Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Keindahan Cinta dalam Setiap Langkah
Beberapa bulan setelah Zahra mengumumkan kehamilannya, kehidupan mereka semakin dipenuhi kebahagiaan yang semakin terasa intens. Kehamilan ini telah membawa banyak perubahan dalam diri Zahra. Tidak hanya dalam fisik, tetapi juga dalam sikap dan perasaan yang semakin dalam terhadap suaminya, yang kini ia panggil dengan sebutan manis, "Sayang".
Zahra merasa sangat berbeda. Meskipun masih muda dan banyak yang harus dipelajari, ia merasa lebih dewasa, lebih bertanggung jawab. Namun, kehamilan juga membuatnya semakin manja. Ia sering merasa lebih lelah dan membutuhkan perhatian ekstra dari suaminya. Tak jarang, Zahra akan menatap Zidan dengan mata penuh harap, meminta bantuan dengan cara yang lembut dan penuh cinta.
Hari itu, Zahra duduk di ruang tamu, memeluk bantal besar di pangkuannya. Matanya mulai terasa berat, mengantuk, dan pusing akibat kehamilan yang semakin membesar. Di sisi lain, suaminya tengah sibuk membaca laporan pekerjaan, duduk di meja ruang kerja yang terletak di ruang tamu. Zahra, yang melihatnya, merasa enggan meninggalkan suaminya terlalu lama, namun tubuhnya merasa sangat lelah.
“Sayang,” panggil Zahra dengan suara lembut, “aku merasa nggak enak badan. Bisa bantu aku?”
Zidan menoleh dari bukunya dan melihat Zahra yang sedang meringkuk dengan wajah lesu. Tanpa banyak bicara, ia bangkit dan berjalan menuju Zahra. “Ada apa, sayang? Kamu nggak enak badan?”
Zahra mengangguk, matanya mulai terlihat berkaca-kaca. “Aku capek banget, Mas. Bisa tolong pijit punggungku sebentar?”
Zidan tersenyum lembut, dengan penuh perhatian. Ia segera duduk di samping Zahra dan mulai memijat punggungnya dengan lembut. “Tentu, sayang. Kamu nggak usah khawatir, Mas selalu ada buat kamu.”
Zahra menutup matanya, menikmati pijatan lembut itu. Rasanya begitu menenangkan, dan dengan setiap sentuhan Zidan, perasaan manja yang semakin besar dalam dirinya tumbuh semakin kuat. Ketika Zidan berhenti sejenak untuk memastikan Zahra nyaman, Zahra memeluknya dengan erat.
“Sayang, kamu tahu nggak? Aku makin sayang sama kamu. Aku merasa beruntung banget punya kamu di hidup aku,” ujar Zahra, suara yang lembut dan penuh rasa sayang.
Zidan membalas pelukan Zahra, merasakan kasih sayang yang mendalam. “Mas juga sayang kamu, Zahra. Kamu adalah segalanya buat Mas. Mas akan selalu mendampingimu, apa pun yang terjadi. Kapan pun kamu butuh Mas, Mas akan ada untukmu.”
Zahra mengangkat kepala dan menatap Zidan dengan penuh kasih. “Zahra nggak pernah merasa sendiri selama Mas ada di sini. Terima kasih, Sayang.”
Zidan tersenyum, mencium puncak kepala Zahra dengan lembut. “Jangan pernah merasa sendiri, hmm. Kamu nggak akan pernah sendirian selama Mas ada di sampingmu.”
Beberapa minggu kemudian, Zahra mulai memasuki trimester kedua kehamilannya. Meski fisiknya terasa lebih kuat, tetapi perasaan manja dan kebutuhan akan perhatian semakin meningkat. Kehamilannya yang semakin besar membuatnya merasa lebih cemas tentang banyak hal. Meskipun Zidan selalu memberikan dukungannya, Zahra tetap merasa takut jika ada yang tidak beres dengan kandungannya.
Suatu sore, setelah selesai mengerjakan tugas kuliah, Zahra duduk di ruang tamu dengan raut wajah yang cemas. Zidan, yang baru pulang dari pesantren, segera mendekat.
“Sayang, kamu kenapa? Kok wajahnya serius begitu?” tanya Zidan sambil duduk di samping Zahra dan mengelus punggungnya.
Zahra menunduk, menggigit bibir bawahnya. “Sayang, aku takut. Takut kalau aku nggak bisa jadi ibu yang baik untuk anak kita. Aku merasa kadang nggak siap. Takut banyak yang kurang, takut nggak bisa memberikan yang terbaik.”
Zidan menarik Zahra ke dalam pelukannya, mengusap punggungnya dengan lembut. “Zahra, kamu sudah melakukan yang terbaik. Jangan khawatir, Mas yakin kamu akan jadi ibu yang luar biasa. Mas ada di sini untuk membantu kamu. Kita akan belajar bersama, sayang.”
Zahra meletakkan kepalanya di dada Zidan, merasa nyaman dalam pelukan itu. “Aku takut, Sayang. Tapi aku juga nggak mau ngecewain Mas atau anak kita.”
Zidan mengangkat dagu Zahra dan menatap matanya dengan penuh kasih. “Kamu nggak akan pernah mengecewakan kami, Zahra. Kita ini suami istri, kita akan bersama-sama menghadapinya. Yang terpenting adalah cinta kita satu sama lain dan kepercayaan kita pada Allah.”
Zahra tersenyum lembut, merasakan ketenangan dalam dirinya. “Terima kasih, Sayang. Aku tahu, aku nggak akan bisa melakukannya tanpa Mas.”
Hari demi hari berlalu, dan Zahra semakin merasakan betapa indahnya memiliki Zidan di sampingnya. Kehamilan ini membawa mereka lebih dekat, mempererat ikatan mereka sebagai pasangan suami istri. Zahra sering memanggil Zidan dengan berbagai panggilan manis, seperti “Sayangku”, “Cintaku”, dan “Imamku”. Zidan pun tidak kalah manis. Setiap kali ia memanggil Zahra, ia selalu menambahkan kata-kata lembut seperti “Sayang”, “Manisku”, atau “Bidadariku”. Kehidupan mereka dipenuhi dengan kata-kata penuh cinta yang semakin menguatkan hubungan mereka.
Suatu malam, setelah mereka shalat bersama, Zidan membimbing Zahra untuk duduk di sofa. “Sayang, Mas mau ngomong sesuatu.”
Zahra menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa, Sayang? Ada yang ingin kamu bicarakan?”
Zidan menghela napas, matanya berseri-seri. “Mas hanya ingin mengucapkan terima kasih, Zahra. Terima kasih sudah menjadi istri yang luar biasa. Mas bersyukur banget bisa menjalani hidup ini bersamamu. Dan Mas juga nggak sabar untuk melihat kamu menjadi ibu dari anak kita.”
Zahra tersenyum malu, menyandarkan kepalanya di bahu Zidan. “Aku juga sayang. Aku nggak sabar menanti masa depan bersama Mas. Kita akan menjadi orang tua yang baik, kan?”
Zidan mencium kening Zahra dengan penuh kasih. “Insya Allah, sayang. Kita akan berjalan bersama, membesarkan anak kita dengan penuh cinta dan doa.”
Zahra merasa tenang, merasakan ketenangan dalam hatinya. Ia tahu bahwa bersama Zidan, ia bisa menghadapi segala hal. Kini, ia menatap masa depan dengan penuh harapan, yakin bahwa kebahagiaan yang mereka miliki ini akan terus berlanjut. Bersama suaminya, ia merasa bisa melewati setiap tantangan, meraih setiap impian, dan membangun keluarga yang penuh cinta.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??