Novel ini diilhami dari kisah hidup Nofiya Hayati dan dibalut dengan imajinasi penulis.
🍁🍁🍁
Semestinya seorang wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung.
Namun terkadang, ujian hidup memaksa seorang wanita menjadi tangguh dan harus terjun menjadi tulang punggung. Seperti yang dialami oleh Nofiya.
Kisah cinta yang berawal manis, ternyata menyeretnya ke palung duka karena coba dan uji yang datang silih berganti.
Nofiya terpaksa memilih jalan yang tak terbayangkan selama ini. Meninggalkan dua insan yang teramat berarti.
"Mama yang semangat ya. Adek wes mbeneh. Adek nggak bakal nakal. Tapi, Mama nggak oleh sui-sui lungone. Adek susah ngko." Kenzie--putra Nofiya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11 Kekasih Yang Baik
Happy reading 😘
Jarum mesin waktu yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan pukul sembilan malam. Itu berarti, Nofiya harus segera pulang ke rumah, agar tak terkena luapan amarah dari sang papa atau omelan mama tirinya.
"Zen, aku harus pulang sekarang," ucapnya.
Nofiya mengalihkan tatap yang semula tertuju pada keindahan rupa Sang Dewi Malam ke arah pemuda yang berdiri tepat di sisinya. Dia Zaenal Alfariz.
Zaenal pun membalas tatapan Nofiya, lalu membelai lembut rikma panjang kekasih hatinya itu.
Saat ini mereka berada di rooftop kafe. Sementara Pramudya dan Ratna masih berbincang di lantai dua.
"Kenapa buru-buru pulang, Yang. Masih jam sembilan. Satu jam lagi ya? Aku masih kangen." Zaenal merayu.
"Zen, besok pagi kita masih bisa bertemu di kampus."
"Di kampus kurang leluasa, Yang. Kita nggak bisa berduaan seperti ini karena ada sobat jahanam yang demen banget mengganggu."
"Tapi, aku nggak bisa pulang terlalu malam --"
"Kamu takut papamu marah? Atau mama tirimu akan mengomel?" Zaenal memangkas ucapan Nofiya dengan menghujani pertanyaan.
"Iya, Zen. Kamu 'kan udah tau bagaimana papa dan mamaku. Papa mungkin akan marah kalau aku pulang terlalu malam. Mama juga pasti akan mengomel."
Zaenal terdiam dan tampak menimbang. Meski serasa berat untuk menyudahi pertemuan dengan Nofiya di malam ini, tetapi ia tidak boleh egois.
Toh masih ada hari esok untuk melepas rindu.
"Baiklah, Yang. Aku akan mengantarmu."
"Makasih, Zen."
Zaenal mengedipkan kedua mata dan menerbitkan seutas senyum. Diraihnya jemari tangan Nofiya, lalu digenggamnya erat.
Sepasang kekasih itu lantas berjalan menuruni anak tangga, menuju lantai dua untuk menemui Pramudya dan Ratna.
"Pi, Mi, Fiya pulang dulu ya," ucap Nofiya begitu mereka tiba di hadapan kedua orang tua Zaenal.
"Kenapa buru-buru pulang, Sayang?" Ratna bertanya, lalu membawa tubuhnya bangkit dari posisi duduk dan diikuti oleh Pramudya.
"Sudah malam, Mi. Fiya takut papa dan mama khawatir kalau Fiya pulang terlalu malam."
Pramudya melirik mesin waktu yang melingkar di pergelangan tangan. "Baru jam sembilan, Fi. Belum terlalu malam," ucapnya kemudian.
"Iya, Sayang. Tidak usah buru-buru pulang ya! Kita jalan-jalan dulu. Nanti pulangnya kami antar." Ratna menimpali ucapan Pramudya.
Nofiya mengulas senyum dan meraih tangan Ratna untuk dibawanya ke dalam genggaman.
"Maaf, Mi. Fiya harus segera pulang. Tadi, Fiya terlupa belum meminta izin pada papa dan mama. Sungguh, Fiya tidak ingin mereka khawatir." Nofiya beralasan dan memang benar ia belum meminta izin pada kedua orang tuanya.
"Hmm, baiklah. Dengan berat hati mami mengizinkan kamu pulang."
"Terima kasih, Mi."
"Iya, Sayang. Salam untuk papa dan mama ya. Kapan-kapan ajaklah papa dan mama ke kafe ini untuk bertemu dengan kami. Supaya kami bisa saling mengenal dan menjalin silaturahim."
"Iya, Mi."
Nofiya memeluk singkat tubuh Ratna. Kemudian berganti menyalami Pramudya.
Meski baru pertama kali bertemu, Ratna sudah merasa dekat dan teramat menyayangi calon menantunya--Nofiya Hayati.
"Zen, jangan ngebut ya! Antar Fiya sampai ke rumah dengan selamat. Serahkan kesayangan mami pada papa dan mamanya dengan tutur kata dan sikap yang sopan," pesan Ratna pada Zaenal.
"Iya, Mi. Mami tenang aja." Zaenal mengulas senyum, lalu melabuhkan kecupan sayang di kening wanita yang telah melahirkannya itu.
Nofiya terenyuh menyaksikan pemandangan yang tersaji di depan mata. Ia tidak menyangka seorang Zaenal Si Bintang Kampus ternyata sangat menyayangi mamanya.
Setelah mengucap salam, Zaenal dan Nofiya mengayun langkah. Meninggalkan dua paruh baya yang serasa enggan melepas mereka pergi.
"Zen, papi dan mami kamu ternyata baik banget ya," ucap Nofiya sambil membenahi seal belt.
"Iya. Sama seperti papa dan mama tirimu. Mereka juga baik 'kan?" Zaenal menanggapi ucapan Nofiya dan mulai melajukan kendaraan besinya.
"Ya, papa dan mama juga baik. Tapi --" Nofiya menggantung ucapan, lalu menghembus nafas kasar.
"Tapi kenapa?"
"Nggak pa-pa."
Nofiya melempar pandang ke luar mobil. Sesekali sepasang netra indahnya terpejam seiring hembusan nafas yang terdengar berat. Terlintas di pikiran bayang-bayang masa silam. Masa yang membuat hidupnya serasa jungkir balik.
Rasa sedih dan kecewa bercampur menjadi satu, membuat dada serasa sesak kala teringat perceraian kedua orang tuanya.
Hubungan keluarga yang semula harmonis, seketika berubah menjadi sumbang dan hampa.
Suasana rumah yang semula menyenangkan seperti di istana surga, seketika menjelma menjadi neraka yang menebarkan hawa panas.
Ia yang semula menjadi kesayangan, harus rela terabai dan berbagi kasih sayang dengan saudara tiri.
Tanpa terasa, bulir air bening menetes membasahi wajah cantiknya dan menyita perhatian Zaenal.
"Yang, kamu nangis?" Zaenal bertanya pada Nofiya dan membawa kendaraan besinya menepi.
"Nggak. Aku nggak nangis. Aku cuma kelilipan debu." Nofiya beralibi dan segera menyeka wajah dengan jemari tangan.
"Kamu bohong, Yang."
"Beneran, Zen. Aku nggak nangis. Aku cuma kelilipan."
Zaenal meraih tubuh Nofiya, lalu memutar tubuh mungil kekasihnya itu hingga berhadapan dengannya.
"Fi, tatap mataku!" pinta Zaenal. Namun Nofiya enggan memenuhi permintaan sang kekasih dan malah menunduk dalam, menyembunyikan gurat kesedihan yang terlukis jelas di wajah.
"Fi, sebenarnya kamu menganggap aku siapa? Kenapa, kamu menyembunyikan kesedihan yang terlihat jelas oleh mataku? Apa mungkin, kamu belum percaya padaku? Atau mungkin, aku yang membuat kamu sedih?"
Nofiya menggeleng lemah dan memeras kelopak mata.
Perlahan ia mengangkat wajah dan memperlihatkan sepasang manik mata yang terbingkai kaca-kaca.
"Zen, aku teramat sedih bila teringat perceraian papa dan mama. Aku kecewa dengan perpisahan mereka. Kenapa papa dan mama memilih jalan yang menyakitkan bagi anak-anak mereka. Kenapa papa dan mama tega menorehkan rasa trauma."
Zaenal merengkuh tubuh Nofiya yang mulai bergetar, lalu membawanya ke dalam pelukan. Diusap lembut punggung sang kekasih seraya mentransfer energi positif yang menenangkan jiwa.
"Yang, berpikirlah positif. Setiap ujian yang kamu alami pasti tersirat hikmah yang belum dimengerti. Mungkin, papa dan mamamu sudah berusaha sekuat kemampuan untuk bertahan. Tapi, mereka nggak bisa mengelak dari garis takdir," tutur Zaenal dalam mode bijak dan berhasil menenangkan jiwa Nofiya yang sempat terguncang.
"Zen, aku kangen mama kandungku." Nofiya berbisik lirih.
"Temui mamamu, Yang. Pasti mamamu juga kangen."
"Tapi, mama berada di tempat yang jauh."
"Innalilahi. Mama kandungmu udah meninggal, Yang?"
Nofiya melepas pelukan Zaenal, lalu menggeleng pelan.
"Mama kandungku masih hidup, Zen. Beliau tinggal di Malaysia."
"Maaf. Aku kira beliau udah --" Zaenal menggantung ucapan dan memilih untuk tidak melanjutkan.
"Setelah bercerai dengan papa, mama memilih tinggal di Malaysia."
"Kamu sangat ingin bertemu beliau?"
Nofiya mengangguk dan menatap wajah Zaenal. "Tentu saja, Zen. Aku sangat ingin bertemu mama. Aku rindu pelukannya. Aku rindu kasih sayangnya."
"Besok, aku antar ke Malaysia ya?"
"Nggak, Zen. Nggak usah."
"Katanya kamu kangen --"
"Ya, tapi ... aku bisa pergi ke Malaysia jika papa berkenan memberiku izin."
"Aku yakin, pasti papamu bakal mengizinkan, Yang."
"Semoga aja ya."
"Yakinlah. Papamu seorang pria yang bijak 'kan?"
"Iya, Zen. Makasih ya --" Nofiya menerbitkan senyum dan menyandarkan kepala di bahu Zaenal. Ia merasa teramat bersyukur karena memiliki kekasih yang sangat baik dan bisa membuatnya merasa bahagia.
🍁🍁🍁
Bersambung ....
kalimatmu Thor..
mak nyesss dehh
Restu yang pergi entah kemana, sekarang datang juga...
Tu...Tu...lama amat sih lu datengnya..
Tapi beda cerita kalau kata Zaskia gotik.
Dia bilang..paijo...paijo..ditinggalke bhojhone....😄😄
Belajar sama² ya Zen udah ada lampu hijau dari Papa Ridwan.
semoga
eh Authornya duluan.
Terus siapa yg bisa jawab nih