NovelToon NovelToon
Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: sha whimsy

" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.

Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."

Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."

"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."

Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"

Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perhatian Sahabat

" Ambil cuti aja nak kalo kamu capek sebentar lagi juga kamu mau ujian sekolah, " Kata bunda melihat wajah lelah anak nya.

" Iya tapi sayang bun gaji nya kepotong, gapapa sore aku ke toko bunga, malemnya belajar sebelum tidur, " Kata Raya.

"Bunda ngerti kok, nak," kata bunda dengan lembut. "Tapi ingat, jangan terlalu dipaksakan. Kesehatan kamu lebih penting, ujian bisa disiapkan kalau kamu sehat."

Raya mengangguk pelan. "Iya bun, aku akan atur waktu sebaik mungkin. Yaudah aku ke kamar dulu ya bun mau tidur. "

Bunda tersenyum, mengelus kepala Raya dengan penuh kasih. "Yaudah tidur lah sana, jangan lupa cuci kaki dulu terus baca doa sebelum tidur."

Raya hanya mengangguk lagi, kemudian berjalan menuju kamarnya. Di dalam hati, dia berjanji akan berusaha lebih baik lagi meski lelah menyelimuti tubuhnya.

Pagi-pagi, Raya sudah siap dengan seragam putih abu-abu, hari ini dia tidak kesiangan seperti biasanya. Dengan langkah cepat, ia keluar dari kamar, memastikan segala sesuatunya sudah siap sebelum berangkat ke sekolah.

Bunda yang sedang sibuk di dapur melihatnya dan tersenyum. "Cepat banget siapnya, nak," kata bunda dengan bangga.

Raya hanya tersenyum kecil. "Iya bun, hari ini aku nggak mau terlambat lagi. Biar bisa belajar lebih baik."

Bunda mengangguk. "Semangat ya, nak. Jangan lupa sarapan dulu."

Raya mengangguk, lalu duduk sebentar untuk sarapan sebelum melanjutkan perjalanan ke sekolah. Ada rasa tekad yang kuat dalam dirinya hari itu, seperti ada dorongan untuk lebih serius dan fokus.

"Alhamdulillah kakak gue udah insaf," itu suara Rian yang sudah memakai seragam putih biru, berjalan ke meja makan dan mencomot satu tempe goreng.

"Nye nye nye nye," Raya menarik piring tempe. "Ini buat lauk makan, bukan cemilan," katanya, pura-pura cemberut.

"Rusuhnya gak berubah," gumam Rian sambil mengambil tempe itu kembali, meski dia tahu Raya hanya bercanda.

"Sudah-sudah, cepat habisin sarapannya, terus berangkat lagi," kata bunda menengahi dengan lembut, sambil tersenyum melihat keusilan mereka.

Raya tersenyum manis dan mulai melahap sarapannya, sementara Rian memakan tempe dengan lahap, keduanya tak lupa melirik bunda yang masih sibuk menyiapkan bekal.

Selesai sarapan, mereka berpamitan dengan bunda sebelum berangkat sekolah. Tapi saat di depan, mereka melihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah.

"Raya!" Fatimah melambaikan tangan dari dalam mobil, senyumannya lebar dan ceria.

"Rian juga, ayo, kita bareng saja!" Kata Bilal yang duduk di kursi kemudi, menganggukkan kepala dengan senyuman hangat.

Raya dan Rian saling berpandangan sejenak. Mereka tak menyangka akan bertemu dengan Fatimah dan Bilal pagi-pagi begini.

"Ayo deh, daripada jalan sendiri-sendiri," kata Rian, merasa tidak enak menolak tawaran itu.

Raya mengangguk, meskipun ada perasaan sedikit ragu. "Oke, kalau gitu."

Mereka segera masuk ke mobil, dan perjalanan pun dimulai, dengan Fatimah yang terus mengobrol ceria dan Bilal yang sesekali ikut menyelipkan candaan. Di tengah perjalanan, Raya merasa suasana pagi itu terasa berbeda, ada kehangatan yang menenangkan meskipun ada perasaan campur aduk dalam hatinya.

"Nanti sore kamu enggak usah kerja dulu, Ray," kata Fatimah dengan nada perhatian.

"Loh, kenapa Fatimah?" Raya tampak bingung.

"Kan kita sebentar lagi ujian, emang kamu bisa meng-handle semuanya?" tanya Fatimah, sedikit khawatir.

Raya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Fatimah. "Aku kan bisa, Fatimah. Udah biasa kok, gak masalah."

"Iya Raya, untuk beberapa hari kamu fokuskan dulu belajar, jangan terlalu dipaksakan," sambung Kak Bilal dari kursi kemudi, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Raya menatap ke depan, merasa sedikit bingung dengan nasihat mereka. "Tapi kan, aku udah janji sama bunda kalau aku bisa kerja sambil belajar."

Fatimah tersenyum penuh pengertian. "Kita cuma khawatir aja, Ray. Kalau kamu capek nanti malah gak bisa fokus belajar kan. Lagian ujian itu penting, harus siap fisik dan mental."

"Benar," sambung Bilal. "Kesehatan itu yang utama, jangan sampai kamu malah kelelahan. Ujian bisa kamu persiapkan dengan maksimal kalau kamu sehat."

Raya menghela napas, merasa dilema antara tanggung jawabnya di tempat kerja dan persiapan ujian. Namun, dia tahu mereka hanya menginginkan yang terbaik untuknya.

"Baiklah, aku coba atur waktu lagi," kata Raya akhirnya, meski dengan sedikit ragu. "Makasih ya, udah perhatian."

" Ehh stop udah lewat ! " Kata Rian yang dari tadi diam.

" Oh oke, " Bilal menghentikan mobil nya.

"Bay kakak kakak, " Kata Rian sebelum turun. " Trimakasih tumpangan nya, " Katanya lagi.

" Kami langsung ya dek, " Kata Fatimah. Rian mengangguk dan masuk ke dalam sekolah nya.

Beberapa menit kemudian mereka sampai juga didepan sekolah. Fatimah dan Raya turun dari mobil.

"Aku sekolah dulu ya kak, " Kata Fatimah menyalami tangan Bilal.

"Iya semangat belajar nya, " Kata Bilal mengelus kepala adiknya.

Raya memperhatikan interaksi kakak beradik itu. Bilal melihat kearah Raya.

"Semangat Raya... Kalau ada apa-apa jangan sungkan, saya akan ada buat kamu, " Kata Bilal pelan dan hanya didengar oleh Raya.

Raya merasakan jantung nya berdegup kencang. " Kita kan sahabat, " Sambung Bilal lagi.

Raya tersenyum tipis, mencoba menenangkan detakan jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang. "Iya, terima kasih, Kak," jawabnya pelan, berusaha menjaga agar suaranya terdengar biasa meskipun hatinya terasa lain.

Fatimah yang sudah siap pergi, melambaikan tangan ke arah mereka. "Yuk, Ray, " Katanya sambil berjalan menuju pintu gerbang sekolah.

Raya mengangguk, memberi isyarat untuk berpamitan, namun matanya masih terpaku pada Bilal. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya sedikit bingung. Sahabat, kata Bilal. Tapi kenapa hatinya merasa lebih dari itu?

"Jangan terlalu dipikirkan, Raya," katanya dalam hati, berusaha menyemangati diri sendiri. Namun, perasaan itu tak bisa begitu saja diabaikan.

"Jaga diri baik-baik, Raya," kata Bilal satu kalimat lagi, menambah rasa hangat yang tiba-tiba memenuhi dada Raya.

"Iya kak," Raya membalas, melangkah menuju gerbang sekolah dengan langkah yang agak ragu namun penuh semangat.

Raya melangkah masuk ke sekolah, mencoba mengalihkan pikirannya dari perasaan yang tiba-tiba datang begitu saja. Namun, setiap detakan jantungnya seakan mengingatkannya pada kata-kata Bilal. "Kita kan sahabat," ucapnya kembali terngiang di benaknya, membuat perasaan itu semakin sulit dipendam.

Fatimah yang berjalan di sampingnya menyadari ada sesuatu yang berbeda pada sahabatnya itu. "Ray, kamu kenapa? Sepertinya nggak seperti biasanya," tanya Fatimah dengan nada cemas.

Raya tersenyum, mencoba untuk menenangkan diri. "Nggak kok, Fat, cuma sedikit capek aja. Biasa, persiapan ujian, kan," jawabnya, meskipun di dalam hati, rasa gelisahnya masih belum reda.

Fatimah menatapnya dengan penuh perhatian. "Kalau capek banget, istirahat aja, Ray. Ujian itu penting, tapi kesehatan lebih penting," kata Fatimah, memberi nasihat dengan nada lembut.

Raya mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. "Iya, aku akan coba. Makasih, Fat."

Mereka memasuki kelas, dan Raya mencoba untuk fokus pada pelajaran. Namun, di setiap detik yang berlalu, pikirannya tetap terarah pada tatapan Bilal dan kalimat yang dia ucapkan tadi. Sahabat? Atau ada yang lebih dari itu?

Namun, saat dia melihat Fatimah yang sedang sibuk menyiapkan buku-buku pelajarannya, dia memutuskan untuk menangguhkan semua perasaan itu. "Fokus dulu pada ujian," pikirnya. "Semua akan ada waktunya."

Dengan tekad yang lebih kuat, Raya membuka buku pelajarannya, berusaha meredam keraguannya dan fokus pada ujian yang sudah di depan mata.

" Tumben-tumbenan nih Raya belajar, " kata Aqila sambil mengangkat alis, heran melihat Raya yang serius di meja belajar.

" MasyaAllah, Ray, jangan-jangan lu lagi ngedengerin lagu motivasi ya? " Laras ikut menyindir, memandang Raya dengan tatapan tajam.

" Gue gak belajar salah, belajar juga salah! Apa sih, hidup tuh penuh dengan ketidakadilan! " Raya membalas, ekspresinya penuh dramatis.

Aqila tertawa. " Udah, Ray, gausah belajar, pasti lulus kok! Kita semua tau, lu tuh jenius secara alami, kayak Einstein tapi versi anak SMA."

Raya mendelik ke Aqila, " Setan sesat! Kalau gitu, gue minta lu yang jadi kepala sekolah, biar bisa langsung kasih nilai A buat gue! "

Laras ngakak. " Ya ampun, udah deh, Ray, jangan takut. Pasti lulus, asal jangan mikir soal ujian, yang penting makan enak dan tidur cukup! "

Aqila ngetawain Laras. " Bener banget, Laras. Kalau tidur cukup dan makan enak udah pasti, ujian bisa lewat dengan cara 'Alhamdulillah'."

Raya menutup buku pelajarannya dan pura-pura mengeluh. " Aduh, temen-temen gue pada gak ada motivasi hidup! Gimana gue bisa lulus kalau malah dibujukin kayak gini?"

" Halahh ayok kantin dulu, makan bakwan bude, " Ajak Aqila dengan wajah menggoda, seolah-olah kantin adalah solusi dari segala masalah hidup.

Raya menatap Aqila dan Laras bergantian, merasa agak terjebak. " Gimana sih, gue lagi serius belajar, eh kalian malah ngajakin ke kantin? Kalau gue pergi, siapa yang bakal siapin jawaban ujian?"

Laras tertawa geli. " Yaudah, Ray, santai aja. Kan kalau kita makan bakwan bude, otak kita jadi lebih fresh. Biar bisa mikir dengan jernih!"

Aqila menimpali, " Betul! Kalau laper, otak gak bisa nyambung. Jadi, kita pergi dulu, baru lanjut belajar. Pasti lebih produktif."

Raya pun mengikuti mereka ke kantin. Sesampainya di kantin, Aqila langsung menuju ke warung bakwan bude yang sudah terkenal enaknya. "Bude, bakwan tiga, ya!" serunya, sambil tersenyum lebar.

Raya menatap meja makan dan mengambil tempat. "Gue nggak ngerti deh, kalian bisa serius belajar kapan kalau terus-terusan nyempatin waktu buat makan?"

Laras tersenyum lebar, membuka bungkus bakwan, "Gini, Ray, makan dulu, terus kita nyiapin energi biar bisa berpikir lebih jernih. Ujian itu bukan tentang belajar tanpa henti, tapi tentang seberapa siap kita dalam menghadapi tantangan."

Aqila menyuap bakwan dengan lahap, "Betul, Laras! Dan siapapun yang nggak percaya kalau bakwan bisa nambah energi buat otak, berarti dia belum merasakan nikmatnya bakwan bude!"

Raya tertawa. "Oke deh, kalau udah pada ngomong kayak gini, siapa gue buat nolak? Gue makan deh, tapi janji gue bakal balik ke buku lagi, ya!"

Aqila dan Laras mengangguk penuh semangat. "Tentu, kita juga balik belajar kok setelah ini! Gak ada yang salah sama sedikit hiburan," kata Laras.

"Ayo, Ray, makan dulu. Setelah ini, kita semua bakal lebih semangat belajar, deh!" Aqila menambahkan dengan senyum lebar.

Raya akhirnya menyerah, menyuap bakwan, dan merasa sedikit lebih rileks. Tertawa bersama teman-temannya, dia merasa sejenak terbebas dari semua tekanan. "Yaudah, gue ikutan deh. Tapi nanti kalian yang jawab soal-soal susah, ya!" ujarnya sambil tertawa.

Tiba-tiba, suara Leo terdengar dari arah belakang. "Hai, boleh numpang meja gak? Semua meja pada penuh."

Laras langsung menyahut, "Okeyy, sini aja!"

Leo pun duduk di kursi kosong sebelah Raya, tersenyum nakal. "Raya makin cantik aja pake jilbab sekarang, ya?" godanya.

Raya cuma melirik Leo dengan tatapan malas. "Gua cantik dari janin kali, Leo," jawabnya sambil terus menyuap bakwan.

Laras ikut nyelipin, "Iya, udah cantik dari dalam perut, gak perlu godain terus."

Leo cuma tertawa, "Oke deh, gua ngaku, Raya emang cantik. Tapi tetep, jilbabnya makin nambah aura elegannya!"

Raya cuma ngeloyor, "Elegan? Jangan cuma puji terus, lo kayak pengen nyerang gue pake kata-kata manis."

Teman-temannya cuma tertawa, sementara Leo mengangkat tangan, "Oke, oke, gue kalah deh, nggak bisa lawan pesona lo."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Ini visual Raya dan Bilal ya...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!