"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Lepas, atau aku injek lagi kakinya?!" Geram ku dalam posisi masih duduk di pangkuan Mas Erik karna dia mendekap ku.
"Baik, baik. Kamu hobby sekali menginjak kaki. Sudah berdarah seperti ini masih ingin di injak juga." Ujarnya. Mas Erik benar-benar melepaskan ku dan membiarkanku menyingkir dari pangkuannya. Aku menahan diri tidak marah-marah walaupun amarah sudah di ubun-ubun karna perlakuannya.
Setelah menolak dan mengabaikan ku selama 3 bulan, sekarang malah mendekatiku dan melakukan berbagai cara untuk berinteraksi, bahkan sampai berani membuatku duduk di pangkuannya.
Mas Erik meraih tisu dan membersihkan noda merah di kakinya. Aku mengamati pergerakannya.
"Tunggu!" Buru-buru aku berjongkok dan menahan tangan Mas Erik. "Darahnya lumayan banyak, tapi kenapa seperti tidak ada luka?" Aku menatapnya curiga. Bagaimana tidak, kaki Mas Erik tampak mulus-mulus saja. Sedikitpun tidak terlihat ada bekas luka yang menyebabkan berdarah.
"Ada di dekat kuku, kamu tidak lihat saja." Mas Erik membungkus jempol kakinya menggunakan tisu tadi, lalu beranjak dengan kaki tertatih. Dia membuka laci, entah sedang mengambil apa.
Ternyata mengambil hansaplast untuk menutup jempol kakinya.
"Kita bicara di balkon saja ya?" Ajaknya.
Rasanya aku tidak memiliki hal penting untuk di bicarakan dengan Mas Erik, tapi jika aku terus menghindar, Mas Erik pasti tidak akan tinggal diam dan melakukan segala cara untuk mengajakku bicara.
Beberapa saat hanya ada keheningan. Malam ini bulan tampak bulat dan memancarkan sinarnya yang terang. Cuaca malam ini sangat cerah, gerombolan awan terlihat di sekitar bulan. Langit pun bertabur bintang. Suasana malam ini menggambarkan hidupku, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dan semuanya berubah. Beban berat seakan berada dipundak dan kepala. Pasalnya, ada banyak orang yang menggantungkan kebahagiaannya pada rumah tanggaku. Aku khawatir melukai hati mereka meski hanya goresan kecil.
"Aku sudah memutuskan hubungan dengan Celine. Beberapa hari terakhir, aku banyak merenungi kesalahan. Bulan, aku benar-benar menyesal tidak memperlakukan kamu dengan baik setelah menikah. Aku harap, bisa memperbaiki semuanya dan menebus kesalahan ku." Nada bicara Mas Erik terdengar berat. Mungkin memang benar dia sudah menyesali perbuatannya. Dan entah alasan apa yang mendasari Mas Erik tiba-tiba memutuskan kekasihnya.
Dada ini terasa sesak mengingat rasa kecewa yang pernah ditorehkan Mas Erik padaku. Penolakan, perlakuannya, sampai menjatuhkan harga diri ku sebagai istri. Tapi apakah aku harus egois? Melihat senyum Mama dan kedua orang tua ku, rasanya aku tidak tega menyakiti mereka.
Daripada membuat 4 orang tersakiti sekaligus, lebih baik aku mengalah dan membuang jauh-jauh ego ku.
"Tiba-tiba sekali mengakhiri hubungan. Bukannya kalian sudah merencanakan pernikahan? Apa dia berkhianat?" Cecar ku. Meski ada kemungkinan aku akan memperbaiki pernikahan ini, tapi aku harus tau penyebab Mas Erik dan Celine mengakhiri hubungan mereka. Siapa yang tau Mas Erik sedang menjadikan aku pelampiasan atas rasa sakit hatinya pada Celine.
Gelengan Mas Erik menandakan tebakan ku salah.
"Aku sudah terlalu banyak melakukan kesalahan. Memutuskan hubungan dengan Celine adalah salah satu cara mengakhiri banyak kesalahan yang aku buat. Ya, akar masalahnya terletak pada hubungan itu." Lirihnya sembari mengalihkan pandangan ke depan.
Lagi-lagi keheningan menyelimuti kami. Sama halnya Mas Erik byang sibuk dengan pikirannya, aku bun sibuk bergulat dengan pikiranku. Rasanya butuh banyak pertimbangan untuk memulai dari awal. Tapi menunda juga tidak ada gunanya.
Aku terkejut karna tiba-tiba Mas Erik meraih tanganku.
"Kamu mungkin sudah terlanjur kecewa. Aku juga tidak keberatan seandainya kamu menaruh kebencian pada ku. Tidak apa-apa jika belum bisa menerima ku, aku akan berusaha agar kamu yakin dan pelan-pelan menerima ku." Ujarnya sungguh-sungguh.
Buru-buru aku menarik tangan dari genggaman Mas Erik. "Nanti aku pikirkan. Tapi sebelum itu, aku ingin bertemu dengan Celine dan memastikan langsung."
"Kamu tidak percaya padaku?" Mas Erik menatapku dalam.
"Kita bahkan tidak saling percaya sebelumnya. Kalau memang keberatan mempertemukan aku dengan Celine, aku tidak akan memaksa. Tapi jangan paksa aku memulai dari awal." Tegas ku memilih beranjak dari balkon dan masuk ke kamar.
Aku sudah menggulung diri di dalam selimut ketika mendengar suara pintu balkon yang di tutup. Tak berselang lama, Mas Erik mengambil bantal di sebelah ku. Sedangkan di tangannya sudah ada selimut.
"Tidak usah tidur di lantai." Cegah ku. Aku tau Mas Erik akan tidur di lantai dan sudah mengambil bantal dan selimut. Terakhir kali membiarkan Mas Erik tidur di lantai, aku berakhir direpotkan mengurus dia lantaran sakit.
"Kamu serius? Aku boleh tidur di ranjang?" Tanyanya dengan ekspresi tak percaya.
"Tidak usah banyak tanya sebelum aku berubah pikiran!" Sahut ku sedikit ketus.
Dalam hitungan detik, Mas Erik sudah berbaring di ranjang. Dia naik secepat kilat dan terus melebarkan senyumnya.
"Makasih." Ucapnya.
Aku mengerutkan dahi. Apa tidak salah dia bicara begitu, padahal kamar dan ranjang ini miliknya. Aku yang menumpang tidur di kamar ini, tapi seperti dia yang mendapatkan tumpangan.
"Stop! Jangan geser lagi!" Aku menahan bahu Mas Erik karna tiba-tiba bergeser ke tengah.
"Nempel sedikit tidak masalah kan? Aku takut jatuh." Ujarnya.
"Tidak boleh!"
"Iya, iya,," Mas Erik kembali bergeser ke tempatnya dengan wajah lesu. Aku bergegas berbalik badan untuk memunggunginya.
...*****...
Mas Erik menghentikan mobilnya di pelataran perusahaan. Sudah 4 hari ini aku di antar jemput. Selain karna Mama masih menginap di rumah, Mas Erik juga selalu memaksa. Bahkan dia rela menunggu 30 menit sampai 1 jam saat menjemput ku lantaran takut aku pulang lebih dulu menggunakan taksi.
karna terlalu sering mengantarku, Mas Erik jadi akrab dengan Pak Diman, security depan.Mereka sudah seperti teman lama saja kalau ketemu.
"Punya istri cantik dan sholehah memang harus di kawal Pak Erik, soalnya banyak yang cari." Seloroh Pak Dimana ketika kami turun dari mobil.
"Pak Diman bisa saja." Jawab Mas Erik.
"Sudah sana langsung pergi, aku mau masuk." Usir ku pelan.
"Mau ngobrol dulu sama Pak Dimana. Nanti pulangnya aku jemput." Mas Erik mengusap pucuk kepalaku. Aku menahan diri tidak menepisnya di depan Pak Diman.
"Hmm!" Aku beranjak dari samping Mas Erik. "Mari Pak Diman." Ujarku sambil berlalu ke dalam.
Sampainya di lobby, aku masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai 16. Dari dalam lift, aku melihat mobil Mas Erik masih terparkir di pelataran perusahaan. Kebetulan posisi lift memang di depan, jadi mengarah ke halaman depan dan pemandangan di seberang perusahaan.
Pemilik mobil juga kedapatan masih berdiri di sebelah Pak Diman. Keduanya terlibat obrolan yang tampak serius.
Hingga tepat di lantai 10, aku sudah tidak bisa melihat keberadaan dua orang itu, tapi mobil Mas Erik masih ada di sana.
"Dasar kurang kerjaan." Lirih ku heran.
ktagihan y 😄
gᥲ⍴ᥲ⍴ᥲ ᥣᥲᥒ mᥲkіᥒ һᥲrі mᥲkіᥒ ᥱᥒᥲk k᥆kk 😁🤭 ძ᥆ᥲkᥙ sᥱm᥆gᥲ kᥲᥣіᥲᥒ ᥴᥱ⍴ᥲ𝗍 ძі kᥲsіһ m᥆m᥆ᥒgᥲᥒ ᥡᥲ.. ᥲᥲmііᥒ