Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Ajakan Pesta
"Apakah itu ...." Ratri menatap tegang ke depan, sebelum beralih kepada Sastra.
"Ya" Meskipun Ratri tak memberikan pertanyaan secara lengkap, tetapi Sastra paham akan maksud wanita itu.
"Jangan katakan dia mengikuti kita sampai kemari. Bagaimana bisa? Bukankah semalam kita berhasil mengecohnya?" Ratri menatap tak mengerti.
"Aku sedang menyelediki pemilik SUV hitam itu. Aku curiga, dia ada keterkaitan dengan salah satu penghuni apartemen ini, atau mungkin memang tinggal di sini," jelas Sastra, memasang mimik serius.
"Lalu, bagaimana?" Ratri menatap ragu.
"Jangan khawatir. Kupastikan kamu tetap aman." Sastra tersenyum kalem, kemudian mengedipkan sebelah mata.
Entah bagaimana, Sastra bisa selalu terlihat tenang dalam menghadapi setiap masalah. Pria itu seperti tak terlalu peduli dengan segala yang terjadi.
Setelah SUV hitam tadi keluar dari area parkir, barulah Sastra mengikuti. Ada satu hal yang dirasa janggal. Pemilik mobil itu seperti tak peduli. Padahal, mobil Sastra hanya berjarak beberapa meter di belakangnya. SUV tersebut terus melaju tenang, bahkan berlainan arah dengan Sastra.
"Aku tidak mengerti," ucap Sastra, seraya mengetuk-ngetukkan jemari ke kemudi. "Semalam, mobil itu mengikuti kita. Akan tetapi, pagi ini seperti tak peduli. Apa mungkin mobil itu dimiliki dua orang yang berbeda?" pikir pria tampan berkacamata hitam tersebut.
"Kita harus memastikan terlebih dulu, siapa pemilik sebenarnya dari mobil itu," ucap Ratri menanggapi.
"Ya. Itu yang sedang kuselidiki sekarang."
Sejoli itu sama-sama terdiam. Mereka larut dalam pikiran masing-masing, hingga tiba di dekat firma yang dikelola Ratri dan Eliana.
Ratri sengaja meminta turun tidak di depan kantor. Dia tak ingin menambah masalah, saat berhadapan langsung dengan Eliana.
"Biar kuantar ke dalam. Aku yang akan menghadapi Elia," ucap Sastra, hendak melepas sabuk pengaman.
"Tidak. Jangan," cegah Ratri. "Aku harus siap menghadapi apa pun yang terjadi. Jika kamu ikut turun tangan, itu hanya akan membuat Elia makin marah."
"Kamu yakin?"
Ratri mengangguk tegas, lalu tersenyum. "Jangan lupa. Aku pemegang sabuk biru."
"Aku percaya. Aku hanya tidak yakin kamu akan tega menendang Elia sampai terpental jauh. Itu hanya berlaku terhadap empat berandal. Iya, kan?" Sastra tersenyum kalem, menanggapi tatapan protes yang dilayangkan Ratri.
Gemas, dia langsung mencubit pangkal hidung wanita itu. "Beri aku satu ciuman sebelum turun," ujarnya menggoda.
"Tidak," tolak Ratri.
"Kalau begitu, aku tidak akan membiarkanmu keluar dari mobil."
"Bagus. Kamu sangat menyebalkan," cibir Ratri.
"Tetapi, kamu suka. Iya, kan?*
Ratri tersenyum, lalu mendekat. Seberapapun besarnya rasa bersalah terhadap Elia, tetapi dia tak mampu menolak segala godaan menyenangkan dari Sastra.
"Aku akan ke apartemen orang tuaku. Mungkin di sana sampai siang. Rencananya, mereka akan kembali ke Skotlandia dalam minggu ini," ucap Sastra, setelah puas berciuman.
"Iya. Kuhubungi lagi nanti. Dah." Ratri melepas sabuk pengaman. Dia melarang Sastra membukan pintu untuknya.
Sastra tidak membantah. Dia tetap diam di dalam mobil, sambil memperhatikan langkah gemulai Ratri yang makin menjauh.
"Ya, ampun." Sastra menggeleng samar, kemudian menyandarkan kepala. Embusan napas berat dan dalam meluncur dari bibirnya.
[Di mana?]
Satu pesan masuk dari Carson.
[Aku akan segera ke sana, Pa.]
Setelah membalas pesan itu, Sastra bergegas melanjutkan perjalanan menuju apartemen sang ayah.
Sementara itu, Ratri terpaku beberapa saat sebelum memasuki kantor. Dia mendapati sedan hitam di halaman depan. Namun, Ratri yakin itu bukan mobil milik Prama.
"Bantu Aku, Tuhan," ucap Ratri pelan, setelah mengembuskan napas dalam-dalam. Dia melangkah penuh percaya diri, memasuki kantor.
Sayup-sayup, terdengar perbincangan antara Eliana dengan seorang wanita, yang entah siapa. Tidak ada jadwal menerima tamu hari ini.
Ratri memberanikan diri masuk ke ruang kerja. Dia tahu tak akan ada sambutan hangat seperti yang biasa Eliana berikan. Oleh karena itulah, Ratri sudah mempersiapkan diri.
"Hai, Rat," sapa Eliana hangat, disertai senyum manis. "Tidak biasanya kamu datang terlambat," ucap kekasih Sastra tersebut.
Bukannya membalas dengan sikap yang sama, Ratri justru menatap penuh selidik. Dia keheranan karena Eliana bersikap manis.
"Hai, El," balas Ratri, meskipun agak kikuk. "Maaf. Aku bangun kesiangan," ucapnya, seraya duduk di belakang meja.
Namun, Eliana tak menanggapi lagi. Dia lebih memilih kembali bicara pada wanita di hadapannya. Sesekali, mereka tertawa lepas. Entah apa yang tengah dibahas karena obrolan keduanya tidak Ratri pahami.
"Bagaimana, Rat?" tanya Eliana tiba-tiba.
"Apanya?" Ratri balik bertanya.
"Aku dan beberapa teman lama akan mengadakan pesta. Aku harap, kamu bisa bergabung bersama kami karena ini pasti akan sangat menyenangkan. Satu lagi. Ini merupakan acara khusus para gadis," jelas Eliana penuh semangat. Tak terlihat tanda-tanda dirinya tengah dilanda patah hati.
"Pesta?" ulang Ratri. "Kapan?"
"Malam ini," jawab Eliana. Kita bisa berangkat bersama ke lokasi."
"Kenapa sangat mendadak?" Ratri menautkan alis. "Lagi pula, itu acaramu dengan teman-teman lama. Jadi, kurasa aku ...."
"Tidak apa-apa, Mbak. Teman Elia adalah teman kami juga," ujar wanita yang tadi bicara dengan Eliana. "Makin banyak yang datang, pasti akan makin menyenangkan," imbuhnya.
Ratri tersenyum kecil, diiringi anggukan pelan. Jika bukan dalam situasi seperti saat ini, dia pasti tak akan berpikir macam-macam menerima ajakan Eliana. Namun, dalam keadaan tidak kondusif seperti yang Sastra katakan, Ratri patut menaruh curiga. Apalagi, Eliana bersikap biasa terhadap dirinya.
Hari itu, Eliana terlihat biasa. Dia bersenandung riang, bahkan mengajak Ratri berbincang hangat. Sikap kekasih Sastra tersebut membuat Ratri jadi berpikir lain.
"Apa kamu sedang mengerjaiku?" tanya Ratri, saat mencuri waktu menghubungi Sastra.
"Mengerjai apa?" tanya Sastra tak mengerti.
"Elia. Dia bersikap biasa padaku. Apa mungkin kamu sengaja berbohong karena alasan tertentu?" tuding Ratri pelan, tetapi penuh penekanan.
Sastra tertawa pelan mendengar ucapan Ratri. "Untuk apa aku melakukan itu? Aku mengatakan yang sebenarnya. Elia sudah mengetahui kedekatan kita. Jika dia tetap bersikap biasa terhadapmu ...." Sastra menjeda kalimatnya. "Kujemput sore ini," lanjut sang pemilik cafe 'Secangkir Kopi' tersebut serius.
"Tidak. Aku ada acara dengan Elia sepulang kerja nanti," tolak Ratri yakin.
"Ke mana?" tanya Sastra.
"Pesta. Namun, aku tidak tahu di mana," jawab Ratri enteng.
"Apa maksudmu tidak tahu?"
"Um, begini." Ratri menerangkan tentang ajakan pesta dari Eliana dan teman-temannya. Namun, dia tidak tahu pasti lokasi berlangsungnya acara tersebut.
"Kusarankan kamu tidak ikut," cegah Sastra.
"Tapi, aku sudah setuju."
Sastra mengembuskan napas berat. "Katakan saja ada acara mendadak, atau apa pun. Intinya, kusarankan agar kamu tidak ikut."
Ratri terdiam, mempertimbangkan ucapan Sastra.
"Hai, Rat," panggil Eliana. "Mari berangkat," ajaknya.
"Um, aku ...."
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...