Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Enam - Jangan Sentuh Saya!
Perasaan Amara sudah tidak enak setelah sampai di parkiran kantornya. Dia berangkat meggunakan sepeda motor matic yang dibelikan Alvaro kemarin. Sesampainya di lobi, dia melihat Dewi yang melihatnya dengan tatapan cukup serius.
“Kamu kenapa, Wi? Aku datang kok ditatap gitu?” tanya Amara.
Tak berkata apa-apa, Dewi langsung memeluk Amara. Entah ada apa Amara tidak tahu, tiba-tiba Dewi memeluknya.
“Ra, ini.” Dewi memberikan map putih pada Amara. Dewi sudah tahu isi dokumen itu apa. Amara segera membuka dan membacanya.
“Jadi karena ini kamu sampai gini sama aku? Aku sudah tahu pasti akan begini, Wi. Biarlah, aku terima konsekuensinya,” ucap Amara.
“Ra ini kamu dipindah jadi Cleaning Servis lho? Ini gak adil banget, Ra! Kamu ini lulusan sarjana, masa iya main pindah di sana hanya karena kamu ngomong begitu sama kakak ipar kamu? Ini gak adil, Ra!” ucap Dewi dengan kesal.
“Sudah-sudah ... aku yang dipindah kerjanya kok kamu yang sewot? Jadi ini aku harus menemui siapa setelah menerima ini?” tanya Amara santai.
“Aku harus protes, Ra! Aku mau jadi saksi kalau kamu itu kemarin melawan ucapan kakak iparmu, karena dia yang mulai dulu, dan kamu juga jawab dengan santai, gak ngotot! Di depan kita ada CCTV untuk bukti, Ra! Aku bisa jadi saksi. Masa kamu pindah bagian kebersihan, Ra? Mereka gak bisa seenaknya sendiri gini dong, Ra! Gak adil tahu!” gerutu Dewi.
Amara hanya menghelan napasnya dengan berat. Memang benar-benar kelewatan kakak iparnya itu. Tapi, biarlah. Yang penting Amara masih bekerja, dia harus belajar untuk tidak terlalu bergantung pada suaminya, karena dia belum tahu nasib ke depannya akan seperti apa.
“Ayo, aku mau protes! Aku berani untuk membuktikan kebenaran, Ra! Kamu ini benar, kamu gak salah!” Dewi menarik tangan Amara untuk menemui bagian personalia, dan menjelaskan semuanya.
“Dewi ... Dewi ... stop, Wi! Enggak usah! Biar saja, apa salahnya sih aku kerja jadi Cleaning Servis? Pekerjaan halal, kan? Gak masalah, Dewi. Yang penting aku masih bisa kerja di sini, mau apa pun bagiannya. Asal jangan dijadikan pemuas nafsu laki-laki hidung belang saja, Wi!” ucap Amara.
“Tapi ini gak adil, Ra!” cetus Dewi.
“Sudah, yuk! Antar aku ke siapa tadi? Kepada Cleaning Servis?” tanya Amara.
“Bu Tutik, Ra. Dia itu galak, Ra!”
“Sudah ayok, antar aku! Ini sudah siang, keburu jam kerja mulai!”
“Ya sudah deh!” ucap Dewi pasrah.
Amara sudah sampai di ruangan kepala kebersihan. Dia menghadap perempuan paruh baya yang sedang menjelaskan tata kerja Amara.
“Bagian kamu ada di lantai tiga. Setiap lantai sudah ada yang bertanggung jawab,” ucap Bu Tutik. “ Ini jadwalnya, kamu ikuti saja aturan itu, kamu harus membersihkan dari mana, di situ sudah tertulis sangat jelas. Jam pulang kita berbeda satu jam dari karyawan lainnya, saat pulang, pastikan semuanya sudah bersih dan rapi, jangan sampai esok harinya ada yang komplain dengan pekerjaan kamu,” jelasnya.
Amara hanya mengangguk saja, sambil sesekali membaca peraturan yang diberikan Bu Tutik, yang sudah tertulis jelas di selembar kertas.
“Oh iya, Amara, ini seragam kerja kamu, dan ini kunci loker kamu. Loker ada di lantai dua, semua peralatan kebersihan ada di lantai dua juga. Jadi silakan kamu persiapkan dirimu sebelum mulai bekerja,” jelas Bu Tutik.
“Baik, Bu. Terima kasih,” ucap Amara.
Amara langsung naik ke lantai dua. Dia harus ke ruangan itu untuk mengambil perlengkapan kebersihan yang harus ia gunakan untuk membersihkan seluruh ruangan di lantai tiga. Lalu Amara mengambil seragam yang tadi diberikan Bu Tutik. Ia mengganti pakaian kerjanya di kamar mandi yang ada di ruangan itu. Ruangan itu khusus untuk karyawan yang bekerja sebagai Office Boy dan Office Girl, untuk beristirahat mereka, dan menyimpan alat-alat kebersihan.
Saat keluar dari kamar mandi, di ruangan itu sudah banyak karyawan datang, dan sedang bersiap untuk bekerja di bagian masing-masing. Semua ada sebelas orang, dua belas dengan Amara.
“Eh, ini kan Nona yang ada di resepsionis? Kok nyasar di sini?” tanya seorang perempuan paruh baya bernama Yati
“Perkenalkan, saya Amara, mulai hari ini saya kerja di sini,” ucap Amara memperkenalkan diri.
“Nak, apa kamu membuat kesalahan, hingga dipindahkan ke bagian sini?
tanya Bu Yati.
“Tidak mungkin, Nona ini begitu ramah sekali,” ucap Pak Udin penanggung jawab kebersihan lantai satu.
“Saya tidak tahu, kenapa saya dipindahkan di sini, Pak, Bu,” ucap Amara.
“Tidak apa-apa, di mana pun kita bekerja, kita harus tetap bersyukur. Bersyukur masih diberikan pekerjaan, di luar sana banyak orang yang tidak punya pekerjaan iri pada kita,” tutur Pak Udin.
Mendengar nasihat Pak Udin, hati Amara menghangat, benar kata beliau. Amara juga bersyukur masih diberikan pekerjaan di perusahaan ini, untungnya tidak dipecat.
“Di lantai berapa kamu dapat bagiannya, Nak?” tanya Yati.
“Di lantai tiga, Bu,” jawabnya.
“Ternyata pengganti Siti kamu, syukur deh, aku sudah ada temannya. Kenalkan aku Johan. Semoga bisa menjadi partner kerja yang baik ya kita?” ucap seorang laki-laki, mungkin seusia Alvaro.
“Salam kenal, Mas. Iya semoga kita bisa kerja sama dengan baik,” ucap Amara dengan menangkupkan kedua tangan Amara di depan dadanya.
“Awas gak usah macam-macam sama karyawan baru kau, Han!” gurau Pak Udin.
“Tenang saja, Siti saja betah kerja bareng saya, karena anaknya sering sakit-sakitan, gak ada yang urus dia harus keluar,” ucap Johan.
“Ayo kita berdoa, sebelum kita bekerja,” ajak Bu Yati.
Semua berdoa dengan khusyuk. Beruntung Amara memiliki rekan kerja yang baik-baik lagi, meski dipindahkan ke bagian yang sangat menguras tenaga nantinya.
^^^
Amara mengelap keringatnya setelah selesai menyapu dan mengepel semua ruangan, ia istirahat sejenak di pantry, Johan baru saja membuatkan kopi untuk karyawan yang meminta dibuatkan kopi olehnya. Benar-benar melelahkan sekali, akan tetapi Amara menikmati pekerjaanya itu. Kesibukannya itu membuat Amara lupa akan masalahnya yang rumit, dia juga tidak terlalu memikirkan suaminya itu, yang pagi-pagi sudah berangkat lebih dulu, dan sampai sekarang tidak ada kabar darinya.
Semua orang di ruangan yang baru di bersihkan Amara sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya. Hingga botol air minum mereka pun Amara yang mengisikannya di pantry, lalu Amara meletakkan kembali di meje mareka.
Amara keluar dari ruangan itu, karena sebentar lagi akan jam makan siang jadi Amara harus kembali ke lantai dua, semua sudah selesai, semua ruangan sudah Amara bersihkan, untung saja Johan selalu memberikan arahan dan menyemangatinya.
“Hei kamu!” teriak seorang laki-laki pada Amara di ambang pintu ruangannya.
Amara dengan segera mendekat ke ruangan itu, karena laki-laki bertubuh gempal itu memanggil dirinya. Ia melirik sekilas papan yang menempel di pintu, yang bertuliskan ‘Manager Keuangan.’
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Amara.
“Kopi saya tumpah, tolong bersihkan!” laki-laki itu kembali masuk ke dalam ruangannya, Amara segera mengambil lap untuk membersihkannya.
Amara berjongkok membersihkan tumpahan kopi itu, setelah bersih ia pun kembali berdiri untuk mengambil alat pel, untuk ia bersihkan lagi. Namun, ia terjingkat saat melihat laki-laki itu sudah berada tepat di belakangnya, dengan menatap Amara penuh arti. Dengan cepat Amara mengambil alat pel untuk menghindarinya.
“Maaf saya pel dulu, Pak,” ucapnya menutupi ketakutannya.
Bagaimana tidak takut. Dia berada di ruangan yang luas hanya dengan pria saja, pria itu bukan suaminya. Apalagi pintunya tertutup rapat, padahal Amara tadi tidak menutup pintunya, dan ruangan yang ada disebelah kanan utara adalah bagian Johan, bukan bagian dirinya.
“Sudah selesai, Pak. Saya permisi melanjutkan pekerjaan saya!” pamit Amara. Amara takut melihata tatapan dari pria itu, yang menelisik setiap gerak gerik Amara.
Amara sudah selesai bekerja. Ia paling akhir selesainya. Johan tadinya ingin menemani Amara sampai selesai, namun sayangnya istrinya sudah menunggu dia di depan bersama anaknya, jadi Johan memutuskan untuk pulang lebih dulu. Amara yang anak baru benar-benar belum bisa segesit mereka semua bekerjanya, meskipun mereka kebanyakan sudah empat puluh tahunan umurnya, tapi kerja mereka sangat gesit. Amara harus semangat, supaya besok dia tak tertinggal, sampai kantor sepi Amara baru saja mau pulang.
Setelah berganti pakaian, Amara langsung pulang, ia sudah lelah sekali. Amara menunggu pintu lift terbukan, setelah terbuka Amara langsung masuk ke dalam, tanpa melihat ada siapa di dalam sana. Barulah saat pintu tertutup ternyata ada seorang pria di dalam lift tersebut. Kalau tahu ada pria itu, Amara tidak akan naik lift, lebih baik dia turun pakai tangga.
“Kamu adik iparnya Vira, kan?” tanya Yadi dengan menatap Amara, Amara menganggukkan kepalanya dan menunduk.
“Ternyata kamu lebih menarik sekali, tidak seperti yang Vira katakan,” ucapnya, lalu tanpa basa basi dia memegang lengan Amara. Segera Amara tepis tangan pria itu.
“Jangan macam-macam, Pak!” ucap Amara marah.
“Kenapa? Apa salahnya kita saling mendekatkan diri? Bukannya kata Vira kamu mau bercerai dari adik Vira?” ucapnya dengan mencoba menyentuh dagu Amara, supaya Amara menatapnya, lagi-lagi Amara menepis tangan Yadi dengan kasar.
“Jangan berani sentuh saya lagi! Saya bisa laporkan anda pada CEO perusahaan ini! Dan saya bercerai atau tidak, itu bukan urusan anda!” sarkas Amara.
Amara langsung keluar saat lift terbuka. Ia berjalan dengan cepat, untuk menutupi rasa takutnya. Amara juga sudah ingin sampai di rumah, karena hari sudah mulai petang.
lanjutttt terus donggg 💪🤗🤗🤗
Jangan sampai malah melakukan kesalahan kamu Varo.... itu final Amara buat gak akan maafin kamu yaa 🤨😡