Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 3
Pemandangan pagi di desa memang sangat indah, apalagi di daerah pegunungan yang masih asri dengan berbagai macam tanaman, membuat udara disekitar menjadi sangat segar. Berbeda dengan di kota, polusi udara dimana-mana. Bahkan pagi sekalipun, di depan rumah Sukma sudah penuh asap bus kota, mobil dan motor yang berebut jalan.
Sukma melakukan peregangan otot sambil menunggu ibu mertuanya di depan rumah. Mereka berencana pergi ke pasar untuk berbelanja sayur mayur dan beberapa lauk pauk.
“Pagi Mbak, gimana semalam? nyenyak tidurnya?” sapa Wijaya yang kebetulan baru datang dari kandang ayam.
“Eh Jaya, kamu semalam usilin Mbak ya?”
Lelaki yang tengah sibuk mencuci tangan dan kaki di samping rumah itu mengernyit heran, tak memberikan jawaban hingga ia menyelesaikan kegiatannya, lantas berjalan mendekati Sukma. “Apa maksud Mbak?”
“Halah, ngaku aja deh, nggak lucu tau. Kamu kan yang semalam ketok-ketok jendela kamar Mbak? terus ketok pintu juga.”
“Astaghfirullah Mbak, ngapain aku kurang kerjaan begitu? lagian semalam aku nginep di rumah Narso, kita nonton bola sampe pagi. Ini juga baru pulang langsung ke kandang ayam kutip telur buat disetor.”
Sukma tercengang, jika memang bukan Wijaya pelakunya lantas siapa? mungkinkah setan yang menyesatkannya kemarin sore?
“Ada apa? kalian ngomongin apa?” tanya nenek Ratih, wanita tua itu membetulkan posisi jilbabnya yang miring.
“Ini lo Bude, katanya mbak Sukma dengar orang ketuk pintu dan jendela tadi malam.”
“Jam berapa to Nduk?”
“Jam berapa nggih Buk, mungkin sekitar jam 1 malam kalau nggak salah. Oh iya, yang dipintu itu malah kayak orang mukul pake sapu penebah, bukan Ibu itu?”
Nenek Ratih diam sejenak, wajah keriputnya tampak begitu khawatir. “Sudah jangan dipikirkan, mungkin kamu hanya salah dengar. Lebih baik kita cepat berangkat, sebelum kehabisan tempe kesukaan Dira.”
Sukma mengangguk mengerti, meski dalam hati masih belum puas akan jawaban ibu mertuanya itu. Mereka berjalan beriringan menuju pasar yang memang tak jauh dari rumah.
Sepanjang jalan, hampir semua warga menyapa nenek Ratih, sekedar berbasa-basi dan menanyakan siapa wanita cantik yang tengah bersama beliau. Nenek Ratih menjawab semua dengan sabar, Sukma tak heran melihat semua ini. Mendiang bapak mertuanya dulu memang sempat menjabat sebagai kepala desa, beliau terkenal memiliki kinerja yang sangat baik selama masa jabatannya, hingga seluruh warga begitu baik pada keluarganya.
***
Selepas sholat maghrib, nenek Ratih mengajak cucu dan menantunya itu sowan ke ndalem kyai Usman. Mereka naik mobil bersama Wijaya sebagai drivernya. Sebenarnya Dira enggan ikut, ia lebih betah di rumah karena neneknya sengaja memasang wifi sebelum mereka datang, sedangkan jika keluar rumah maka ponselnya tak akan berguna. Dan ia bisa mati bosan mendengarkan percakapan para orang dewasa.
Tapi, tentu saja ibunya melarang. Menurut Sukma sudah sepantasnya Dira ikut sowan, karena yang diselamatkan kyai Utsman sore itu adalah mereka berdua.
Kendaraan berbelok pada sebuah gerbang besi besar berwarna hijau, di sampingnya terdapat plang bertuliskan pondok pesantren tahfidzul quran al-kautsar. Mereka berhenti di depan sebuah rumah sederhana, yang berdiri di samping bangunan besar mirip mushola. Dira melihat bagian dalam bangunan terbagi menjadi dua, sisi kiri penuh dengan para gadis seusianya. Sementara di sisi kanan anak laki-laki yang kemungkinan masih berusia sekitar 6-12 tahun.
“Mereka sedang ngapain Nek?” tanya Dira pada sang nenek.
“Tentu saja sedang mengaji Cah ayu, kamu mau ngaji disana juga?” Nenek Ratih tersenyum menampilkan kulit wajahnya yang keriput, terutama di bagian mata.
“Hah? nggak perlu Nek, Dira sudah pernah ngaji, dulu waktu kecil.”
Nenek Ratih terkekeh pelan, kepala menggeleng heran atas jawaban cucunya itu. Tapi ia tak lantas membantah jawaban sang cucu, melainkan lebih memilih bersama-sama masuk ke ndalem kyai Usman. Sebab bu nyai Hasna, istri beliau telah menyambut di depan pintu.
“Assalamualaikum bu nyai.”
“Waalaikumsalam, masya Allah Mbah Ratih. Sudah lama tidak bertemu, sehat Mbah?”
“Alhamdulillah, seperti yang Bu nyai lihat,” jawab nenek Ratih, wanita tua itu berjalan tertatih saat menaiki beberapa undakan kecil di depan pintu ndalem kyai Usman. “Ya keluhannya cuma ini, dengkul ini Bu nyai… maklum sudah sepuh,” ucapnya lagi sambil terkekeh.
Bu nyai Hasna membawa tamunya menuju ruang tamu, mempersilahkan mereka duduk lesehan di atas karpet. Tak lama kemudian, kyai Usman keluar bersama dua santri yang membawa teh panas dan beberapa cemilan untuk dihidangkan.
“Monggo, monggo disambi,” kata beliau menunjuk pada beberapa toples berisi makanan ringan yang telah terbuka. Tanpa sungkan Dira meraih keripik pisang kesukaannya, ia tak peduli meski ibunya memberi kode agar gadis itu lebih sopan. “Nggak apa-apa, biarkan. Yang namanya suguhan itu ya untuk dimakan, bukan cuma dilihat,” imbuh Kyai Usman lagi.
“Terima kasih Kyai,” jawab Sukma.
“Jadi begini, kedatangan kami yang pertama untuk bersilaturahmi pada keluarga kyai dan bu nyai. Yang kedua mengantar cucu dan menantu saya mengucapkan terima kasih karena sudah membantu mereka kemarin sore.” Nenek Ratih menjelaskan maksud kedatangan mereka.
“Oalah, tidak perlu sungkan mbah. Selama ini mbah Samiran dan keluarga sudah seperti keluarga kami sendiri, dulu saat kami masih pendatang beliau selaku kepala desa sangat memperdulikan kami, kini beliau sudah tidak ada, sudah seharusnya kami ikut menjaga keluarga beliau. Ini istri dan anak almarhum Bagas kan?”
“Iya Kyai,” jawab Wijaya.
“Cah ayu namanya siapa?”
Nadira yang masih asyik menikmati keripik terkesiap, dengan sedikit gagap ia menyebutkan nama lengkapnya. “Na-nadira Indri, Kyai.”
“Nadira Indri, nama yang cantik seperti anaknya. Panggil saja saya abah ya, anggap sebagai orang tuamu. Nadira, mau mengaji disini? dulu ayahmu juga mengaji bersama abah dan umi.”
Nadira diam sejenak, melirik ke arah ibunya berada. Wanita yang melahirkannya itu mengangguk setuju, begitupun nenek dan pak leknya.
“Biar nanti diantar Mas Wijaya, kalau pulangnya itu urusan abah. Disini juga ada beberapa santri yang bisa mengantarmu.”
“Ehm, lihat nanti saja deh Kya…i, eh abah. Nanti Dira pikir-pikir lagi,” jawabnya malu-malu. Kyai Usman terkekeh pelan, tapi pada akhirnya mengangguk setuju.
Percakapan terus berlanjut, begitupun Nadira yang tak kunjung berhenti menikmati keripik pisang dan teh panas, hingga ia merasa kantong kemihnya telah terisi penuh, gadis itu butuh membuang hajatnya kini.
Nadira menarik-narik ujung pakaian ibunya. “Bu, pengen pipis,” ucapnya.
Sukma menghela nafas panjang, tak sengaja bu nyai Hasna mendengar ucapan gadis itu. “Oh mau ke toilet ya, di luar ada. Nadira jalan aja di sebelah rumah ini, nanti ada toilet disana.”
“Baik Umi.” Nadira bergegas keluar rumah, ibunya sempat menawarkan diri untuk mengantar. Tapi, gadis itu menolak.
Nadira sempat melirik ke arah mushola, beberapa santri putri menatap ke arahnya. Ia tak begitu peduli, lebih memilih segera mencari keberadaan toilet. Sebelah ndalem kyai Usman rupanya adalah sebuah lorong kecil yang menghubungkan antara ndalem beliau dengan bangunan pesantren.
Nadira melihat toilet tepat di samping sebuah pintu bertuliskan area dapur putri. Pintu yang terlihat usang itu sedikit terbuka, di dalamnya tampak gelap tak ada lampu penerang, hanya bias cahaya dari arah mushola.
Nadira merasa bulu kuduknya berdiri kala melewati pintu tersebut, tapi ia tak peduli. Keinginan buang air kecil sudah tak tertahan, ia segera masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya.
“Ah, lega…” gumamnya lirih. Setelah dirasa cukup, ia segera membersihkan diri dan keluar dari toilet. Saat itulah Nadira mendengar sebuah musik mengalun lirih dalam bangunan gelap tepat disampingnya.
“Suara apa itu?” ucapnya mencoba mengintip lewat pintu kayu usang yang hampir copot. Mata Nadira menangkap pergerakan dari sebuah kain berwarna putih, kain putih itu mengeluarkan seberkas cahaya di dalam gelap. Jantung Nadira berdebar kuat, tubuhnya mendadak kaku, kakinya tak mampu melangkah seolah ada tangan tak kasat mata yang menahan geraknya. Keringat dingin bercucuran, sementara suaranya tercekat di tenggorokan.
Nadira diam membatu, hanya nafas yang terdengar nyaring di telinga. Ia semakin panik kala kain putih berjalan mendekat, Nadira memilih memejamkan mata, dan…
“Aaaaahhhh…!”
.
Tbc