Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Pagi itu, Delisa merasa tidak tenang. Ia sudah selesai sarapan bersama keluarganya, namun pikirannya terus melayang kepada Azka. Pemandangan semalam, di mana ia melihat Azka yang sedih, terus menghantui pikirannya. Ia merasa harus melakukan sesuatu, meskipun ia tahu pihak sekolah melarangnya untuk menjenguk.
Setelah berpamitan pada mamah dan papah, Delisa memutuskan pergi ke rumah sakit. Ia mengenakan seragam olahraga sekolah sebagai alasan jika ada yang bertanya ke mana ia pergi. Hatinya terus berdebar, antara takut ketahuan dan rasa bersalah jika sesuatu terjadi pada Azka atau keluarganya sementara ia tidak melakukan apa-apa.
*Di Rumah Sakit
Ketika sampai di rumah sakit, Delisa melangkah ragu ke lobi. Bau antiseptik menusuk hidungnya, mengingatkannya pada kenangan saat ia sakit. Setelah bertanya kepada resepsionis dengan hati-hati, ia akhirnya menemukan ruangan di mana keluarga Azka dirawat.
Namun, saat ia tiba di depan pintu, langkahnya terhenti. Ia melihat Azka duduk sendirian di kursi luar ruangan, wajahnya terlihat begitu lelah. Mata Azka sembap, dan rambutnya berantakan seperti belum sempat disisir.
"Azka..." Delisa memanggil pelan.
Azka menoleh. Seketika, matanya melebar melihat Delisa berdiri di sana. “Del? Ngapain kamu di sini?” tanyanya, suaranya serak.
“Aku nggak bisa diam aja tahu kamu lagi susah.” Delisa mendekat, berjongkok di depan Azka. “Kamu nggak apa-apa? Gimana kondisi mereka?”
Azka menunduk. Ada jeda panjang sebelum ia menjawab. “Papa lagi operasi... Mamaku masih di ruang ICU. Dokter bilang kondisinya stabil, tapi aku nggak tahu sampai kapan. Semua ini berat banget, Del.”
Delisa menggenggam tangan Azka erat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Melihat Azka yang biasanya ceria kini terlihat begitu rapuh membuat hatinya ikut teriris. “Aku di sini, Ka. Kamu nggak sendirian.”
Azka mengangguk kecil, berusaha menahan air mata. "Makasi, Del. Tapi... kamu pasti ada ujian, kan? Kenapa kamu ke sini? Kalau ketahuan sekolah, kamu bisa kena masalah."
Delisa tersenyum tipis. “Masalah itu urusan nanti. Yang penting kamu nggak sendiri sekarang.”
...****************...
Beberapa saat kemudian, seorang pria yang tampak seperti paman Azka keluar dari ruang ICU. Ia menatap Delisa penuh tanya. "Kamu siapa?" tanyanya.
Delisa berdiri dan menjawab dengan sopan, “Saya teman sekolah Azka, Om. Saya datang untuk melihat bagaimana kondisi keluarganya.”
Paman Azka mengangguk kecil, tapi tetap memasang wajah serius. “Kalau sekolah tahu kamu ke sini tanpa izin, itu masalah besar. Tapi, ya sudahlah. Kamu temani Azka sebentar. Dia butuh dukungan.”
Setelah pria itu pergi, Delisa menghela napas lega. Ia menoleh pada Azka yang masih duduk lemas.
“Kamu udah makan, Ka?” tanya Delisa.
Azka menggeleng. “Nggak sempet. Aku nggak lapar.”
Delisa menghela napas panjang. Ia merogoh tas kecil yang dibawanya dan mengeluarkan sekotak roti dan sebotol air mineral. “Aku bawa ini dari rumah. Kamu harus makan, walaupun sedikit. Kalau nggak, nanti kamu sakit.”
Azka menatap roti itu sejenak sebelum akhirnya menerimanya. Ia membuka bungkusnya dan menggigit pelan, meskipun wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak terlalu ingin makan.
...****************...
*Di Ruang Tunggu
Setelah beberapa waktu, Delisa dan Azka duduk bersama di ruang tunggu. Azka mulai bercerita lebih banyak, seperti bagaimana kecelakaan itu terjadi dan bagaimana ia merasa bersalah karena tidak ada di sana untuk mencegahnya.
“Azka, itu bukan salah kamu. Kamu nggak bisa selalu ada untuk semuanya. Yang penting sekarang adalah kamu tetap kuat untuk mereka,” ucap Delisa lembut.
Azka mengangguk pelan, tapi wajahnya tetap penuh kekhawatiran. “Del, kamu tahu nggak? Aku takut kehilangan mereka. Aku nggak siap...”
Mendengar itu, Delisa merasa dadanya sesak. Ia memegang tangan Azka lebih erat, berusaha menyampaikan kekuatan melalui genggaman itu. “Kamu nggak akan sendirian, Ka. Apa pun yang terjadi, aku bakal di sini buat kamu.”
Azka terdiam beberapa saat, lalu tiba-tiba menarik Delisa ke dalam pelukannya. “Makasih, Del. Aku nggak tahu apa jadinya kalau kamu nggak datang hari ini.”
Delisa terkejut, tapi ia membalas pelukan itu. Di tengah keheningan ruang tunggu, mereka saling memberi kekuatan satu sama lain.
Skip
Waktu berlalu dengan cepat, dan Delisa menyadari bahwa ia tidak bisa tinggal terlalu lama. Jika mamah dan papahnya tahu, ia pasti akan dimarahi.
“Azka, aku harus pulang. Tapi kalau kamu butuh apa-apa, aku cuma sejauh pesan aja, ya?” ujar Delisa.
Azka mengangguk, meskipun tampak enggan melepaskan Delisa. “Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa kasih kabar kalau udah sampai rumah.”
Delisa mengangguk. Sebelum pergi, ia memandang Azka sekali lagi dan tersenyum, meskipun hatinya berat meninggalkan pacarnya dalam keadaan seperti itu.
Di perjalanan pulang, Delisa merasa sedikit lega karena ia bisa menemani Azka, meskipun hanya sebentar. Namun, ia juga tahu bahwa ini baru awal dari perjuangan panjang untuk Azka dan keluarganya. Dalam hati, Delisa berdoa semoga semuanya akan membaik.
...****************...
*Malam Hari
Setelah sampai di rumah, Delisa segera memberi kabar pada Azka.
Delisa: “Aku udah sampai rumah, Ka. Kamu tetap kuat, ya. Jangan lupa makan dan istirahat.”
Pesannya dibalas dengan cepat.
Azka: “Makasih, Del. Aku nggak tahu apa jadinya hari ini kalau kamu nggak datang. Kamu bikin aku merasa lebih kuat.”
Delisa tersenyum kecil membaca pesan itu. Meskipun hari ini penuh emosi, ia merasa bahagia karena bisa menjadi sumber kekuatan untuk Azka.
Namun, ia juga menyadari bahwa perjalanan ini belum selesai. Ia harus bersiap menghadapi hari-hari ke depan, di mana Azka mungkin akan terus membutuhkan dukungan. Tapi Delisa yakin, selama mereka saling mendukung, mereka bisa melewati segalanya bersama.
Setelah selesai memberi kabar pada Azka, Delisa merebahkan diri di tempat tidur. Hari itu begitu melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Ia memejamkan mata, tetapi pikirannya terus berputar, memikirkan Azka dan keluarganya.
Hatinya terasa berat karena tidak bisa berada di sisi Azka lebih lama. Ia tahu Azka membutuhkan seseorang untuk mendukungnya, tetapi ia juga sadar bahwa batasan dari sekolah dan keluarganya membuatnya tidak bisa terus hadir secara langsung.
Delisa meraih ponselnya kembali. Ia memutuskan mengirim pesan singkat kepada Caca untuk menceritakan kejadian di rumah sakit.
Delisa: “Ca, aku tadi ke rumah sakit. Azka benar-benar terlihat rapuh. Aku nggak tega lihat dia kayak gitu.”
Pesan itu dibalas hampir seketika.
Caca: “Del, kamu hebat banget. Kamu bisa bikin dia merasa nggak sendirian. Tapi, jangan lupa jaga diri kamu juga, ya. Kalau kamu terlalu memaksakan diri, nanti kamu malah ikut sakit.”
Delisa tersenyum kecil membaca pesan itu. Ia tahu Caca benar, tetapi ia tidak bisa berhenti merasa khawatir.
Malam itu, sebelum tidur, Delisa memutuskan untuk berdoa. Ia memohon agar keluarga Azka diberi kesembuhan dan kekuatan. Ia juga berdoa untuk dirinya sendiri, agar diberi ketabahan untuk mendampingi Azka melewati masa sulit ini.
Ketika akhirnya ia tertidur, hatinya terasa sedikit lebih ringan. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi esok, ia yakin bahwa selama ia ada untuk Azka, mereka bisa menghadapi apa pun bersama.