Amira Khairinisa, tiba-tiba harus menerima kenyataan dan harus menerima dirinya menjadi seorang istri dari pria yang bernama Fajar Rudianto, seorang ketos tampan,dingin dan juga berkharisma di sekolahnya.
Dia terpaksa menerima pernikahan itu karena sebuah perjodohan setelah dirinya sudah kehilangan seseorang yang sangat berharga di dunia ini, yaitu ibunya.
Ditambah dia harus menikah dan harus menjadi seorang istri di usianya yang masih muda dan juga masih berstatus sebagai seorang pelajar SMA, di SMA NEGERI INDEPENDEN BANDUNG SCHOOL.
Bagaimanakah nantinya kehidupan pernikahan mereka selanjutnya dan bagaimanapun keseruan kisah manis di antara mereka, mari baca keseluruhan di novel ini....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon satria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20.
. Setelah meninggalkan dan pergi sedikit jauh dari ruangan itu, Fajar pun langsung mengangkat telpon dari Istrinya, dengan menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di rumah sakit itu.
..." Assalamu'alaikum." sapa Amira lebih dulu begitu panggilan mereka sudah terhubung....
" Wa'alaikumsalam."
" Kamu masih ada dimana?, kenapa masih belum pulang?" tanya Amira dengan nada bicara yang terdengar begitu khawatir dengan Fajar.
" Saya sudah bilang tadi, kan, jangan nunggu saya pulang." jawab Fajar, dengan salah satu tangannya yang dia masukan ke dalam saku celananya.
" Aku cuma khawatir sama kamu, jangan pulang terlalu larut, ya." ucap Amira meminta hal itu tanpa ragu.
Jika sudah berkaitan dengan keselamatan seseorang, Amira bisa langsung mengatakannya tanpa terhalang oleh perasaan lain, ditambah orang yang dia khawatirkan adalah suaminya sendiri.
" Kenapa?" tanya Fajar, yang meminta penjelasan atas perkataan Amira sebelumnya.
" Takut kamu..., tapi sebelumnya kamu jangan salah paham, aku gak merintah kamu buat ga pulang malam, ini cuman saran aja." jawab Amira.
Sebenarnya bukan tanpa alasan dia mengatakan hal itu, tetapi karena dia teringat kembali dengan ucapan perjanjian yang sudah mereka lakukan di awal pernikahan, jadi Amira pun langsung mengatakan hal itu.
Di mana di dalam perjanjian itu, mereka tidak boleh saling memberikan larangan dan tidak boleh saling merasa terbebani di antara mereka.
" Oke, sebentar lagi saya pulang."
" H-hah?" respon Amira dari sebrang telpon sana.
" Perlu saya ulang, lagi?" tanya Fajar, begitu mendengar Amira memberikan respon itu.
Amira pun langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat, walaupun dia sudah tau jika Fajar tidak akan melihatnya.
" Gak perlu diulang aku denger, kok, hati-hati di jalannya, yah?" ucap nya mengingatkan.
Fajar pun langsung memejamkan kedua matanya sebelum menjawabnya.
" Yah." jawab Fajar singkat.
Jujur saja, Amira sebenarnya tidak percaya jika Fajar akan berkata seperti itu dengan mudahnya.
Padahal awalnya dia sudah menduga, jika Fajar akan marah padanya, karena secara tidak langsung dia telah ikut campur dalam kehidupan pribadinya Fajar.
" Yaudah kalau gitu, Assalamu'alaikum."
" Wa"alaikumsalam." balas Fajar, kemudian dia pun langsung memutuskan panggilan diantara mereka.
Tanpa disadari setelah telpon itu berakhir, Fajar langsung menarik kedua sudut bibirnya dengan samar, begitu mendengar suara Amira yang sedikit gugup saat sedang berbicara dengan dirinya.
Padahal sebelum mereka dijodohkan dan menjalani pernikahan, Amira selalu berani dan tidak pernah gugup, bahkan saat berdebat dengan nya di dalam organisasi sekali pun, selama ada hal yang tidak Amira setujui ataupun tidak dia suka.
Sedangkan disisi lain, Amira juga sedang bingung dengan perasaannya saat ini.
Dia tidak mengerti, kenapa sekarang ada hal baru yang selalu dia rasakan, setiap dirinya berkomunikasi dengan Fajar, baik itu berkomunikasi secara langsung atau lewat sekedar panggilan telpon.
" Rasa apa ini yang aku rasakan?" batin Amira, sambil menyentuh dadanya, yang tiba-tiba berdebar tak karuan.
" Apa mungkin ini hanya rasa khawatir ku yang terlalu berlebihan?, tapi ini sungguh aneh, ini seperti bukan rasa khawatir saja." batinnya kembali, yang merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
" Ya, Allah, sebenarnya perasaan apa yang sedang hamba rasakan ini?"
Dia sudah tidak bisa menebak perasaan itu, sehingga dia kembalikan prasangkanya itu kepada Tuhannya saja.
Hanya tuhan-nya sajalah yang mengetahui pasti, perihal apa yang dia rasakan ini.
" Semoga Allah bisa memberitahuku tentang makna dari perasaan yang sedang aku rasakan ini." gumam Amira pelan, dengan kedua kelopak mata indahnya yang terpejam tenang.
🖤🖤🖤🖤🖤
Kembali lagi ke rumah sakit, Fajar kini sudah kembali ke ruangan rawat Faisal, setelah sebelumnya Fajar sudah menerima panggilan telepon.
" Siapa?" tanya Rangga penasaran.
" Keluarga gue, gue disuruh pulang sekarang." jawab Fajar, singkat.
Dia juga sebenarnya mengatakan dan menjawab nya dengan jujur dengan dirinya mengatakan bahwa yang telah menelepon nya tadi adalah keluarga nya, walaupun dia tidak mengatakannya secara spesifik tentang siapa yang dia maksud sebagai keluarga itu.
" Tumben banget keluarga lo nyuruh lo pulang, biasanya juga di biarin aja tuh, gak pulang sampai pagi juga." ucap Denis, merasa sedikit heran, begitu juga dengan yang lainnya, merasakan hal yang sama juga.
Denis dan yang lainnya merasa heran, karena biasanya Fajar tidak pernah di perhatikan bahkan sampai diminta pulang oleh orangtuanya saat Fajar bersama mereka.
Namun hal itu bukan berarti orang tua Fajar tidak memiliki rasa peduli dengan anaknya sendiri, melainkan kedua orang tuanya itu sudah sangat percaya terhadap putranya itu.
Sehingga setiap kali Fajar berada di rumah, kedua orang tuanya hanya akan mengirim pesan supaya Fajar selalu berhati-hati, tidak sampai memintanya untuk pulang segala, jika tidak ada hal yang urgent atau hal mendesak yang sampai memaksa Fajar untuk segera pulang.
" Gue pulang duluan." ucap Fajar kembali, tanpa mempedulikan perasaan teman-temannya yang masih dipenuhi dengan rasa heran kepada Fajar itu sendiri.
" Lo dan keluarga lo, lagi gak ada masalah kan?" tanya David, merasa khawatir jika ada sesuatu yang telah terjadi dengan keluarga nya Fajar.
" Gak ada, lebay banget lo!" cibir Fajar.
Fajar pun langsung menyambar sebuah kunci motornya yang sebelumnya dia letakkan di atas meja yang ada di ruangan itu.
" Gak papa lo pulang sendirian?" tanya Jay.
Dia bertanya seperti itu bukan tanpa alasan, melainkan karena dia juga khawatir jika yang sudah terjadi kepada Faisal akan berpindah juga kepada Fajar nantinya kalau Fajar pulang ke rumah sendirian, di tambah keadaan kota di tengah malam seperti ini sudah sangat sepi dan juga rawan.
Walaupun dia dan juga yang lainya sudah tau kemampuan Fajar yang jago dalam hal bela diri, tetapi jika itu dihadapkan dengan musuh yang jumlahnya sangat banyak, sudah pasti Fajar tidak akan sanggup jika dia harus melawannya sendirian.
" Mau kita anter, ga?" tawar David.
Namun Fajar langsung menolaknya dan langsung menggelengkan kepalanya.
" Gak perlu, kalian disini aja temenin si Faisal." jawab Fajar, sambil menunjuk ke arah Faisal menggunakan gerakan matanya.
" Sorry, Sal!, gue harus pulang duluan." ucapnya kembali kepada Faisal yang masih di posisi duduk bersandar di bankar rumah sakit itu.
Dia juga mengulurkan salah satu tangannya yang sudah terkepal, ke arah Faisal untuk melakukan tos pamitan.
" Santai aja, thanks ya udah ke sini dan juga udah urus biaya rumah sakit." ujar Faisal sembari membalas salam tos dari Fajar.
Salam tos itu memang sering dilakukan oleh para lelaki atau bagi mereka sebagai tanda pamit.
" Kalau ada apa-apa langsung hubungin kita " ucap Rangga, begitu Fajar sudah berada di ambang pintu.
" Iyah, Assalamu'alaikum."
" Wa'alaikumsalam." sahut mereka dengan serentak.
Sampai detik berikutnya, Fajar pun langsung pergi dari rumah sakit itu dan menghilang dari pandangan mereka.
TO BE CONTINUE.