"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 | Dasar Pencuri!
Tulisan besar berwarna merah menonjol di tengah kertas itu.
“Dasar pencuri! Pergi dari sini sekarang juga!” Tulisan itu seolah membakar mataku.
Ada coretan seperti gambar wajah dengan tanduk dan beberapa kata-kata kasar lainnya yang jelas bukan untukku. Aku tidak tahu siapa yang menulis ini, tapi jelas kertas ini ditujukan untukku. Rasanya seperti perutku diaduk-aduk, tak karuan.
Aku menatap tulisan itu lagi, berharap apa yang kulihat salah, tapi tidak. Itu benar-benar nyata. Tak ada yang bisa membantah kenyataan yang baru saja kulihat. Semakin lama aku melihatnya, semakin terasa sakit. Aku ingin sekali melupakan semuanya, tapi tulisan itu seakan terpatri di pikiranku.
"Apa ini?" tanyaku dengan suara bergetar, meskipun aku tahu Ryan tidak punya jawabannya.
Aku ingin mendengarnya, aku ingin tahu siapa yang bisa sekejam itu, tapi semuanya terasa hampa. Siapa yang menulis kertas itu? Ryan terdiam sejenak, wajahnya tampak bingung. Dia menggaruk belakang kepalanya, sebuah tanda bahwa dia juga merasa tak berdaya.
“Aku menemukan itu di mejamu tadi pagi,” katanya pelan, seolah takut kalau-kalau dia salah menjelaskan.
Aku hanya berdiri di sana, memegang kertas itu dengan tangan yang gemetar, berusaha menahan perasaan yang datang begitu saja. Kenapa semua ini terjadi padaku? Kenapa ada orang yang melakukan ini? Bukankah aku hanya ingin hidup seperti biasa, menjalani hari-hariku tanpa masalah? Tapi ternyata dunia tak selalu sesederhana itu.
“Apa yang harus aku lakukan, Ryan?” tanyaku, lebih pada diriku sendiri daripada padanya.
Aku merasa bingung, kesal, dan malu. Perasaan itu bercampur aduk. Kertas ini jelas bukan sebuah kesalahan, bukan sebuah prank. Ini sebuah ancaman yang nyata.
“Kenapa ada orang sejahat ini yang melakukannya padaku?”
Ryan mendekat, wajahnya semakin tegang. “Aura, aku juga nggak tahu siapa yang melakukan ini. Tapi aku janji, aku akan cari tahu,” kata Ryan, matanya menatapku penuh tekad, seolah dia benar-benar ingin membantu.
Namun, meskipun dia berbicara dengan penuh keyakinan, aku merasa kalut. Aku tak bisa merasakan ketenangan, bahkan dengan janji darinya. Terkadang, kata-kata saja tak cukup untuk menenangkan hati yang sedang hancur.
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diriku. Namun perasaan cemas itu tetap menghantui. Tidak ada yang lebih buruk daripada merasa terperangkap dalam sebuah kebohongan, sebuah kebenaran yang tak ingin diterima.
“Sudahlah...” Aku melambaikan tangan, seolah ingin menepis semua perasaan itu. “Aku tidak peduli apa yang terjadi. Aku juga tidak bersalah. Aku hanya ingin menjalani kehidupan sekolah ini dengan tenang.”
Tapi kata-kataku terasa hampa. Apakah mungkin aku bisa melepaskan semua ini begitu saja? Tidak. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, sesuatu yang lebih besar dari sekadar tulisan di kertas itu. Ada seseorang yang ingin membuatku jatuh, dan aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.
Tanpa memandang Ryan, aku membuang kertas itu ke tempat sampah di dekatku. Suara kertas yang jatuh ke dalam bak sampah itu terdengar begitu keras, seperti pukulan yang menyadarkanku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku tak bisa hidup terus-menerus dalam ketakutan. Aku harus menghadapi ini. Entah bagaimana caranya.
Ryan hanya berdiri di sana, diam, mungkin sedang berpikir tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Aku bisa merasakan tatapannya, meskipun aku enggan menoleh. Terkadang, hal yang paling sulit adalah menghadapi kenyataan tanpa tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
“Aura, kamu... kamu harus hati-hati,” kata Ryan akhirnya, suaranya jauh lebih lembut sekarang, seolah menyadari betapa rapuhnya aku. “Jika ada yang mengancammu seperti ini, kamu nggak boleh diam saja. Aku nggak mau ada yang menyakitimu.”
Aku menatapnya, matanya yang penuh perhatian membuat dadaku sedikit lebih ringan. Tapi aku tahu, ini bukan tentang apa yang Ryan katakan. Ini tentang diriku, tentang bagaimana aku menghadapi semua ini sendiri. Karena, pada akhirnya, ini adalah hidupku yang dipertaruhkan.
“Aku akan baik-baik saja,” jawabku, meskipun aku tahu itu hanyalah kebohongan untuk menenangkan diriku sendiri. “Terima kasih, Ryan, tapi aku harus bisa menghadapinya sendiri.”
Dia menatapku sejenak, dan aku bisa melihat ada sedikit keraguan di wajahnya. Namun, dia tidak memaksaku untuk lebih banyak bicara. Sebaliknya, dia hanya mengangguk perlahan.
“Jika kamu butuh aku, tinggal panggil saja aku,” katanya, kemudian melangkah pergi dengan pelan, memberi aku ruang untuk berpikir.
Aku berdiri di sana, sendirian, memikirkan semua yang baru saja terjadi. Dunia ini memang rumit, lebih rumit dari yang aku bayangkan. Dan entah bagaimana, aku merasa tak akan bisa kembali ke kehidupan yang dulu.
Pikiranku semakin kalut. Kertas itu membuatku tidak fokus, dan setiap kali aku mencoba mengusirnya dari pikiranku, tulisan-tulisan yang tajam itu kembali menghantuiku. Rasanya seperti ada yang mengganjal di dada, seolah-olah ada sesuatu yang besar yang aku harus hadapi, tapi aku tidak tahu bagaimana memulainya.
...»»——⍟——««...
Semua itu membuatku merasa terjebak dalam permainan yang tidak aku ketahui. Aku memutuskan untuk kembali ke kelas dengan tas ransel yang masih menempel di punggungku, merasa semakin berat setiap langkahnya.
Jam masuk sekolah sudah berbunyi dari tadi. Menandakan jam pertama akan dimulai. Jam pertama di kelasku adalah olahraga, mata pelajaran yang seharusnya bisa membuatku sedikit melupakan masalah, setidaknya selama beberapa menit.
Semua temanku sibuk bersiap dengan seragam olahraga mereka. Mereka bergiliran mengganti seragam di toilet, kecuali aku. Aku hanya duduk termenung di mejaku, seperti biasa, sambil menatap dedaunan yang berguguran di luar jendela. Setiap daun yang jatuh seolah mengingatkanku pada sesuatu yang tidak bisa kuhindari. Mereka terlepas dengan mudah dari dahan.
Ryan yang sudah berganti seragam olahraga menghampiriku. Aku mendengar langkahnya sebelum dia berbicara. Wajahnya terlihat sedikit berbeda, mungkin karena dia merasa cemas atau tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi. Aku tak bisa mengabaikan itu, meskipun aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
"Aura, Pak Khalid bilang, yang tidak mengikuti olahraga di lapangan harus mengerjakan tugas di buku ini," kata Ryan, menyodorkan sebuah buku paket yang sudah ditandai dengan pembatas buku.
Biasanya, saat pelajaran olahraga, aku memang tidak ikut karena alasan tertentu, dan akan tetap berkumpul di lapangan bersama yang lain. Tapi kali ini, aku malah merasa seperti ingin bersembunyi dari semua orang, untung saja pak Khalid memberiku tugas yang membuatku tetap berada di kelas.
Aku menatap buku itu, mencoba menenangkan diri. "Baik, Ryan. Terima kasih," jawabku pelan.
Aku menyadari bahwa, meskipun tugas itu hanya hal kecil, itu adalah cara untuk mengalihkan pikiranku dari semua kerumitan yang sedang terjadi. Setidaknya untuk sementara, itu bisa memberiku sedikit waktu untuk berpikir dan merenung tanpa tekanan dari orang lain.
"Ya udah. Aku duluan ke lapangan, ya," ujar Ryan.
...»»——⍟——««...
(✊ cemunguuutt otor..!! selalu kutunggu up'nyaa..)