Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Malam itu menjadi malam yang membahagiakan sekaligus menyedihkan bagi Aline. Pasalnya, Aline baru saja mengetahui kalau alasan Margin dan Ruby menjenguknya di asrama sore itu tidak lain adalah untuk berpamitan kepada Aline dan Dr. Gita. Pertemuan mereka kali ini tidak lebih dari sekadar menyampaikan salam perpisahan.
Memang, beberapa bulan lalu sepulangnya Margin dari Italia, Margin sempat mengabari Dr. Gita, bahwa ia telah mendapat undangan untuk mengikuti sebuah acara bakti sosial yang akan diselenggarakan di New York—Dare to Dream Show atau acara amal semacam Gala Fashion Internasional yang kerap kali dihadiri oleh pejabat-pejabat negeri dan artis-artis papan atas. Di sana, mereka akan memamerkan pakaian-pakaian koleksi dari perancang mode internasional dan melelang pakaian itu untuk menggalang dana pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak yang tidak beruntung di berbagai belahan dunia.
Margin sangat antusias mengikuti acara ini.
Menurut Margin, acara penggalangan dana tersebut akan diadakan pertengahan Desember nanti. Namun untuk melakukan persiapannya, Margin yang sudah lama bekerja sama dengan Ruby memutuskan untuk terbang lebih awal. Karena alasan seperti itulah, Margin dan Ruby menyempatkan diri untuk datang ke asrama tua Dr. Gita dan menitipkan Aline kepadanya.
"Kamu tidak perlu cemas, saya akan selalu menjaga Aline dengan baik. Aline akan baik-baik saja di sini." Kata Dr. Gita sewaktu Margin berpamitan.
Margin mengangguk lemah. "Jujur saja, aku tidak bermaksud untuk meragukanmu. Aku hanya... Yah, walau aku menginginkan kesempatan ini, tapi aku merasa berat untuk pergi ke New York. Aku terus mencemaskan ingatan buruknya Aline. Aku takut jika Aline akan berhenti kuliah di tengah jalan. Aku prihatin, apalagi tadi kamu juga dengar sendiri, Aline sempat bercerita tentang gangguan delusinya yang tiba-tiba kembali saat ia berhadapan dengan orang lain."
"Tidak apa-apa. Kamu tidak usah mencemaskan soal itu. Kamu harus fokus dengan acara kamu, Mar. Aline akan baik-baik saja bersama saya. Saya akan menjaga dan mengawasinya di sini. Lagi pula, kamu tahu kan, Aline tidak pernah sendirian."
Margin membenarkan ucapan Dr. Gita. Ia lalu memeluk wanita itu dan berbisik. "Aku titip Aline sama kamu, ya, Kak."
"Pasti." Dr. Gita menepuk-nepuk punggung Margin.
Sementara Margin sedang berbincang dengan Dr. Gita, Ruby yang menemani Aline di teras membisikkan sesuatu.
"Adikku yang dari Jepang akan datang ke Indonesia, lho."
Mata Aline langsung berbinar cerah. "Kapan, Kak?"
"Em... pekan depan sepertinya."
"Kakak serius?"
Ruby mengangguk. "Kapan-kapan tolong kamu temui dia, ya."
Aline mengangguk penuh semangat. "Iya, aku pasti akan menemuinya nanti."
Mereka tersenyum.
Dan, tepat pada pukul delapan malam setelah mereka selesai makan malam, Margin pun berpamitan pada Aline.
"Jaga diri baik-baik selagi aku tidak ada. Jangan merepotkan Dr. Gita, oke?"
"Iya." jawab Aline pendek. Suaranya terasa berat.
Meski ini bukan kali pertamanya Aline ditinggalkan ke luar negeri, rasanya Aline tidak bisa untuk tidak menitikkan air matanya.
"Sudah, jangan menangis. Besok kan kamu akan bertemu dengan Luna. Kalau matanya sembap begitu Luna mana mau menemui kamu."
Aline tertawa kecil. "Kau jahat, Mar." katanya, sambil memukul pundak Margin.
"Aku berangkat sekarang, ya."
Aline mengangguk. Ia dan Dr. Gita melambaikan tangan mengantarkan kepergian Margin dan Ruby.
Alphard berwarna putih yang dikendarai mereka kini menghilang dari pandangan Aline. Aline mengusap air matanya. Dr. Gita menempatkan sebelah tangannya di bahu Aline untuk menenangkannya.
Mereka kemudian masuk ke asrama.
"Ini sudah malam. Sebaiknya kamu segera tidur."
"Iya. Dokter juga."
Dr. Gita mengangguk. "Oh, ya, saya lupa mengembalikan sesuatu padamu. Tunggu sebentar."
Dr. Gita pergi ke ruangannya dan kembali dengan sebuah kotak hitam serta buku berwarna biru pirus.
"Tadi siang Margin menitipkan kotak ini pada saya. Dia bilang ini hadiah untuk kamu. Lalu, ini ... Ini catatan kamu. Maaf, waktu itu saya mengambilnya saat kamu tidur."
"Oh, ya ampun... pantas saja pagi itu aku tidak menemukan buku ini."
"Maaf, ya, sudah membuat kamu bingung mencari buku itu."
"Tidak apa-apa, Dokter. Terima kasih."
Dr. Gita mengangguk. "Baiklah. Besok pagi jadwal saya padat sekali. Saya mau tidur duluan, ya. Selamat malam, Aline."
"Iya. Selamat malam, Dok." balas Aline tersenyum cerah.
Aline kembali ke kamarnya dengan perasaan lega. Malam ini mungkin ia bisa tidur nyenyak karena buku itu telah ditemukan. Tetapi sebelum tidur Aline ingin menuliskan sesuatu dulu di buku agendanya.