Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15_Pucat
"Bi," panggil lirih Anz "apa yangg terjadi? Lihat."
Abi melihat sekilas yang kemudian memanggku Anz sambil berdiri.
Anz melihat meja bundar itu yang mereka gunakan melempar batu dan melempar uang itu sudah di tiduri beberapa laki-laki tubuh besar itu tanpa ada sehelai kain ataupun benang yang menutupi aset (ke jan ta nan) mereka. Mereka tidur dengan menekuk kakinya di pembatas meja sedangkan sebagian laki-laki yang masih berdiri tadi, kini, sudah mengelilingi laki-laki yang tidur itu.
"Hitungan terdengar keras "SATU, DUA, TIGA."
Dalam hitungan ketiga laki-laki yang berdiri itu mendekat, dan berjongkok, melahap semua aset temannya itu yang berbaring di atas meja bundar itu.
Suara teriakan dan tepuk tangan terdengar keras diiringi dengan suara desahan yang saling bersahutan.
"Waw!" Teriak mereka bersama-sama.
Mereka terus melakukan aksi mereka dengan selanjutnya dengan gaya yang mereka sukai.
Anz menunduk, menepuk-nepuk bahu Abi cepat dan wajahnya kembali terlihat pucat.
Abi menurunkan Anz perlahan yang kemudian dirinya kembali melihat gerombolan laki-laki bertubuh besar itu, Kelopak mata Abi terbuka lebar dan bola matanya seakan-akan terjatuh ke bawah, "a ap apa yang mereka lakukan," lirih gagap Abi.
Untuk sejenak mereka menjeda melakukan aksi mereka dan dengan segera mereka bertukar posisi.
Yang di lihat Abi di awal tadi berbeda yang di lihatnya sekarang, meja yang mereka gunakan untuk melempar batu dan uang itu sudah mereka duduki kembali sebagiannya dan sebagiannya lagi berdiri dan pandangan mereka tersenyum lebar.
Mereka yang duduk itu, tidak ada sehelai kain ataupun benang yang menutupi mereka. Aset (ke jan ta nan) mereka terpampang begitu saja. Aset yang mereka punya memiliki ukuran dan warna yang berbeda. Sekitaran delapan orang di antara mereka yang duduk di atas meja itu, aset mereka berdiri keras bagaikan balok sebagiannya lagi aset mereka masih tidur, bagaikan ulat besar.
Anz melihat wajah Abi yang terlihat syok, menahan tawa setengah mati, tanpa sadar diri bahwa diantara mereka berdua, dirinyalah yang paling syok.
Tidak hanya mata Abi yang menunjukkan reaksi syok namun mulutnya Abi juga terlihat terbuka lebar, menganga tidak percaya apa yang lihatnya.
"Tutup ya! Takut masuk lalat," tersenyum dan menyentuh dagu Abi supaya mulutnya tertutup.
Abi melihat sekilas pada Anz yang kemudian matanya kembali melihat pada gerombolan laki-laki itu, mereka yang duduk di atas meja bundar itu sudah tidur melingkar dan kaki mereka ditengkuk dan berada di bagian ujung pembatas meja.
Laki-laki yang berdiri memberi aba-aba pada temannya yang berdiri "mendekat dan duduklah." Masing-masing laki-laki yang berdiri itu memilih salah satu laki-laki yang tiduran di atas meja itu, yang kemudian langkah mereka mendekat yang kemudian mereka berjongkok bersama.
Hitungan terdengar nyaring, dan berjeda "SATU, DUA, TIGA."
Dalam seketika setelah hitungan ketiga mereka melahap kembali rakus aset (ke jan ta nan) temannya itu yang mereka anggap pasangan mereka. Teriakan dan tepukan tangan mereka lakukan sebagai penonton melihat adegan itu.
Sedangkan Abi yang berdiri tegap itu langsung melorot jatuh terduduk, tangannya memegang dadanya sendiri. "Rusak," lirihnya.
"Bi," panggil Anz.
"Abi," panggil Anz lagi "kamu tidak apa-apakan."
Abi menggelengkan kepalanya lemah yang kemudian berdiri "kita pulang sekarang." Sebelum benar-benar Abi melangkah pergi, pandangan Abi kembali teralih pada segerombolan laki-laki itu, yang di lihat Abi yang melakukan perbuatan tidak senonoh itu malah bertambah. Mereka mengambil posisi dan lokasi mereka sendiri, tidak peduli jika itu di atas tanah langsung, baik itu ia yang mabuk-mabukkan tadi dan yang tidak mabuk alias masih sadar tetap melakukan hal yang sama.
Salah satu dari mereka hanya duduk di posisi paling sudut, ia hanya duduk diam dan mengawasi. Mata tajam, pandangan elangnya melihat dari kejauhan hanya ada satu pohon yang daunnya bergerak-gerak. Ia bangun dari posisi duduknya dan berjalan mendekat, tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya itu.
Laki-laki itu bernama Farez Rauf Fatiha Enzo. Laki-laki itu terus berjalan perlahan tanpa mempedulikan apa yang sedang terjadi di sekelilingnya.
Keberadaan laki-laki dan teman-temannya itu sedikit tinggi karena di atas bukit yang pinggirannya terdapat semen coran tinggi yang disamping bagian bawahnya terdapat pohon.
Laki-laki itu, loncat ke bawah.
Beberapa tapakan langkah Abi dan Anz tapaki. Mereka jalan dengan langkah santai dan jantung mereka berdegup kencang, karena masih ada sisa syok syok. Mereka berdua berjalan beriringan dan sedikit berjarak.
Laki-laki yang sering di panggil Enzo itu sudah melihat punggung Abi dan Anz.
Abi yang menyadari ada yang mengikutinya berpura-pura berjalan sempoyongan yang kemudian menarik Anz untuk berjalan tepat di hadapannya "sayang," lirih Abi dan mendekap Anz di dadanya.
Anz hendak berteriak dan memberontak dengan segera Abi membekap mulut Anz kuat "Syuutttt, malam ini kita akan ke surga bersama."
"Bi," lirih Anz, bola matanya terlihat berkaca-kaca hendak menangis.
Kesunyian dan kegelapan malam menyelimuti, sinar bulan tidak tembus menerangi di karenakan dedaunan dari pohon-pohon besar menutupi. Di bawah langit malam itu, Anz mendongak kepalanya melihat wajah Abi namun matanya jika sedang berada di kegelapan malam tidak bisa melihat dengan jelas bola mata Abi yang mengisyaratkan sesuatu.
Abi merebahkan paksa tubuh Anz di tanah yang kemudian mencium paksa leher Anz yang masih terlapisi kain yang menutupi kepala dan lehernya itu. Abi terus melakukan aksinya, tanpa mempedulikan Anz sibuk memberontak dan matanya yang terus mengaliri linangan air mata.
Abi terus melakukan aksi namun pendengarannya terus mengawasi.
Enzo yang terus melagkah perlahan, berhenti kala melihat dua punggung yang ia lihatnya sudah merebahkan badannya di tanah. Enzo memutar matanya malas dan berdecak kesal yang kemudian melangkahkan kakinya kembali pada titik kumpulnya tadi.
Abi merasakan tidak ada lagi keberadaan orang di dekatnya, dan terdengar suara tapakan langkah halus itu perlahan menjauh dari keberadaannya ini.
"Maaf," ucap lirih Abi bangun dan hendak membantu Anz bangun.
Anz menyilang tangannya sendiri di depan dadanya "kurang ajar kau ya. Aku capek jaga ini semua untuk suamiku malah kau serobot duluan." Satu tamparan keras mendarat di pipi Abi "ini belum cukup puas untukku membalasnya."
Abi merasakan ada aura mata yang menatap dirinya begitu mengintimidasi, langsung kembali mendekati wajahnya pada wajah Anz, ia mencium wajah Anz perlahan dari selingan itu ia berucap lirih "diamlah sebentar, ada yang mencurigai keberadaan kita. Ada yang mengikuti kita."