Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Mario mengangguk perlahan, wajahnya penuh ketegasan. "Tentu saja. Renaya berhak tahu siapa ayah kandungnya, dan kamu berhak untuk keluar dari sini. Aku akan pastikan itu terjadi, Daniel. Kita akan bekerja sama."
Daniel menghela napas, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Sebelumnya, dia merasa tak ada lagi harapan, namun kini, ada seseorang yang bersedia mengulurkan tangan. Meskipun dia masih belum sepenuhnya bisa mempercayai Mario, ada sesuatu dalam sikap Mario yang membuatnya berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, ada jalan keluar.
"Baiklah," kata Daniel akhirnya, suara penuh pertimbangan. "Aku akan mempercayakan itu padamu, Mario. Tapi ingat, Renaya harus tahu kebenarannya. Kita tak bisa terus bersembunyi dari masa lalu."
Mario mengangguk setuju, senyumnya tipis namun penuh tekad. "Renaya akan tahu, Daniel. Kita akan buka semuanya padanya, saat waktunya tepat."
Mario melangkah masuk ke dalam apartemen setelah hari yang panjang. Begitu pintu tertutup, aroma familiar yang menyambutnya membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Renaya, yang sedang duduk di meja makan dengan buku dan laptop terbuka, tampak sibuk mengerjakan tugas kuliah. Pemandangan itu membuat Mario tersenyum kecil. Ia selalu merasa senang melihat Renaya fokus dan serius, meskipun saat itu, perasaan rindu padanya begitu kuat.
Dengan langkah perlahan, Mario mendekat, lalu memeluk tubuh Renaya dari belakang. Tangan besarnya melingkar di pinggangnya, dan ia menundukkan kepala untuk mencium bibir Renaya dengan lembut. Renaya yang terkejut sedikit menoleh, merasakan kehangatan tubuh Mario yang menyelimuti punggungnya.
"Daddy..." Renaya merengek manja, suaranya sedikit terputus karena ciuman itu. "Aku mau selesaikan tugasku dulu."
Mario tersenyum, merasa senang dengan tingkah manja Renaya. "Iya, Daddy tahu, selesaikan tugasmu dulu," jawabnya sambil melepaskan pelukannya. "Daddy mandi dulu," tambah Mario, meraih handuk yang tergeletak di meja.
Renaya mengangguk, namun matanya masih tidak bisa lepas dari sosok Mario. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. "Daddy habis dari mana?" tanyanya, matanya menatap dengan penuh perhatian.
Mario yang semula sudah melangkah menuju kamar mandi, berhenti sejenak. Ia tahu betul pertanyaan itu akan datang, dan ia harus mencari cara untuk menghindari jawaban yang sebenarnya. Meskipun ia sudah berjanji untuk memberitahukan Renaya tentang banyak hal, kali ini ia merasa belum saatnya memberitahunya tentang kunjungannya ke penjara untuk menemui ayah kandung Renaya.
Dengan wajah datar dan nada yang tenang, Mario menjawab, "Habis ketemu klien."
Renaya mengerutkan kening sedikit, namun tidak memaksa untuk bertanya lebih lanjut. Mungkin, pikirnya, itu memang urusan bisnis yang tak perlu dibahas lebih jauh. Dia kembali menatap layar laptopnya, mencoba melanjutkan tugasnya, meskipun di dalam hati ada sedikit rasa ingin tahu yang tak terjawab.
Mario merasa lega, walau hanya sedikit, karena Renaya tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia melangkah menuju kamar mandi, meski pikirannya tetap dipenuhi dengan banyak hal yang harus diselesaikan.
Setelah selesai mandi, Mario melangkah keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih sedikit basah, rambutnya yang basah tampak rapi disisir ke belakang. Dengan langkah tenang, dia mendekati tempat tidur, di mana Renaya tengah sibuk menatap layar laptopnya, tampak tenggelam dalam tugas kuliahnya. Mario duduk di belakangnya, tidak mempedulikan tumpukan buku dan kertas yang berserakan. Perlahan, dia melingkarkan tangannya di pinggang Renaya, menariknya lebih dekat ke tubuhnya.
"Sayang," bisik Mario, suaranya serak dan lembut. Pelukan eratnya semakin menghangatkan tubuh Renaya. Dia mencium tengkuk Renaya dengan lembut, merasakan keharuman rambut panjang wanita itu. "Ayo, lekas selesaikan tugasmu. Daddy ingin tidur," goda Mario dengan suara manja, namun matanya tidak bisa menyembunyikan keinginannya untuk menghabiskan waktu bersama Renaya, jauh dari segala kekhawatiran dunia luar.
Renaya sedikit terkejut dengan pelukan hangat itu. Tugas kuliah yang ia kerjakan semula mulai terasa sedikit berat, terutama setelah ciuman lembut yang menggoda di tengkuknya. Meskipun rasa malas mulai muncul, Renaya tahu, Mario selalu memiliki cara untuk membuatnya lupa sejenak dengan pekerjaan dan segala kepenatan.
"Daddy, aku... hampir selesai," jawab Renaya dengan sedikit terengah, berusaha melanjutkan tugasnya meski kehangatan dari pelukan Mario membuatnya sulit berkonsentrasi.
Mario hanya tersenyum puas mendengar itu, tangan kanannya merayap ke sisi perut Renaya, memberi tekanan lembut seolah meminta perhatian penuh darinya. "Aku tahu, sayang. Tapi jika kamu tidak cepat selesai, Daddy akan semakin sulit tidur," ujarnya, sambil mencium tengkuk Renaya lagi.
Renaya akhirnya menyerah, sedikit memutar tubuhnya sehingga kini wajahnya menghadap Mario. Dia tersenyum manis, mencoba mengalihkan fokusnya dari tugas yang terabaikan. "Oke deh, Daddy, kamu menang," katanya sambil sedikit tertawa, meskipun matanya tampak masih sedikit lelah.
"Yang penting kamu jaga kesehatan, sayang," kata Mario sambil tersenyum lebar, matanya penuh perhatian. "Besok kita bisa santai, ya? Tidur yang nyenyak dulu sekarang."
Renaya mengangguk, akhirnya menutup laptopnya dan meletakkannya di samping. "Iya, Daddy, aku juga capek."
Mario menatap Renaya sejenak, kemudian mengelus lembut rambutnya sebelum kembali memeluknya erat. Mereka berdua terdiam dalam kehangatan pelukan, menikmati kebersamaan yang sesederhana itu.
“Daddy….” Erang Renaya seperti biasanya, ketika Mario menikmati setiap jengkal tubuh indahnya.
“Mendesah, baby. Buat Daddy puas malam ini,” bisiknya.
Kegiatan panas mereka berlangsung cukup lama, tidak peduli diluar hujan deras disertai petir, menambah suasana syahdu dalam peraduan cinta mereka.
Mario duduk dengan tenang di tepi tempat tidur, memperhatikan Renaya yang tertidur pulas di pelukannya. Beberapa helai rambutnya jatuh ke wajah, dan napasnya yang teratur menambah ketenangan malam itu. Dia tahu, keputusannya untuk mengungkap masa lalu Renaya dan membantu Daniel keluar dari penjara adalah langkah besar yang bisa mengubah banyak hal dalam hidup mereka. Namun, yang terpenting bagi Mario adalah memastikan bahwa Renaya akhirnya bisa bersatu kembali dengan ayah kandungnya, yang selama ini terpisah oleh kebohongan yang diciptakan oleh Arnold.
Setelah beberapa saat merenung, Mario akhirnya meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Dia membuka layar dan mencari nama yang sudah familiar di daftar kontaknya, yaitu Devon. Tangan Mario sedikit gemetar, bukan karena ragu, tapi karena perasaan tegang yang menghimpitnya. Dia memerlukan langkah pasti agar semuanya berjalan lancar. Tanpa membuang waktu lebih lama, Mario menekan tombol panggilan.
Beberapa detik kemudian, suara Devon terdengar di ujung telepon. "Tuan, ada apa?" tanya suara Devon yang terdengar masih tenang, meskipun mengetahui bahwa Mario jarang menghubunginya di luar urusan penting.
"Persiapkan tim pengacara untuk pembebasan Daniel," kata Mario dengan nada yang tegas namun penuh keyakinan.
Devon terdiam sesaat, seolah mencerna perintah tersebut. "Tuan, apakah Anda yakin? Itu keputusan besar," jawab Devon akhirnya, mencoba memastikan bahwa Mario telah memikirkan segala konsekuensinya.
"Aku yakin," jawab Mario singkat. "Renaya harus tahu kebenarannya, dan Daniel harus dibebaskan. Tidak ada lagi alasan untuk menunggu. Kita akan menghadapinya bersama."
Devon kembali terdiam, tapi bisa merasakan tekad kuat dalam suara Mario. "Baik, Tuan. Saya akan segera mempersiapkan semuanya. Anda bisa mengandalkan kami," jawabnya akhirnya, mengakhiri pembicaraan dengan penuh rasa hormat.
**
**
**
Arnold duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi kemarahan yang tak bisa disembunyikan. Tangan kanannya mengepal erat, seakan menahan amarah yang hampir meledak. Di depannya, Bella berdiri dengan wajah tak terperlihatkan, namun ada sedikit kegelisahan yang terlihat dari gerakannya. Meskipun Arnold mencoba untuk tetap tenang, aura kemarahan yang memancar darinya sulit untuk disembunyikan.
“Jadi, kamu masih sering ke club malam?” tanya Arnold dengan suara berat, berusaha menahan nada marahnya. “Kamu kira ini waktu yang tepat untuk hal itu?”
Bella hanya diam, matanya teralihkan, seolah tak siap menghadapi ledakan emosi Arnold. Meskipun dia tahu perbuatannya salah, dia merasa sulit menjelaskan diri, apalagi dengan kondisi seperti sekarang.
Arnold bangkit dari tempat tiduran, berjalan mendekat ke Bella. Wajahnya semakin serius, dan ada kilatan ketegangan di matanya. “Kamu tahu, Bella, kita punya banyak masalah yang harus kita selesaikan, dan kamu malah berpikir untuk pergi bersenang-senang begitu saja?” Arnold menggertak, suaranya semakin keras.
Bella akhirnya membuka mulut, mencoba mempertahankan diri. “Aku hanya... butuh waktu untuk diri sendiri, Arnold. Semua ini terasa sangat menekan. Aku hanya mencoba untuk sedikit melupakan semuanya,” jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar.
Namun, Arnold tidak tampak puas dengan penjelasannya. Dia melangkah mundur sejenak, menarik napas panjang, dan menghela udara dengan keras. “Melupakan semuanya? Apa yang harus kita lupakan? Kamu tidak paham bahwa kita sedang berada dalam situasi yang sangat serius? Kita punya banyak hal yang harus dikelola, dan kamu malah larut dalam dunia itu?” seru Arnold, menunjuk ke arah dinding dengan frustasi.
Bella hanya bisa menatapnya, merasa bingung antara keinginannya untuk menenangkan Arnold dan ketidakmampuannya untuk meredakan ketegangan yang ada. Meskipun dia mengerti bahwa Arnold sedang kesal, dia juga merasa frustasi dengan dirinya sendiri. Ini bukan kali pertama mereka terlibat dalam pertengkaran serupa. Sejak hubungan mereka mulai retak, Bella merasa ada jarak yang semakin besar antara mereka berdua.
“Aku tahu kamu kesal, Arnold,” Bella akhirnya berkata pelan, hampir seperti berbisik. “Tapi ini bukan hanya tentang kamu atau aku. Ada banyak hal yang harus kita hadapi. Aku hanya merasa lelah.”
Arnold menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangannya ke lantai. “Kamu pikir aku tidak lelah?” ujar Arnold, suara serak. “Aku sudah cukup lelah dengan semua ini, Bella. Tapi kita harus lebih fokus, lebih berhati-hati. Kita tidak bisa bermain-main lagi.”
Suasana hening sejenak, keduanya terdiam, masing-masing merasakan beban yang ada di pundak mereka. Arnold menatap Bella dengan tatapan yang penuh penyesalan, namun kebingungannya semakin dalam. Sementara Bella, meskipun tahu dia salah, merasa kesulitan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya dia rasakan.
Akhirnya, Arnold berkata dengan suara lebih rendah, “Aku berharap kamu mengerti. Ini bukan hanya tentang kita berdua. Ini tentang masa depan kita, tentang semua yang kita bangun.”
Bella hanya tersenyum, “Dasar pria bodoh!” serunya dalam hati.