"Dewa Penghancur"
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Zhi Hao, yang sepanjang hidupnya selalu menjadi korban penghinaan dan pelecehan. Hidup di pinggiran masyarakat, Zhi Hao dianggap rendah—baik oleh keluarganya sendiri, lingkungan, maupun rekan-rekan sejawat. Setiap harinya, ia menanggung perlakuan kasar dan direndahkan hingga tubuh dan jiwanya lelah. Semua impian dan harga dirinya hancur, meninggalkan kehampaan mendalam.
Namun, dalam keputusasaan itu, lahir tekad baru. Bukan lagi untuk bertahan atau mencari penerimaan, melainkan untuk membalas dendam dan menghancurkan siapa saja yang pernah merendahkannya. Zhi Hao bertekad meninggalkan semua ketidakberdayaannya dan bersumpah: ia tak akan lagi menjadi orang terhina. Dalam pencarian kekuatan ini, ia menemukan cara untuk mengubah dirinya—tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam jiwa dan sikap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jajajuba, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01: Sampah Tak Berguna
Zhi Hao kesal dan letih. Setiap hari, sejak fajar hingga senja, ia mengayunkan pedangnya ribuan kali di halaman belakang rumahnya yang luas, berharap akan ada kemajuan dalam kemampuannya. Namun, setiap kali, yang ia rasakan hanyalah lelah yang mendalam dan rasa frustrasi yang semakin menggunung. Tubuhnya berkeringat, otot-ototnya menegang, namun kemahirannya tetap di tempat yang sama.
Dalam keheningan malam, Zhi Hao duduk termenung di tepi kolam. Refleksi wajahnya di air kolam menunjukkan raut kekecewaan yang mendalam. "Menjadi putra pertama seharusnya membawa keberkahan, tapi aku? Hanya menjadi sumber kekecewaan," gumamnya pelan. Rasa malu menghantui setiap sudut pikirannya, terutama saat mengingat ejekan dan hinaan yang sering ia terima karena dianggap lemah.
Zhi Hao menghela nafas panjang, mencoba meredakan kekacauan dalam hatinya. "Apakah hidupku akan terus seperti ini? Terjebak dalam ketidakberdayaan tanpa ada harapan untuk berkembang?" tanyanya pada diri sendiri. Dia tahu, keluarganya, terutama ayahnya, mengharapkan lebih dari dirinya.
Dalam keputusasaannya, Zhi Hao menatap langit yang ditaburi bintang. "Apakah aku harus menyerah? Atau terus berusaha tanpa arah yang jelas?" Bisik hatinya mencari jawaban. Dia tahu, dia tidak ingin terus dihina atau diejek. Namun, apa daya jika segalanya tampaknya telah ditakdirkan?
Malam itu, Zhi Hao memutuskan, esok hari ia akan mencari guru lain, mendalami ilmu bela diri dari sudut yang berbeda.
Mungkin, di tempat lain, dengan cara lain, ia bisa menemukan jalan untuk membuktikan dirinya, tidak hanya kepada keluarganya, tapi terutama kepada dirinya sendiri.
*
Fajar baru saja menyingsing di ufuk timur, namun Zhi Hao telah terbangun dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari yang menantang.
Perlengkapan pedangnya tergantung di pinggang, mengkilap dalam sinar pagi yang lembut.
Meski dikenal sebagai Tuan Muda Klan Zhi dengan keahlian menggunakan pedang yang luar biasa, pandangan orang-orang sekitarnya terhadapnya tak lebih dari sekedar rasa iba. Mereka melihatnya, namun mata mereka kosong, seolah Zhi Hao adalah bayangan tanpa substansi.
Apa gunanya kemahiran dalam berpedang tanpa bisa menggunakan Energi. Bahkan dengan anak kecil berumur sepuluh tahun saja Zhi Hao kalah dalam pertarungan. Dimana salah satu menggunakan Energi sedang dia hanya Tenaga Fisik yang tak bisa menyerang dalam jarak jauh.
Zhi Hao menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang belum sepenuhnya terlelap dari tidur malam. "Beginilah nasib Putra Sulung Klan Zhi. Begitu menyedihkan," gumamnya lirih, suaranya penuh dengan kekecewaan yang mendalam. Setiap kata yang terucap membawa beban kesedihan yang hanya bisa dirasakannya sendiri.
Tiba-tiba, langkah ringan terdengar mendekat dan sebuah suara menyapa, "Oh Kakak. Mau kemana pagi-pagi begini?"
Zhi Long, adiknya, muncul dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Namun, dibalik senyum itu, Zhi Hao bisa membaca ketidakikhlasan. Ia tahu, semua kebaikan yang ditunjukkan Zhi Long hanya topeng yang menyembunyikan niat sebenarnya.
Zhi Hao menoleh, matanya menatap dalam ke arah adiknya, mencoba menembus topeng yang dipakai Zhi Long. Dengan suara yang lebih mantap, ia berkata, "Adik, kamu akan menjadi pewaris nantinya. Jaga Klan." Kata-katanya bukan hanya sebuah pesan, tapi juga sebuah peringatan dan harapan bahwa Zhi Long akan mengemban amanah tersebut dengan lebih layak.
Dengan langkah yang berat, Zhi Hao melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Zhi Long yang masih berdiri di sana dengan senyum yang perlahan memudar.
Angin pagi yang sejuk meniupkan daun-daun kering di jalanan, mengiringi langkah Zhi Hao yang semakin menjauh, seolah-olah mengerti beban yang dipikulnya.
“Tetua Mo. Pastikan dia tidak kembali!”
Seorang Tetua tiba-tiba muncul, ia adalah pelindung Zhi Long. “Baik Tuan Muda.” Tetua Mo kembali menghilang layaknya asap.
**
“Tuan Muda Zhi Hao dengan langkah tegap meninggalkan kediaman Klan Zhi yang megah. Di punggungnya, ia menggendong tas kulit yang berisi pakaian dan pedang warisan dari Nyonya,” lapor seseorang.
Di balik tirai jendela, Patriark Zhi memperhatikan sosok putra terakhirnya yang kini menjauh, berusaha keras menyembunyikan kegundahan hatinya. Dengan perasaan berat, ia memerintahkan pengawal pribadi untuk melindungi Zhi Hao dari kejauhan tanpa diketahui olehnya.
"Pergilah dan pastikan dia selamat," perintah Patriark Zhi dengan suara yang tegas namun terdengar penuh kekhawatiran. Pengawal mengangguk seraya membungkuk, kemudian segera bergerak cepat dan efisien, mengikuti jejak Tuan Muda dari kejauhan.
Setelah Pengawal pergi, Patriark Zhi kembali ke dalam kesendirian kamar kerjanya. Dia berdiri di tepi jendela, menatap langit yang mulai gelap hendak Hujan, berbicara pada dirinya sendiri, "Maafkan aku, Wei. Aku telah berjanji akan menjaga putramu, tapi aku tak bisa melakukannya.”
***
Di jantung Kota Linggau, Klan Zhi mengepakkan sayap kekuasaannya sebagai klan yang tak terkalahkan, hanya tersaingi oleh satu Klan lagi di puncak hierarki.
Teknik Pedang Petir yang mematikan, simbol kebanggaan Klan Zhi, merupakan gabungan sempurna antara kecepatan halilintar dan keganasan badai.
Namun, sayangnya, Putra sulung Klan Zhi dikenal sebagai 'Sampah.' Sebuah gelar yang memilukan dan menyakitkan, yang jika tidak ada, mungkin saja Klan Zhi sudah lama menduduki tahta tertinggi.
Namanya Zhi Hao, dan reputasi sebagai 'Sampah' itu menyertainya bak bayang-bayang kelam.
Saat itu di tengah hiruk-pikuk pasar Kota Linggau.
Beng!
Sebuah tendangan brutal mendarat di punggung Zhi Hao. Gemuruh kejutan menggema di antara keramaian.
Dengan tekad yang membara, Zhi Hao bangkit. Matanya menyalak api ketika ia menyodorkan tatapan tajam pada pelaku. "Mengapa kau menendangku?" amuknya seraya menggenggam erat gagang pedang Peninggalan Ibunya.
"Menendang 'Sampah' perlu alasan?" balas si penendang sinis, diapit oleh dua penjaga yang siap menghunus pedang.
Geram, Zhi Hao mengertakkan gigi, membakar rasa malu dan marah yang bergolak dalam dadanya. Dengan pakaian yang tersiram debu dan harga diri yang terluka, Zhi Hao tahu, hari itu bukan hanya tentang bertahan, tapi tentang memulihkan kehormatan yang telah terinjak. Namun, ia bisa apa tanpa kekuatan?
"Dia bukan apa-apa. Sampah yang tak layak bahkan untuk disentuh!" Xiao Bei menertawakan Zhi Hao yang terhina, keangkuhannya menyebar seolah wabah.
Zhi Hao menahan amarah, mengunyah pil kepahitan, dan berjalan menjauh tanpa kata.
"Cih, sungguh memalukan! Katanya Klan terkuat? Tapi lihat, dia terima hinaan tanpa balas!" Xiao Bei menghina dengan nada sinis, menambah luka pada kebanggaan yang sudah terkoyak.
Zhi Hao menggertakkan gigi, coba menahan gejolak dalam dada.
"Kak Bei, bagaimana dia berani? Keluarganya saja telah membuangnya. Melawan Kak Bei, bukankah itu sama dengan menyerah pada kehinaan?" Xiao Lui menimpali, berdiri di samping, matanya menyorot tak percaya.
Di sekitar mereka, kerumunan mulai berkumpul, menyaksikan adegan memilukan ini. Namun, tak ada satupun yang peduli atau bergerak untuk membantu Zhi Hao, si "sampah tak berguna Klan Zhi". Privasi dan martabatnya, semuanya telah dirampas di depan publik yang acuh.