Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Luna menatap layar ponselnya, menunggu tanda centang biru di pesan terakhirnya untuk Renzo. Namun, pesan itu masih belum dibaca. Dadanya sesak. Rasa gelisah semakin kuat, membuatnya tidak bisa berdiam diri lebih lama.
Tapi dia masih tidak bisa melarikan diri karena penjagaan ketat kedua orang tuanya.
"Aku yakin saat ini Renzo kesakitan, aku yakin sesuatu terjadi padanya. Astaga ini semua salahku, seharusnya aku bisa mencari sendiri siapa orang yang mencelakai Bimo, bukan malah membawa dia bersamaku," sesal Luna dalam batin.
Dua nama yang tiba-tiba melintas di pikirannya. "Ivy? Ivan Permana? Siapa mereka sebenarnya?"
Luna mengingat kembali ekspresi Renzo saat Ivan mengucapkan nama itu, dia terlihat tidak mengenal nama itu sama sekali. Bahkan Renzo tidak mengenali Ivan.
Dengan sigap Luna mengirimkan pesan pada Johan, untung saja Renzo sempat memberikan nomor Johan pada Luna untuk berjaga-jaga.
"Ternyata ada guna nya juga aku punya nomor si pengawal itu," gumamnya.
"Apa, Lun?" tanya Raihan yang mendengar ocehan Luna.
"Apa sih, Papa. Aku cuma lagi memantau pekerjaan dari ponselku, menyebalkan!" cicit Luna kesal.
"Alasan saja!"
Tak di hiraukannya ucapan Raihan, segera ia mengetikan pesan berisi. "Johan, aku butuh bertemu denganmu segera, aku perlu tahu siapa yang di maksud Ivan itu? Ivy, siapa dia?"
Siapa sangka pesan itu mendapat balasan secepat kilat dari Johan.
"Setelah Nona Luna sembuh mari kita bertemu, segera pulihkan keadaanmu Nona. Tuan Renzo saat ini sangat membutuhkanmu."
Akal cerdik Luna muncul, dia menghubungi Patricia untuk datang ke ruangannya. Membuat rencana agar Papanya bisa kembali ke rumah dan dia akan bertemu Johan segera.
.
Tak selang lama....
"Lunaaaa! Apa yang terjadi padamu? Kenapa baru memberiku kabar, Bimo sangat khawatir padamu, sejak terakhir kamu menghubungiku kenapa baru sekarang memberi kabar!" desak Patricia yang memang benar panik.
Tangan Luna segera merangkulnya mendekat ke pelukannya sembari berbisik. "Nanti aku ceritakan, sekarang bantu aku dulu agar Papaku segera pulang. Cepat cepat!" suaranya sangat lirih di telinga Patricia.
"Maafkan aku, Lun. Karena aku ingin sekali mencari siapa yang mencelakai Bimo kamu harus menghadapi ini," rengek Patricia, entah kenapa air matanya cepat sekali turun.
Melihat Patricia sedang menangis, Raihan berdehem sekali lalu keluar dari ruangan.
Seketika Luna terkekeh kecil. "Nggak di ragukan lagi akting kamu, sudah cocok jadi artis Ibukota. Apalagi sekarang kamu selebgram terkenal."
"Eh, tapi aku beneran sedih melihat kamu begini. Sebenarnya ada apa?"
"Nanti saja," jawab Luna singkat, pandangannya kini ke ponsel dengan cepat mengirimkan pesan ke Johan untuk datang ke rumah sakit.
"Papa pulang dulu." ucap Raihan singkat dan di angguki oleh Luna.
Luna dan Patricia saling memandang dengan menahan senyum di bibir mereka, rencana mereka membuat Papa Luna pergi berhasil.
.
Luna duduk di sofa kamar rawat inapnya, menatap Johan dengan tatapan penuh tuntutan, penuh rasa ingin tahu yang besar. Sedangkan Patricia menunggu di luar, tidak ingin mendengarkan percakapan mereka yang sifatnya pribadi.
"Ivy... Siapa dia sebenarnya? Ceritakan!" desak Luna.
"Eh... Eh... "
Patricia yang kelimpungan berusaha menghalangi Difan yang baru saja tiba. Dia mendapat amanat dari Raihan untuk gantian berjaga. Luna saat ini benar-benar tidak bisa mencuri waktu untuk berurusan dengan apapun tentang Renzo.
"Kak! Siapa dia?" tanya Difan.
"Teman kantor Kakak, Difan, jaga sopan santunmu. Jangan menyebalkan seperti Papa deh!" ketus Luna dengan lirikan tajam.
"Mana ada teman kerja pakai pakaian serba hitam dan memakai ear monitor,"
Tidak ingin menambah keruh keadaan, Johan memilih meninggalkan ruangan Luna tanpa berkata apa-apa. Gagal rencana Luna untuk mengetahui siapa Ivy sebenarnya.
"Kamu harus tahu urusan orang dewasa tidak se-sepele urusan kamu! Kamu harusnya dukung Kakak supaya bisa bersama Renzo!" seru Luna.
"Aku sebenarnya mendukung, tapi setelah aku melihat pisau menancap di perutmu aku jadi ragu untuk mendukung hubungan kalian. Cepat sembuh deh, biar bisa mengejar cintamu itu!" lontar Difan, kata-katanya terkesan ketus namun itu lah bentuk sayang dia pada Luna.
.
.
Terra Mansion, Kediaman Renzo
Johan melangkah cepat melewati lorong panjang mansion William. Sudah terbiasa dengan rumah megah itu, dia tak lagi terkesima dengan arsitektur klasik yang dipadukan dengan teknologi modern. Namun, ada satu tempat di rumah ini yang selalu membuatnya merasa… tidak nyaman.
Terletak di lantai tiga, ruangan itu memiliki dinding kaca besar yang menghadap ke taman belakang. Semua furniturnya putih—sofa, karpet, meja, bahkan lukisan di dinding hanya menampilkan goresan warna samar seakan tak ingin mengganggu harmoni ruangan.
Di sanalah Renzo berada, duduk di kursi dengan punggung tegap, mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan warna sekitarnya. Matanya menatap kosong ke luar jendela, jari-jarinya menggenggam sebuah gelas kristal berisi bourbon.
“Tuan Muda.”
Renzo tidak langsung menoleh. Suara Johan terdengar tenang, tapi Renzo bisa menangkap kegelisahan di baliknya.
“Bagaimana keadaan Luna?” akhirnya Renzo bertanya tanpa berpaling.
Johan maju beberapa langkah. “Dia sudah jauh lebih baik. Tapi ada satu hal…”
Renzo akhirnya menoleh, tatapannya tajam.
“Dia ingin tahu tentang Ivy.”
Johan bisa melihat rahang Renzo mengeras, jemarinya mencengkeram gelas lebih kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
“Dan?” suara Renzo terdengar tenang, tapi ada sesuatu yang mengancam di baliknya.
“Aku belum sempat mengatakan sesuatu, adiknya tiba-tiba datang. Sepertinya keluarganya masih marah atas kejadian yang menimpanya ini."
"Wajar, dia anak baik dan sangat di sayang oleh keluarganya. Setelah keadaanku membaik, aku akan mendatangi orang tuanya."
"Silahkan istirahat kembali, Tuan."
Johan membalikkan badannya keluar dari ruangan, baru saja memegang gagang pintu tiba-tiba suara Renzo yang tenang tapi dingin memanggil.
"Jo, temani aku merokok di taman bawah. Aku sudah bosan di dalam ruangan ini,"
"Baik, Tuan."
Lorong di lewati dengan langkah berirama, menuruni anak tangga satu per satu bersama Johan yang siaga berjalan di belakangnya. Wajahnya yang pucat dua hari lalu kini terlihat membaik.
Maharani melihat anaknya menuruni tangga dan seolah tahu kemana perginya hanya menorehkan senyum,
Renzo mendekat, kemudian mendaratkan kecupan singkat di pipi Ibu tersayangnya.
"Sudah baikan, Sayang?"
"Yes, aku mau merokok sebentar di belakang."
.
Siang hari tidak terasa terik di mansion Renzo, udara di taman belakang terasa sejuk karena rindangnya pepohonan di sana.
Asap rokok yang terbawa angin, tak menghentikannya.
Rambutnya yang tersapu angin membuatnya tetap tampan dan berkarisma.
"Besok antar aku ke rumah sakit menemui Luna, walau harus bertemu dengan kedua orang tuanya tidak masalah. Keadaanku sudah lebih baik," ucap Renzo.
Baru saja Johan akan menjawab, Renzo menambahkan. "Katakan pada Tuan-mu Adrian aku sudah membaik, jangan coba menghalangiku."
Esok siapa yang lebih dulu menemui, Renzo yang datang ke rumah sakit? Atau Luna yang datang ke mansion karena tidak bisa lagi membendung rindu dan khawatirnya?