'GURUKU ISTRIKU, SURGA DUNIAKU, DAN BIDADARI HATIKU.'
***
Dia adalah gurunya, dia adalah muridnya. Sebuah cinta terlarang yang berakar di antara halaman-halaman buku teks dan derap langkah di koridor sekolah. Empat tahun lebih mereka menyembunyikan cinta yang tak seharusnya, berjuang melawan segala rintangan yang ada. Namun, takdir, dengan segala kejutannya, mempertemukan mereka di pelaminan. Apa yang terjadi selanjutnya? Petualangan cinta mereka yang penuh risiko dan janji baru saja dimulai...
--- INI ADALAH SEASON 2 DARI NOVEL GURUKU ADALAH PACARKU ---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Satu Ranjang
"Tapi tunggu deh. Papa masih belum paham. Kamu h4mil Ma? Seriusan? Kok bisa?" tanya Papa Indra, masih belum sepenuhnya percaya dengan kabar tersebut.
Dengan kuat Zora mengangguk. "Ya bisalah kan kita sering main. Kamu lupa ya kalau kita main itu bisa sampai berjam-jam? Aku udah nggak pernah pakai alat kontrasepsi lagi loh sekarang. Jadi ya udah pasti buah cinta kita itu tumbuh di rahim aku," katanya jujur. Meskipun terkesan vu-lgar, tapi memang itu benar adanya.
Lingga mendengus kesal. "Di sini masih ada yang belum nikah loh. Mohon di filter dikit ucapannya, jangan asal jeplak aja!" peringatnya ketus.
Zora dan yang lain menoleh ke arah Lingga. "Eh, maaf ya Nak, mama lupa kalau kamu satu-satunya yang belum menikah di sini," kata Zora.
Lingga mendengus, membuang mukanya. "Serah deh! Tiap hari salah mulu. Kayaknya aku emang nggak ada di mata mama sekarang!" Suaranya terdengar kecewa.
Tentu saja semuanya terkejut mendengar ucapan Lingga. Terlebih Zora. Ia langsung berdiri dan duduk di samping Lingga.
"Kok ngomong gitu sih? Mama sayang sama kamu dan kakak kamu. Mama nggak pilih-pilih kok. Kamu selalu ada di hati Mama, Sayang," ujar Zora lembut, mencoba membujuk Lingga yang tengah ngambek.
Lingga tetap tidak menoleh. Cuek, ia tidak menjawab. Bahkan menepis tangan mamanya yang ingin memegang tangannya.
"Pacar kamu siapa Ling? Mau tunangan secepatnya?" tanya Papa Indra tiba-tiba.
Semua orang terperanjat mendengarnya, serentak menoleh ke Papa Indra. Mata Lingga melebar tak percaya.
"Papa apa-apaan sih?! Kok tiba-tiba nawarin aku tunangan?" tanya Lingga.
Papa Indra menggeleng, wajahnya serius. "Papa serius, Ling. Papa mau kamu tunangan. Kamu sekarang kan udah memasuki kuliah semester pertama, udah dewasa. Daripada kamu cemburu lihat kakak kamu mesra-mesraan sama istrinya, mending kamu tunangan aja dan kenalin pacar kamu sama kita. Nanti waktu pertengahan kuliah papa mau kamu nikah sama pacar kamu," katanya.
"Oh iya, kamu udah punya pacar kan? masa iya anak papa yang ganteng ini nggak punya pacar," lanjutnya.
Lingga tajam menatap papanya. Tampak tidak suka dengan apa yang papanya katakan. "Aku nggak mau tunangan sekarang Pa. Aku mau nentuin tanggalnya sendiri!" tegasnya.
"Jadi kamu ada pacar, Ngga?" tanya Kaesang.
Lingga menoleh ke Kaesang, tatapannya tak berubah. "Ada lah. Yakali aku di sana cuma fokus belajar tanpa berbaur sama yang lain. Aku udah punya pacar dan aku pernah lihat dia," katanya.
"Lihat apa Ling? Kamu...nggak pernah macem-macem kan di luar sana?" tanya Papa Indra, alisnya mengerut. Tatapannya tajam.
Lingga merasa sesak napas. Ia menelan ludah dengan susah payah, lalu menoleh ke arah papanya. "Papa jangan nuduh aku yang nggak-nggak ya! Aku nggak pernah macam-macam di London sana. Palingan cuma tidur satu ran-jang. Ups!!" Lingga keceplosan. Kedua tangannya dengan cepat menutupi mulutnya. Jantungnya berdebar kencang, matanya melotot.
Ia baru sadar bahwa seharusnya ia tidak mengatakan hal itu.
Papa Indra dan Zora sama-sama tercengang. Keduanya saling bertukar pandang, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja Lingga katakan. "Maksud kamu apa, Ling? Jangan macam-macam, ya!" tegur papanya dengan nada tegas.
"Iya Ngga. Maksudmu apa tidur satu ran-jang? Meskipun cuma tidur dan nggak ngelakuin apapun tapi kalian sudah salah dengan tidur dalam satu ran-jang yang sama. Kalian bukan muhrim!" Tegur Mama Zora, suaranya tegas dan sedikit meninggi, membuat Kaesang dan Tyas terdiam.
Mereka juga sama seperti Lingga. Mereka juga pernah tidur dalam satu ran-jang yang sama. Bahkan itu tidak sekali dua kali.
"M4ti gue! Gue dan Tyas kan juga pernah ngelakuin itu. Bahkan, kita hampir kelepasan," batin Kaesang, jantungnya berdebar kencang. Nafasnya tercekat.
"Iya Ma, Pa, aku salah. Maafin aku ya karena udah mutusin buat tidur dalam satu ran-jang yang sama sama pacar aku. Tapi kalian harus tau dulu alasanku apa untuk tidvr dengan dia padahal aku tau kalau kita bukan muhrim. Aku tidvr dengannya juga karena terpaksa Ma, Pa," kata Lingga. Matanya berapi-api. Sepertinya ada sesuatu besar yang akan ia sampaikan.
Papa Indra dan Mama Zora mengerutkan dahi. Bingung, marah, dan penasaran, semua perasaan itu bercampur aduk dalam diri mereka.
"Terpaksa karena apa Ling?" tanya papa Indra.
Lingga menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya. Ia menundukkan wajahnya sekilas lalu mengangkatnya lagi dan menatap ke arah kedua orang tuanya. Tatapannya serius, jauh berbeda dari biasanya yang selalu riang.
"Pacarku itu hampir dile-cehkan dua orang asing berpakaian preman saat baru pulang dari bimbelnya Pa, Ma...." Lingga terus bercerita tentang apa alasannya tidur satu ran-jang dengan pacarnya kepada semua keluarganya.
Mereka semua mengerti dan mengangguk. Lalu cerita Lingga berakhir.
"Oh gitu. Tapi lain kali kamu jangan tidur satu ran-jang sama dia kalau belum sah ya. Mama cuma takut kalau kalian kebab-lasan dan akhirnya terjadi sesuatu yang nggak diinginkan. Mama nggak mau kamu kenapa-napa Nak," kata Zora mengingatkan, terlihat khawatir.
"Ling, lain kali kamu anterin aja dia pulang ke apartemennya daripada kamu bahwa dia ke apartemen kamu. Ya meskipun kamu cuman tinggal sendirian di apartemen. Oh iya, nama pacar kamu siapa? Dia satu kampus sama kamu?" tanya Papa Indra.
Lingga menghela napas panjang, mengangguk mengerti. "Iya deh maafin aku ya. Aku nggak akan ngelakuin itu lagi. Ehm, nama pacarku...Irish, dia satu kampus sama aku, cuma beda jurusan aja," jelasnya.
Sedari tadi Kaesang dan Tyas hanya diam dan menyimak keluarganya mengobrol. Tanpa sedikitpun mau menimbrung.
Lingga menoleh ke kakaknya. "Kak Kae, kamu dan kakak ipar kenapa diam aja? Lagi sariawan ya?" candanya.
Zora menangkap gelagat aneh antara Kaesang dan Tyas. Alisnya bertaut, memperhatikan mereka dengan saksama.
"Nggak papa," sahut Kaesang singkat. Dinginnya kembali menyelimuti sikapnya, seperti sebelum ia memaafkan dan melupakan semuanya. Wajah dan suaranya sama persis seperti dulu, sebelum semuanya berlalu.
"Kamu kenapa Kae?" tanya mama Zora.
Kaesang menggeleng. "Nggak papa, aku nggak papa!" tegasnya.
"Kamu nggak pernah ngelakuin hal kayak yang Lingga lakukan, kan Kae? Kamu sama Tyas nggak pernah tidur satu ran-jang yang sama kan sebelum nikah?" tanya papa Indra curiga. Kecemasan terlihat jelas di wajahnya.
Kaesang menelan ludah, gugup bukan main. Baru kali ini ia merasakan debaran jantung sekuat ini. Pandangannya menjelajah, mencari kata yang tepat tanpa harus sepenuhnya jujur. Tapi...
"Maafin kami Pa, Ma. Kami...memang pernah tidur dalam satu ran-jang yang sama. Tapi kami nggak pernah ngelakuin ade-gan itu kok Pa. Tyas dan Kaesang...hanya tidvr bersama saja." Kaesang mencoba mencari jawaban lain yang lebih aman, tetapi Tyas dengan polosnya langsung mengatakan yang sebenarnya.
Ia sudah pasrah dengan reaksi keluarganya nanti. Pasti mereka akan marah kepadanya dan Tyas. Itu sudah jelas. Pikir Kaesang.
Dorr!!
Benar apa yang dipikir Kaesang. Mama dan Papanya terkejut. Kedua mata mereka membelalak, menatap Kaesang dan Tyas dengan tak percaya. Jantung mereka berdebar kencang, seolah-olah baru saja menaiki roller coaster.
"APAA???!!!" teriak mereka serentak.
Bersambung ...