mengenai selimutnya. Jadi Aruna bisa dengan mudah membawanya keluar dan memasukkan ke dalam tong sampah. Malas sekali untuk mencuci kotoran begitu.
Membiarkan ibunya berteriak sendiri, Aruna lebih memilih untuk berangkat sekolah saja meski pasti akan terlambat.
"Dasar anak nggak guna. Malah ditinggal pergi" kesal sang ibu setelah lelah mengumpat.
"Pak, sepertinya Selly sedang marah" kata Mirna yang tak mau ikut campur saat melihat Aruna melintasi samping rumahnya dengan langkah tergesa.
"Biarkan saja, Bu. Selama tidak mencelakai Aruna. Apa dia sudah berangkat?" tanya Burhan yang kini kembali sakit, pemeriksaan mengatakan bahwa pria itu terkena diabetes turunan.
"Aruna sudah pergi sekolah. Kasihan sekali anak itu sudah menderita semenjak kecil. Untung dia kuat ya pak" kata Mirna sendu, mengingat Aruna kecil yang sering menangis kelaparan di malam hari dan Mirna harus membuka pintu rumah kontrakannya dengan kunci cadangan demi bisa memberikan makan pada Aruna.
"Sebenarnya bapak heran, masak sih Aruna itu tidak punya saudara barang seorang saja? Semenjak dia tinggal di rumah belakang, bapak nggak pernah lihat ada yang berkunjung ke rumah itu" kata Burhan.
"Ibu juga nggak tahu, pak. Kalau ibu tanya pasti Aruna bilangnya tidak tahu. Mungkin semua saudaranya ada di kota kelahirannya ya, pak. Dia baru pindah ke kota ini ya langsung ngontrak di rumahnkita kan pak" kata Marni kembali mengingat awal perjumpaannya dengan Aruna dulu.
"Seandainya dia jadi orang berada,pasti dia itu cantik ya Bu. Sekarang saja dia kelihatan cantik meski tertutup dengan penampilan kusutnya. Kalau lah bapak punya rejeki lebih, ingin sekali bapak membelikan dia seragam sekolah yang baru biar bisa seperti teman-temannya" kata Burhan.
"Kalau sekarang lebih penting kesehatan bapak, sih. Berobat bisa pakai BPJS, tapi masalah makan harus cari sendiri kan, pak. Apalagi sekarang makanan bapak harus super dijaga. Kalau ada makanan lebih bisa kita berikan pada Aruna" kata Mirna yang memang tak banyak mendapatkan pemasukan saat suaminya sedang sakit.
......................
"Bukain dong pak" kesal Aruna yang baru telat beberapa detik saja tapi pak satpam malah menyuruhnya pulang.
"Terlambat ya terlambat, pokoknya nggak mau saya bukakan" kata pak satpam tak kalah kesal.
"Oke" jawab Aruna berlalu pergi. Meninggalkan sosok satpam yang termangu di hadapannya, tak biasanya murid terlambat tak merengek untuk dibukakan pintu.
Lantas pria itu memilih untuk kembali ke pos jaga di dekat gerbang.
Sementara Aruna malah berdiri di pagar samping sekolahnya. Menimbang langkah yang harus diambil untuk bisa memanjat tembok tinggi yang diatasnya terdapat lilitan kawat berduri.
Ada sebatang pohon Mahoni besar di tepi jalan yang berdiri kokoh tak jauh dari tembok itu.
"Lebih baik memanjat pohon, lalu meloncati pagar" kata Aruna menimbang lagi rencananya.
"Oke lakukan" katanya lirih lantas memanjat pohon mahoni yang sedang menggugurkan daunnya di musim kemarau.
Tak sulit baginya untuk memanjat pohon yang tingginya melebihi tembok sekolah. Lalu menilik ke dalam sekolahnya dan nampak para murid masih banyak yang bertebaran di luar kelas.
Ada taman si balik tembok. Gundukan tanahnya nampak lebih tinggi daripada jalanan yang menghubungkan taman itu dengan koridor sekolah.
Aruna berdiri di dahan yang menonjol, memantapkan tekad lantas meloncat ke permukaan taman dengan tumpuan kakinya.
Brugh!
Suara gedebuk membuat beberapa murid menoleh ke arahnya. Lantas dia meletakkan telunjuk di bibirnya agar mereka diam.
Untung saja tak ada yang memperdulikan kelakuannya. Aruna bisa berjalan santai ke arah kelasnya yang harus melewati pos satpam.
Tapi ada yang aneh disini. Nampak diluar pagar ada juga siswa yang datang terlambat. Siswa bermobil itu melambaikan selembar uang berwarna merah agar satpam yang tadi mau membukakan pintu.
Dan semua berjalan mulus dengan bantuan selembar uang berwarna merah bergambar dua bapak-bapak yang sedang tersenyum.
Tatapan matanya nanar melihat itu semua dan membuatnya terpaku dengan pandangan pada siswa dan satpam yang terlibat aksi tutup mulut.
"Hei, kamu kan yang tadi terlambat ya? Kenapa bisa ada di dalam lingkungan sekolah?" tanya satpam yang sempat celingukan berharap aksinya tak diketahui oleh siapapun.
Aruna hanya menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah mobil yang melewatinya. Rupanya Tyo yang sedang terlambat. Aruna sendiri tidak menyangka jika kakak kelasnya itu mengendarai mobil pribadi untuk kendaraan sekolahnya.
"Banyak dosa Lo pak" ejek Aruna saat satpam itu memasukkan uang sogokan dari Tyo.
"Awas Lo ya" kata pak satpam berniat mengejar sementara Aruna sudah melangkah pergi menuju kelasnya. Meski melangkah dengan santai, nyatanya satpam itu takut juga untuk berurusan dengan Aruna yang menjadi saksi atas ketidakadilan yang baru saja menimpanya.
Tyo nampak sedikit berlari untuk mensejajari langkah Aruna yang sudah semakin jauh. Berusaha membuat obrolan dengan siswi yang katanya tak punya teman itu.
"Lo telat juga?" tanya Tyo.
"Bukan urusan Lo juga sih" jawab Aruna tak suka.
"Terus gimana caranya Lo bisa masuk?" tanya Tyo masih penasaran.
"Manjat pohon" jawab Aruna jujur.
Tyo malah tergelak, melihat penampilan Aruna dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Lantas menggelengkan kepala.
"Nggak mungkin. Bohong dosa tau" kata Tyo dengan senyum yang menurut siswi lain pasti terlihat tampan, tapi biasa saja di mata Aruna.
"Terserah Lo sih mau percaya atau enggak. Bukan urusan gue juga" jawab Aruna yang masih enggan menerima teman baru.
"Run, gue cari dari tadi juga. Lo telat ya?" tanya Ferdi sedikit tergesa.
"Iya" jawab Aruna singkat.
Tyo sedikit tak suka dengan kedatangan Ferdi, tapi membiarkan saja saat cowok itu berinteraksi dengan Aruna.
"Terus gimana bisa masuk?" tanya Ferdi lagi.
"Tadi gue manjat pohon" jawab Aruna.
"Kebiasaan" kata Ferdi nampak biasa, tak ada keterkejutan disana. Jadi bisa Tyo simpulkan jika apa yang Aruna katakan memang benar. Cowok itu jadi merasa tertarik dengan Aruna yang aneh.
"Mau apa nyari gue?" tanya Aruna yang sudah sampai di depan kelasnya sementara Ferdi masih mengekor.
"Sampai lupa. Ini ada titipan dari emak gue. Ada lebihan kue pesanan. Jadi emak nyuruh gue buat ngasih ke Lo" kata Ferdi sambil menyerahkan kantong kresek pada Aruna yang terlihat ada beberapa kue di dalamnya.
"Bilangin makasih ya buat emak Lo. Ada perlu lagi?" tanya Aruna.
"Nanti Lo kerja ya?" tanya Ferdi.
Aruna hanya mengangguk.
"Sebenarnya di rumah gue ada acara tahlilan, Run. Emak nyuruh gue buat bilang sama Lo biar bisa datang. Tapi acaranya habis Maghrib, nah Lo kan baru pulang habis isya" kata Ferdi dengan pikirannya.
"Tapi nggak apa-apa deh. Lo datang ke rumah gue ya nanti habis isya. Emak pasti paham sama keadaan Lo" ucap Ferdi yang sebenarnya sangat kasihan dengan keadaan teman perempuannya ini.
"Iya, nanti gue langsung ke rumah Lo" jawab Aruna.
"Lo nggak ke kelas Lo sendiri, kak?" tanya Aruna yang melihat tak ada pergerakan dari Tyo yang mematung di sebelahnya. Padahal bel sudah berbunyi dari tadi. Beruntung masih ada sedikit rapat intern di kantor guru, jadi masih banyak murid yang berkeliling depan kelasnya.
"Oh iya, gue ke kelas deh" kata Tyo yang malu sendiri. Ngapain juga malah penasaran dengan Aruna.