Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halimah menerima kabar buruk dari suaminya
"Dik, aku ingin kita berpisah." Kulihat netranya yang polos, perlahan mengembun dan memerah.
"Kenapa, Mas? Apa aku sudah membuat kesalahan yang fatal?" Dia menunduk, menyembunyikan air matanya yang susah payah ia tahan.
"Kau adalah perempuan yang sangat baik dan sempurna," ujarku ragu.
"Jika aku baik kenapa kamu ingin berpisah denganku, ha?" Ia memotong ucapanku, matanya berkilat marah, seketika Limah menggebrak meja cukup keras. Sungguh baru kali ini aku melihat ia semarah ini. Lima tahun hidup dengannya, tidak pernah kutemui perangainya yang kasar lagi keras.
"Karena aku tak pernah mencintaimu, Dik." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku, seolah ingin mengungkapkan semua unek-unek yang telah lama ku pendam. Namun entah mengapa setelah mengucapkannya aku merasa dadaku ikut merasakan sesak.
"Tidak cinta? Setelah lima tahun kita merajut bahtera rumah tangga, kau bilang tidak cinta? Apa kau tidak melihat putri kita yang cantik sedang tertidur pulas, Mas? Apa kau juga tidak lihat, anakmu yang kedua sebentar lagi akan lahir? Bahkan kehidupan kita yang selalu harmonis dan berjalan semestinya. Dan sekarang kau bilang tak cinta? Hah, aku tidak mengerti jalan pikiranmu sama sekali."
Seketika dia tertawa, tatapannya nyalang, seperti ingin menerkam ku hidup-hidup.
Ia menatapku yang masih bergeming di tempatku duduk, ku tatap netranya, namun dengan segera ia memalingkan wajah, mengusap air matanya kasar, lalu berlalu pergi meninggalkanku tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
Halimah adalah perempuan cantik, yang dijodohkan ayahku lima tahun yang lalu.
Dia juga baik, Sholehah dan penurut. Namun entah kenapa, entah setan apa yang menjadikanku tak bisa mencintainya. Semua terasa hambar ketika bersama dengannya.
Aku ingin merasakan apa yang dirasakan orang lain. Hati yang berdebar setiap kali berjumpa dengan kekasihnya, rasa rindu yang teramat ketika sedang berjauhan, perasaan senang yang membuat melayang, dan perasaan cinta yang tidak bisa dideskripsikan. Dan sayangnya, aku tidak merasakan itu ketika dekat dengan Halimah--istriku.
‘Apa aku salah ingin hidup bahagia?’ Ku hirup aroma kopi dalam-dalam, merasakan rasa yang pas dari setiap racikannya. Ah, Limah ku tak pernah gagal memanjakan lidahku. Andai saja dia bisa membahagiakan hatiku. Andai.
***
Limah tak menyadari kedatanganku di kamar. Kulihat bahunya berguncang, isakan nya semakin pelan, membuatku mematung pilu di belakangnya.
"Limah …" Kupegang bahunya lembut, turut merasakan suasana hatinya yang terluka.
"Apa ada perempuan lain yang sudah membuatmu jatuh cinta, Mas?" tanyanya tiba-tiba.
Aku terdiam mematung di tempatku, lutut ini tiba-tiba saja terasa lemas.
Wanita itu berbalik menunggu jawabanku, lidah ini kelu seketika.
"Mas?"
"Ya. Ya, Dik. Pertanyaan mu benar." Sedikit ragu, akhirnya kuakui juga. Aku sudah mencintai perempuan lain. Perempuan yang membuat jantungku berdegup kencang setiap kali didekatnya, perempuan yang membuatku rindu tak tertahan ketika terpisah jarak, dan ia yang membuatku gila dan sering senyum-senyum sendiri. Manis sekali bukan cinta?
"Lalu apa rencanamu jika kita bercerai?" candanya. Lagi-lagi ia tertawa, kali ini aku merasa takut melihatnya seperti itu.
"Aku akan menikahinya. Namun aku akan tetap menafkahi mu dan juga anak-anak kita," sahutku pongah. Rasanya aku bak seorang pahlawan yang paling bertanggung jawab terhadap dua wanita.
"Tidurlah, Mas! Sudah malam. Esok kita pikirkan lagi." Dia tidur memunggungi ku.
***
"Makan, Mas!" Istriku sibuk menata makanan di meja. Sambal goreng kentang plus hati sapi, juga kerupuk udang terlihat begitu menggiurkan. Juga tak lupa sayur Sop, untuk makanan Jingga--putri kecil kami.
"Makan yang banyak ya, Sayang." Limah memasukkan nasi dan sop ke piring jingga yang berbentuk nanas. Ia senang sekali membeli piring-piring dan gelas yang lucu, agar Jingga semangat makannya.
"Wah, enak sekali sepertinya. Hari ini kamu masak banyak?" Aku segera menarik kursi, dengan cekatan Limah mengisi piringku dengan masakannya.
"Hum, enak sekali ini, Dik." Dengan lahapnya aku memasukan suapan nasi dan temannya ke mulut.
"Aku akan memasak makanan yang enak-enak untukmu, Mas. Anggap saja terakhir kali aku menjadi istrimu.”
"uhuk ." Aku langsung tersedak mendengar ucapannya.
"Jingga sayang, makannya di ruang Tivi dulu ya, kan ada film kartun kesukaan Jingga," ucapnya. Lalu membawa piring nanas ke ruang tipi.
"Oh iya Bunda, Jingga lupa. Holeeee liat film kartun." Dengan polosnya Jingga mengekori Limah menuju ruang Tivi, lalu asyik menghabiskan makanannya di sana.
"Mas, setelah aku pikirkan kembali--" ucapnya tertahan. Ia menarik nafas berat, lalu menghembuskannya kasar. Seperti ada beban mendalam di setiap tarikan nafasnya.
"Bagaimana keputusanmu, Dik?" Aku menunggunya tak sabar. Berharap ia mengatakan iya atas keinginanku semalam.
"Aku setuju kita berpisah, namun dengan syarat," jawabnya tenang. Lalu menyuapkan makanan ke mulutnya.
Jujur aku sangat merasa senang mendengarnya, namun entah di dalam dada seperti ada yang tergores sembilu.
"Apapun syaratnya akan aku penuhi," tukas ku yakin. Bagaimanapun ini keinginan besarku untuk memulai hidup baru.
"Beri aku waktu selama 40 hari, Mas. Setidaknya sampai anak kita terlahir ke dunia. Aku ingin dia terlahir memiliki seorang ayah. Dan juga, jangan hubungi perempuan itu selama 40 hari kedepan. Anggap saja sebagai bentuk kesetiaan terakhirmu kepadaku. Setelah itu, kita akan bercerai, dan kau boleh menikahinya." Ia mengucapkannya dalam satu tarikan nafas, seperti sudah ikhlas melepas pernikahan ini.
"Syarat yang mudah. Aku menyetujuinya. Aku gak akan hubungi, dan bertemu dia selama 40 hari ke depan." Mataku berbinar, fatamorgana yang selama ini kulihat akan menjadi kenyataan.
"Terima kasih, Mas," sahutnya. Lalu membereskan meja makan tanpa menoleh ke arahku.