Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertahan tapi Sakit
Keesokan harinya, setelah malam yang penuh kekerasan, Nanda merasa tubuhnya lelah dan terhuyung, namun ia tetap mencoba untuk menyembunyikan rasa sakit yang ia alami. Ibu Turi, yang tidak bisa lagi menahan rasa iba terhadap Nanda, segera mengambil keputusan. Ia tahu bahwa setiap kali Dimas melampiaskan amarahnya, Nanda selalu dibawa ke klinik teman Dimas, tempat yang seakan menjadi rutinitas pasca kekerasan. Meskipun begitu, Ibu Turi merasa bahwa kali ini ada sesuatu yang harus berubah.
Di pagi hari, setelah Nanda mencoba bangkit dari tempat tidurnya dengan susah payah, Ibu Turi datang menghampiri dengan penuh perhatian. "Nanda, kita harus pergi ke klinik," ujar Ibu Turi dengan suara lembut, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa ini adalah rutinitas yang tak bisa dihindari, namun dalam hatinya, ia merasa cemas dan ingin agar Nanda mendapatkan perlindungan yang lebih dari sekadar perawatan fisik.
Nanda hanya menunduk, merasa tak berdaya. Walau rasa sakit di tubuhnya begitu nyata, ada rasa keputusasaan yang lebih dalam. "Aku tidak ingin pergi, Bu Turi," jawab Nanda pelan, suaranya hampir hilang tertelan kesedihan. Ia tahu bahwa berobat ke klinik itu hanya akan membuatnya kembali ke kenyataan pahit yang harus dihadapinya setiap hari.
Namun, Ibu Turi tak bisa membiarkan Nanda terus terperosok dalam kesakitan tanpa ada langkah lebih lanjut. Ia meyakinkan Nanda dengan lembut, "Kamu harus pergi, Nanda. Setidaknya, kita bisa memastikan kamu tetap sehat dan aman sementara waktu." Meskipun suara Ibu Turi terdengar seperti sebuah nasihat, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini hanyalah sebuah pengalihan sementara dari kenyataan yang lebih gelap.
Dengan langkah terpaksa, Nanda mengikuti Ibu Turi menuju mobil yang siap menjemput mereka. Sementara itu, Dimas yang sedang sibuk dengan urusannya sendiri tampaknya tidak terlalu memperhatikan, seperti biasa. Ia tahu bahwa setelah kekerasan, Nanda akan selalu diam, dan ia tak perlu bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Klinik itu tidak jauh dari rumah mereka, sebuah tempat yang sudah terlalu sering Nanda datangi. Klinik yang memiliki nuansa sejuk dan modern, namun bagi Nanda, tempat itu hanya mengingatkan pada luka-luka yang sering ia sembunyikan dari orang lain. Sesampainya di klinik, Nanda dengan langkah lemas mengikuti Ibu Turi masuk ke ruang tunggu.
Dokter yang merawatnya, Dr. Adi, adalah teman lama Dimas, dan ia sudah terbiasa dengan kedatangan Nanda yang terpaksa menerima kekerasan dalam rumah tangga. "Bagaimana kabarmu hari ini, Nanda?" tanya Dr. Adi dengan suara yang terdengar datar, seolah sudah biasa dengan kondisi Nanda yang selalu datang setelah mendapatkan kekerasan.
Nanda hanya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan luka batin yang lebih dalam dari luka fisiknya. "Baik, Dok," jawabnya pelan, meskipun jelas sekali bahwa tubuhnya penuh dengan memar dan luka-luka yang tersembunyi.
Setelah pemeriksaan singkat, Dr. Adi memberikan resep obat untuk mengurangi rasa sakit dan mengobati memar-memar di tubuh Nanda. Namun, Ibu Turi yang merasa tidak puas dengan hanya perawatan fisik itu, mengambil inisiatif untuk berbicara dengan dokter setelah pemeriksaan selesai.
"Ibu Turi, apakah ada cara lain untuk membantu Nanda?" tanya Dr. Adi dengan nada rendah. Ibu Turi merasa seakan kata-kata itu penuh dengan rasa penyesalan, tetapi ia juga tahu bahwa di balik kebaikan Dr. Adi, ada batas-batas yang tak bisa ia langgar, terutama terkait dengan hubungan Dimas dan Nanda.
Sementara itu, Nanda duduk di ruang tunggu dengan tatapan kosong, merasa seperti hidup dalam sebuah lingkaran setan yang tak bisa ia hindari. Setiap kali ia datang ke klinik ini, ia tahu bahwa itu hanya sebuah pengulangan dari penderitaan yang harus ia alami. Ia tak tahu lagi bagaimana melarikan diri, bagaimana melepaskan diri dari pernikahan yang membuatnya merasa mati perlahan.
Ibu Turi kembali ke ruang tunggu dan menatap Nanda dengan prihatin. "Nanda, aku tidak tahu bagaimana lagi bisa membantumu. Tapi aku akan selalu ada untukmu," kata Ibu Turi dengan suara bergetar.
Nanda menatapnya, mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa hancur. "Terima kasih, Bu Turi. Tapi aku… aku tidak tahu harus bagaimana lagi."
Ibu Turi hanya menghela napas panjang, merasakan betapa beratnya penderitaan Nanda. Ia tahu, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa Nanda terjebak dalam pernikahan yang penuh kekerasan.
Setelah sesi perawatan selesai, Nanda dan Ibu Turi kembali ke rumah, menuntun Nanda kembali ke kehidupan yang gelap dan penuh ketidakpastian. Namun, di dalam hati Ibu Turi, ada secercah harapan bahwa suatu saat Nanda bisa menemukan jalan keluar dari kehidupannya yang penuh siksaan ini.
***
Sesampainya di rumah, Nanda merasa tubuhnya lemas dan langkahnya berat. Ibu Turi yang melihatnya dengan wajah cemas mengantarkannya sampai pintu depan. Namun, saat pintu dibuka, Nanda langsung disambut dengan tatapan tajam dari ibu mertuanya, Ny. Hutami Satrojoyo Larung, yang sedang berdiri dengan tangan terlipat di depan dada.
Ny. Hutami yang melihat kondisi Nanda, wajahnya memerah, bukan karena iba, melainkan karena kemarahan. "Kamu berani-beraninya kabur dari pesta keluarga?!" suara Ny. Hutami terdengar tajam dan penuh amarah. Tanpa memberi kesempatan bagi Nanda untuk menjawab, Ny. Hutami melayangkan tamparan keras ke pipi Nanda, membuat Nanda terhuyung mundur.
Rasa sakit dari tamparan itu lebih tajam dari luka fisik apapun yang dialaminya. Nanda tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, menahan tangis yang hampir keluar dari matanya. Ny. Hutami menatapnya dengan penuh kebencian, seolah Nanda adalah sumber segala masalah dalam keluarga mereka. "Kamu sudah menikah dengan Dimas, dan kamu harus bisa menjaga martabat keluarga ini, bukan membuat malu seperti ini!"
Ibu Turi, yang melihat kejadian itu, hanya bisa menghela napas berat, merasa tak berdaya. Ia tahu betul betapa kerasnya hati Ny. Hutami, dan Nanda tak akan pernah bisa mendapat tempat di hati ibu mertuanya. Sementara itu, Nanda berdiri terdiam, tubuhnya merasa kaku, seperti tidak bisa bergerak karena rasa sakit yang tak hanya dirasakannya di tubuhnya, tetapi juga di hatinya.
"Kamu lebih baik masuk ke dalam dan bereskan dirimu. Jangan sampai Ayah Dinas tahu kalau kamu kabur dari pesta," ujar Ny. Hutami dengan nada dingin, seolah-olah dia tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi pada Nanda.
Dengan langkah yang lemas, Nanda perlahan melangkah masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh Ibu Turi yang tidak bisa berkata apa-apa, mereka berdua memasuki rumah yang menjadi tempat untuk pulang. Namun, bagi Nanda rumah itu seperti penjara yang menahannya dalam penderitaan yang tidak pernah berakhir.