Seorang gadis cantik, jenius dan berbakat yang bernama Kara Danvers bekerja sebagai agen ganda harus mati di karena dikhianati oleh rekannya.
Namun, alih-alih ke alam baka. Kara malah bertransmigrasi ke tubuh bocah perempuan cantik dan imut berusia 3 tahun, dimana keluarga bocah itu sedang di landa kehancuran karena kedatangan orang ketiga bersama dengan putrinya.
"Aku bertransmigrasi ke raga bocil?" Kara Danvers terkejut bukan main.
"Wah! Ada pelakor nih! Sepertinya bagus di beri pelajaran!" ucap Kara Danvers menyeringai dalam tubuh bocah cilik itu.
Apa yang yang akan dilakukan sang agen ganda saat di tubuh gadis cilik itu dan menggemaskan itu. Yuk mari baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Siang
Vara kini sedang duduk di kursi kebesaran sang kakek, jika dilihat bocah perempuan cantik berusia 3 tahun itu hanya bermain.
Padahal dia sedang mengutak-atik tablet miliknya. Tak ada yang tahu gerak-gerak gadis kecil itu.
"Bagaimana dengan tuan Andika, Pa?" tanya Selvira penasaran.
Tuan Anggara menghembuskan napasnya. "Dia adalah mata-mata yang dikirim oleh pihak pesaing bisnis, Papa," jawabnya.
Dalam pemeriksaan cepat, mereka menemukan rencana kejahatan yang sudah dirancang dengan matang Andika ternyata bekerja untuk pesaing bisnis Tuan Anggara yang berniat mencelakai dan menghancurkan reputasi Prameswari Corp, melalui Selvira.
"Papa tidak menyangka, jika tuan Andika terlibat. Padahal Papa sudah berteman sejak lama dengannya," ujar tuan Anggara merasa kecolongan.
"Untungnya Vara sangat peka terhadap sekitarnya, Papa kagum dengan kecerdasan cucu Papa," sambung tuan Anggara menatap sang cucu yang terlihat serius.
"Tapi, bagaimana jika pihak musuh tahu, jika Vara jenius dan memiliki bakat, Pa?" tanya Selvira cemas.
"Kamu tenang saja. Papa akan mengeluarkan seluruh kemampuan Papa untuk menjaga cucu kesayanganku, Vara," sahut tuan Anggara yakin.
"Lalu dimana tuan Andika, Pa?" tanya Selvira.
"Dia sudah diurus oleh orang-orang, Papa," jawab tuan Anggara.
Mata-mata itu ditangkap, dan investigasi lebih lanjut mengungkap keterlibatan pihak-pihak lain dalam skema jahat itu.
Tuan Anggara memastikan keamanan perusahaannya diperketat, sementara Selvira mulai menyadari bahwa putrinya memiliki bakat luar biasa.
Kejadian tadi ditutup rapat oleh tuan Anggara, hanya para anak buahnya yang mengetahui hal itu, juga anak dan cucunya.
Tak terasa, waktu berlalu dengan cepat. Kini waktunya masuk makan siang.
"Vara sayang! Sudah bermainnya ya, waktunya kita makan siang."
Selvira menghampiri sang putri, dengan cepat Vara mengeluarkan aplikasi tersembunyi nya lalu tersenyum polos menatap sang ibu.
"Baik Mama," sahut Vara.
"Vara mau makan apa sayang?" tanya Selvira.
Vara berpikir sejenak, kemudian menatap sang ibu. "Kita makan di cafe depan ya, Ma? Di cana ada banyak menu makanan, kebetulan Vala ingin makan cpaghetti," sahut bocah perempuan itu.
Selvira mengerutkan keningnya. "Memangnya di sana ada apa saja, sayang? Kok Vara sepertinya Vara tahu?" tanyanya.
Astaga! Aku hampir keceplosan! Nih mulutnya bocah kagak bisa direm deh! rutuk Vara merasa kesal.
Wajah Vara tetap terlihat polos. "Tadi pagi, Vala dengal pala kalyawan membicalakan cafe itu, Ma," jawabnya tenang.
Selvira mengangguk mengerti. "Ingatan anak Mama ini sangat kuat ya, ternyata." wanita cantik itu mengusap kepala sang putri.
"Kalau coal makanan, Vala nomol catu, Ma," sahut Vara polos.
Selvira terkekeh kecil. "Ya, sudah. Ayo kita ke depan!"
Dengan sigap Selvira membantu sang putri untuk turun dari kursi kebesaran sang ayah. Tuan Anggara sedang berada di luar, untuk mengurus masalah tadi.
Ibu dan anak itu segera melangkah keluar dari ruangan tuan Anggara, diikuti oleh beberapa pengawal yang melindungi mereka dari jarak jauh.
Saat melewati lobi, para karyawan laki-laki terpesona melihat kecantikan Selvira. Tentu saja, siapa yang tidak terpikat dengan kecantikan wanita itu meski telah memiliki anak satu.
Mereka bahkan terlihat kakak adik, bukan ibu dan anak. Apalagi Selvira satu-satunya penerus keluarga Prameswari.
"Gila, bu Selvira cantik banget," bisik karyawan pria dengan memakai kemeja biru.
"Kalau yang beginian mah, aku juga mau. Walaupun janda, dia tetap terlihat seperti gadis," sahut yang satunya lagi berbisik.
"Para gadis saja banyak yang mengaku masih perawan, eh ternyata sudah janda. Mending bu Selvira udah cantik, kaya lagi," sahut pria yang ketiga.
"Memangnya bu Selvira mau sama kamu?" tanya pria kemeja biru.
"Ya, dekati dulu lah. Gimana kalau dia jatuh cinta padaku, aku mah gak masalah terima anaknya menjadi anakku juga," sahutnya yang lain.
"Dih! Mimpi mu ketinggian," cibir yang lain.
Pembicaraan bisik-bisik karyawan itu masih bisa didengar oleh Vara, telinga tajam bocah perempuan itu sangat jelas mendengarnya. Sedangkan Selvira memang sedang fokus mengangkat telfonnya.
Saat keduanya pergi, seseorang dari sudut ruangan menatap keduanya. Tangannya mengepal kuat.
"Selvira tidak boleh mengambil alih perusahaan ini. Hanya aku yang boleh, aku adalah pria, sedangkan dia dan anaknya hanya seorang wanita," gumam Delon tidak tahu malu.
Kafe itu memiliki suasana hangat, dengan aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Selvira memesan spaghetti carbonara untuk dirinya dan juga untuk Vara.
“Mama, Vala mau jus jeluk, tapi jangan pakai es, ya. Vala kan macih kecil,” ujar Vara dengan manja.
Selvira tersenyum. “Iya, sayang. Jus jeruk tanpa es.”
Saat Selvira selesai memesan, suara berat yang penuh semangat terdengar dari belakang.
“Selvira?”
Selvira berbalik, sedikit terkejut melihat pria tinggi dengan rambut sedikit beruban berdiri di sana. Senyumnya lebar, matanya menyimpan kenangan lama yang mendalam.
“Adrian? Astaga, ini benar-benar kamu?” Selvira berseru, suaranya penuh kehangatan.
Adrian tertawa kecil. “Iya, ini aku. Sudah lama sekali. Kamu masih secantik dulu.”
"Boleh aku bergabung? Meja lain sudah penuh," sambung Andrian.
Selvira menyapukan pandangannya, ternyata benar-benar penuh. "Ayo, silahkan duduk!" ucap Selvira.
Vara menelisik pria di depannya itu, meski berwajah polos tapi dia tengah memindai seseorang.
Sepertinya pria ini suka Mama! batin Vara
Adrian duduk di meja mereka setelah Selvira mengijinkannya bergabung. Mereka berbicara panjang lebar, mengingat masa-masa kuliah.
Adrian adalah teman akrab Selvira dulu, tetapi tak pernah berani mengungkapkan perasaannya.
“Jadi, bagaimana kabarmu sekarang, Selvira?” Adrian bertanya sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
Selvira tersenyum samar. “Baik. Aku … sekarang fokus membesarkan Vara.” Ia mengusap rambut anaknya yang sibuk memakan nugget ayam.
Adrian melirik Vara, matanya melunak. “Ini putrimu? Dia cantik sekali, seperti ibunya.”
Vara, yang mendengar pujian itu, mendongak. Ia memandang Adrian dengan mata besar yang penasaran, lalu berkata dengan nada polos, “Om cuka Mama, ya?”
Adrian tersedak sedikit, sementara Selvira tertawa kecil, pipinya memerah. “Vara, jangan bicara sembarangan.”
“Tapi, kan, Om itu ngeliat Mama telus,” balas Vara dengan nada serius.
Adrian tersenyum canggung. “Anakmu pintar sekali, Sel. Dia benar-benar memperhatikan detail, ya."
Lah nih bocil! Mulutnya terlalu jujur. Mana dia lebih peka dari ibunya lagi! batin Andrian meringis.
"Kalau Om cuka Mama. Om halus melewati Vala dulu. Aku pellu mencelekci plia yang akan menjadi papa balu aku," sahut Vara polos.
Anjay! Celekci gak tuh! kekeh Vara dalam hati.
Uhuk! Uhuk!
Andrian tersedak dua kali, saat bocah di depannya ini terang-terangan mengatakan hal itu.
Nih bocil! Benar-benar bocil kematian! batin Andrian meringis.
"Vara! Jangan bicara gitu sayang!" tegur Selvira lembut.
Vara menghela napasnya, Nih emakku juga, kagak peka-peka jadi orang.