Suatu kesalahan besar telah membuat Kara terusir dari keluarga. Bersama bayi yang ia kandung, Kara dan kekasih menjalani hidup sulit menjadi sepasang suami istri baru di umur muda. Hidup sederhana, bahkan sulit dengan jiwa muda mereka membuat rumah tangga Kara goyah. Tidak ada yang bisa dilakukan, sebagai istri, Kara ingin kehidupan mereka naik derajat. Selama sepuluh tahun merantau di negeri tetangga, hidup yang diimpikan terwujud, tetapi pulangnya malah mendapat sebuah kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dapat Pekerjaan
Elno berkeliling dengan sepeda motornya mencari lowongan pekerjaan. Di cafe, restoran, ia singgahi untuk sekadar bertanya. Tidak ada yang bisa menerima dirinya tanpa surat lamaran dan dokumen lain.
Ini berat bagi Elno. Biasa ia tinggal meminta uang kepada orang tua untuk berkumpul bersama teman-temannya di cafe. Namun kali ini, ia datang untuk melamar pekerjaan dan ditolak mentah-mentah. Sekarang ia bingung untuk biaya makan hari-hari bersama Kara.
"Jika begini terus, bisa mati kelaparan aku," gumam Elno.
Suara klakson motor membuyarkan lamunan Elno. Ia menoleh ke arah kendaraan roda dua yang mendekat. Elno tahu siapa yang menghampirinya. Sepeda motor yang dinaiki oleh dua remaja ia kenali. Mereka adalah teman-teman sekolahnya.
"Woy, Elno!" tegur pria remaja berkulit cokelat.
Dua orang pria turun dari sepeda motornya. Mereka duduk di bawah pohon rindang di mana Elno bersandar sembari meratapi nasib.
"Ditelepon enggak bisa, di sms enggak dibalas. Apa, sih, maumu?" tanya Tedy, pria yang menegur Elno pertama kali.
"Ya elah, kamu bertanya atau nyanyi?" sahut Ilmi.
"Kalau bisa bertanya sambil berdendang, kan, bagus. Elno pasti akan hanyut ke awang-awang setelah mendengar suara merduku," Tedy menimpali.
"Kenapa kalian kemari? Kok, bisa, di kota seluas ini kalian menemukanku?" tanya Elno.
"Kita ini belahan jiwa, El. Saling terkait satu sama lain. Kami merasa ada satu hal yang membuat sahabat kami ini melamun. Ada apa gerangan wahai sahabatku?" tanya Ilmi dalam nada candaan.
Tedy tertawa mendengar ucapan dari sahabatnya. "Kek, penyair."
"Oh, itu cita-citaku," sahut Ilmi.
Elno mengembuskan napas lelah. "Aku lagi cari kerja."
"Kerja?" sahut Tedy dan Ilmi berbarengan. Mereka tidak salah dengar kalau sang sahabat ingin bekerja.
"Eh, Elno. Kami mencarimu karena ingin bertanya. Kamu jadi daftar kampus, kan?" ucap Tedy.
Elno menggeleng. "Aku tidak tau. Aku diusir dari rumah. Kara hamil dan kami sudah menikah."
"Apa?!"
Sontak Elno menutup telinganya dari keterkejutan Tedy dan Ilmi. Wajar saja mereka kaget, bahkan Elno juga tidak percaya ia sudah terikat pernikahan.
"Kalau bercanda jangan kebangetan," ucap Ilmi.
"Ayo, aku ajak kalian ke rumah kontrakan. Biar kalian berdua percaya."
Elno bangkit berdiri disusul oleh kedua sahabatnya. Ketiganya sama-sama naik ke atas motor dan berlalu dari sana.
Sesampainya di rumah kontrakan, barulah Tedy serta Ilmi menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh sahabatnya adalah benar. Rumah sewa yang sederhana menjadi bukti serta Kara yang tersenyum manis menyambut kedatangan suaminya.
"Apa kalian tengah bermain rumah-rumahan?" tanya Tedy tidak percaya.
"Masuklah dulu," ucap Kara.
Tedy dan Ilmi masuk ke dalam rumah. Mereka langsung saja duduk di lantai. Keduanya tahu bagaimana kondisi rumah sewa dari bentuk luarnya saja.
"Nih, minum," kata Kara sembari meletakkan dua gelas berisi air putih.
Tedy dan Ilmi segera menghabiskan minuman yang disuguhkan. Menikah di usia muda, tetapi untungnya sudah tamat sekolah. Namun, apa pernikahan itu akan sempurna? Tedy dan Ilmi tidak dapat membayangkan jika itu terjadi pada mereka.
"Kamu beneran hamil?" tanya Ilmi.
Kara mengangguk. "Iya, hamil dua bulan."
"Orang tua kalian? Masa dibiarkan begitu saja," Tedy menimpali.
"Mau bagaimana lagi? Beginilah keadaannya. Kami diusir dari rumah," ucap Elno. "Kalau ada kerjaan, bagi tau aku. Kami harus mengumpulkan banyak uang. Biaya sewa rumah, keperluan makan dan kelahiran."
Tedy dan Ilmi saling pandang. Elno tiba-tiba bicara serius. Bersikap lebih dewasa. Ke mana teman mereka yang selalu membicarakan game online, sepak bola atau tempat untuk nongkrong di pertemuan selanjutnya? Elno berubah dalam sekejap.
"Kami akan bantu mencarikan," ucap Ilmi.
"Kamu tenang saja dulu. Kita pasti bantu," sambung Tedy menambahkan.
"Sekarang kalian sudah tau keadaanku. Jadi, aku tidak akan meneruskan pendidikan. Uang buat makan saja susah," ucap Elno.
Kara menunduk mendengar perkataan suaminya. Keinginannya meneruskan pendidikan telah pupus. Tidak ada yang bisa disalahkan. Ini semua karena napsu yang tidak bisa dikontrol sampai meninggalkan benih di dalam perutnya. Meski begitu Kara tetap bersyukur. Elno mau bertanggung jawab pada dirinya.
"Coba minta kerjaan sama bang Didi di bengkel. Kali saja ada pekerjaan ringan untukmu selagi nunggu ijazah diberikan," kata Tedy.
"Benar, El. Dibayar perhari lumayan buat makan," sambung Ilmi.
"Kenapa aku bisa lupa dengan bang Didi. Mumpung masih siang. Kita ke sana saja," kata Elno.
"Cus, berangkat," kata Tedy.
"Hati-hati," ucap Kara.
Elno mengecup kening istrinya. Tedy dan Ilmi memalingkan wajah mereka. Sudah sah! Wajar jika bersentuhan. Ada suka dan duka dalam menikah muda. Enaknya bisa saling bergulat dalam satu tempat tidur dan selimut.
"Kamu baik-baik di rumah," pesan Elno.
Kara tersenyum. "Iya, kamu jangan khawatir."
Ketiganya berangkat menuju bengkel bang Didi yang lokasinya tidak jauh dari sekolah mereka. Memang Elno dan dua sahabatnya terbiasa berkumpul di sana. Kadang-kadang membantu pria dewasa itu memperbaiki motor murid yang bocor.
Kara menutup pintu dan menguncinya. Ia langsung merebahkan diri di kasur lantai. Tubuhnya gampang lelah dan mudah mengantuk.
"Semoga saja Elno dapat pekerjaan," ucap Kara sembari mengusap perutnya.
...****************...
Elno pulang dengan membawa dua potong ayam goreng yang ia beli di pinggir jalan sehabis dari bengkel bang Didi. Hari ini satu masalah telah selesai. Ia mendapat pekerjaan dari pria itu, dan sebagai perayaannya adalah dua ayam goreng ini.
"Kara!" seru Elno.
Terdengar sahutan dari dalam. Kara memutar kunci kemudian membuka pintu. Elno melambaikan kantung makanan ke hadapan istrinya.
"Ada apa ini? Sepertinya lagi senang," ucap Kara.
"Keterima kerja dari bang Didi."
"Syukurlah." Kara memeluk Elno.
"Selagi menunggu ijazah, aku kerja itu dulu."
"Enggak apa-apa. Aku juga ingin cari kerja juga sebenarnya."
"Kamu hamil begini mau kerja apa? Sudahlah, jangan banyak dipikirkan masalah keuangan. Aku masih sanggup memberimu makan dua kali sehari," ucap Elno.
Kara tersenyum. "Iya. Ayo, kita makan. Aku sudah lapar."
Selagi Kara menyiapkan makanan, Elno pergi membersihkan diri. Kara mengaut nasi putih ditambah ayam goreng. Ia memasak sebungkus mie instan kaldu sebagai kuahnya.
"Nanti aku mau keluar," kata Elno yang sudah selesai dari kamar mandi.
"Mau ke mana?" tanya Kara.
"Keluar saja. Siapa tau ada yang perlu tenagaku." Elno duduk berhadapan dengan istrinya. "Bang Didi cuma bisa kasih gaji tujuh ratus ribu. Kamu tau bengkelnya kecil dan keahlianku tidak seberapa. Bayar sewa empat ratus ribu. Belum bayar listrik dan air."
Kara mengangguk. "Jangan pulang terlalu malam. Aku takut sendirian."
"Aku bawa kunci nanti. Kamu tidur saja yang tenang."
Elno dan Kara punya cita-cita sebagai pegawai kantoran atau pemerintahan. Harapan mereka pupus sekarang. Andai waktu bisa diputar kembali, pasti mereka tidak akan melakukan tindakan buruk seperti itu.
Bersambung
penuh makna
banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita ini.
sampai termehek-mehek bacanya
😭😭😭😭🥰🥰🥰
ya Tuhan.
sakitnya