Cinta memang gila, bahkan aku berani menikahi seorang wanita yang dianggap sebagai malaikat maut bagi setiap lelaki yang menikahinya, aku tak peduli karena aku percaya jika maut ada di tangan Tuhan. Menurut kalian apa aku akan mati setelah menikahi Marni sama seperti suami Marni sebelumnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Luluh
Sekelompok wanita langsung berkumpul dan berbisik-bisik membicarakan Marni. Hidup Marni memang tak jauh dari bahan omongan. Mulai dari statusnya, kecantikannya, bahkan yang paling banyak dibicarakan adalah tentang kematian mantan-mantan suaminya yang dikaitkan dengan tanda lahir di tubuhnya.
"Itu toh Marni istrinya Amar, katanya cantik kok malah serem gitu ya," ucap seorang wanita sembari menatap kearah Marni
"Eh kalian tahu tidak, katanya semua mantan suaminya Marni mati setelah malam pertama, gimana nasib Amar ya, apa dia akan mati juga sama seperti suami Marni sebelumnya?" timpal yang lainnya
"Iya bener loh, makanya dia bawa Marni ke sini, dengar-dengar sih mau di rukiyah dia!"
*Deg!
Marni tiba-tiba berhenti saat mendengar ucapan mereka. Bola mata Marni yang besar membuat nyali para wanita itu seketika menciut. Merekapun buru-buru bubar dan melanjutkan pekerjaannya.
"Jangan diambil hati ya dek, sabar," ucap Amar berusaha menenangkannya
Marni mengangguk. Amar kembali menggandengnya dan mengajaknya masuk ke kediaman Ustadz Gani
"Assalamualaikum," ucap Amar setibanya di depan pintu masuk kediaman Ustadz Gani
Seorang pria dengan kopiah putih keluar menyambutnya. Ia menyalami Amar dan istrinya kemudian mempersilakan keduanya masuk.
"Silakan duduk," ucap Gani
Amar dan Marni pun duduk. Gani meninggalkan keduanya untuk beberapa saat ia kembali lagi dengan membawa du cangkir kopi.
"Monggo silakan di minum dulu," pungkasnya
keduanya segera mengambil cangkir kopi tersebut dan meminumnya.
Raut wajah Marni seketika berubah setelah meminum kopi tersebut. Ia tiba-tiba menjadi pendiam. Bola matanya tak bergerak menatap ustadz Gani. Ia bahkan menyandarkan kepalanya dan menaikkan satu kakinya.
Amar pun langsung membisikkan sesuatu padanya, "Turunkan kakimu dek, jangan seperti itu tidak sopan," bisiknya
Marni pun menurut dan menurunkan kakinya.
"Maaf ya ustadz," ucap Amar tersenyum tipis menatap ustadz Gani
"Gak papa Mar, oh Ya... Kalau tidak keberatan apa Marni bisa bantu-bantu di sini, kebetulan aku kekurangan personil?"
"Tentu saja, apa yang bisa aku bantu?" jawab Marni
"Alhamdulillah, kalau begitu,"
Gani kemudian memanggil seorang wanita yang seterusnya membawa Marni meninggal ruangan itu.
Ustadz Gani bernafas lega, pria itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah kertas usang berisi tulisan arab gundul diberikan kepada Amar.
"Baca ini jika istrimu bertingkah aneh lagi seperti yang kamu ceritakan," ucapnya lirih
Amar pun mengangguk sambil memperhatikan dengan seksama kertas itu.
"Jangan takut padanya. Bagaimanapun dia adalah istrimu dan kamu harus bisa mengendalikannya," jawab Gani
Perintah dari ustadz Gani terus diingatnya. Ia menarik nafas panjang mengusir rasa gundah di hatinya. Berharap mampu dan memiliki keberanian untuk menjalankan perintah itu.
Amar kemudian berbaur dengan warga lain yang sudah berjibaku membuat tenda untuk acara nanti malam.
Tapanannya beralih kepada Marni yang terlihat menyendiri memotongi sayuran. Tak seorangpun mendekatinya. Ada rasa iba melihat Marni yang selalu dikucilkan. Namun ia bisa apa, karena semua orang sudah tahu mengenai wanita itu.
Suara adzan Dhuhur membuat semua orang berhenti bekerja. Para pria segera bergegas ke Surau untuk melaksanakan sholat dhuhur berjamaah. Marni terlihat begitu gundah. Ia terus melihat kearah Amar
"Kalau kamu lelah, bisa udahan bantu-bantunya," ucap seorang wanita menghampiri Marni
"Inggih bu ustadz, Marni mau izin pulang, soalnya mau masak buat makan siang. Takutnya saat bapak dan ibu pulang gak ada makanan," jawab Marni
"Oh silakan," jawab istri Gani dengan wajah sumringah
Marni pun pamit pulang. Semua wanita tak berkedip menatap kepergiannya. Cara jalan Marni yang anggun rupanya membuat mereka terkesima.
Marni menatap langit yang begitu terik siang itu. Matahari bersinar begitu panas hingga membuat wanita itu menutupi wajahnya dengan selendang.
Marni mempercepat langkahnya untuk menghindari teriknya cahaya matahari siang itu.
Setibanya di rumah ia melihat Paijo duduk di beranda rumah menggunakan kaos putih lusuh penuh noda lumpur.
"Waduh bapak dan ibu sudah pulang, gimana ya aku jadi gak enak. Pasti ibu sedang memasak di dapur,"
Marni buru-buru berlari hingga nyaris jatuh. Paijo yang melihat dari kejauhan segera menghampirinya.
"Pelan-pelan saja Nduk, kalau jatuh kan sakit," ucap Paijo membantu Marni bangun
"Inggih pak, maaf Marni baru pulang dari kediaman Ustadz Gani. Tadi pagi Mas Amar mengajak Marni ke rumah Ustadz Gani jadi aku belum sempat masak," jawab Marni
"Gak papa nduk, mending kamu istirahat saja. Pasti kamu capek kan habis rewang di sana," sahut Paijo
"Inggih pak, Marni permisi masuk dulu,"
Paijo menatap kepergian menantunya itu dengan rasa iba. Sementara itu Marni buru-buru menuju ke dapur untuk membantu sang ibu mertua memasak.
Namun ia harus kecewa saat melihat aneka lauk dan sayuran sudah terhidang di meja makan.
Ia melihat Surti sedang membersihkan perkakas yang dipakainya memasak.
"Maafin Marni ya Bu, karena Marni pergi jadi ibu yang harus masak sendiri," ucap Marni menggelendot manja di belakang Surti
"Gak papa Nduk, mending kamu sholat dhuhur dulu abis itu kita makan bareng," jawab Surti
"Baik Bu," jawab Marni sumringah
Ia segera bergegas ke kamarnya sementara Surti langsung menghembuskan nafas lega.
Paijo segera berdiri saat melihat Amar dari kejauhan. Ia menghampiri putranya itu dan mengajaknya berbincang di bawah pohon. Ia sengaja melarang Amar masuk ke rumah karena ingin membicarakan sesuatu dengannya.
"Nanti malam ikut bapak, kita tanya perihal istrimu pada kenalan bapak. Istrinya pernah punya toh seperti Marni. Makanya pas Ibumu cerita tentang istrimu dia langsung nyambung," ucap Paijo
"Sebenarnya bapak sudah banyak tanya-tanya tentang Marni sama dia tapi bapak kurang mantep saja, soalnya kan kamu yang sudah merasakan sendiri saat bersama Marni. Jadi aku pengin kamu bertanya langsung sama dia," imbuhnya
Amar mengangguk setuju, iapun segera bergegas bangun dari duduknya, namun saat ia hendak melangkah pergi Paijo menariknya. Amar menatap wajah sang ayah penuh tanda tanya. Wajah serius Paijo kini berganti lebih rileks.
"Setelah bapak pikir, sepertinya yang kamu ucapkan itu ada benarnya juga. Seperti kata teman bapak kamu harus mempertahankan pernikahan mu dengan Marni. Berusahalah sebisa mu untuk mempertahankannya. Kasihan Marni, dia itu yatim piatu , tiga kali menikah suaminya meninggal, lalu kali ini akan dicampakkan. Mungkin Allah mempertemukan dia denganmu agar kamu jadi perantara kesembuhannya. Istri teman bapak itu bisa sembuh le, meskipun dengan pengorbanan yang cukup berat. Namun semuanya berbuah manis. Untuk itu berusahalah, apalagi bapak tahu kamu sangat mencintainya," ucap Paijo sembari menepuk pundak putranya memberikan semangat
"Terimakasih Pak," jawab Amar kemudian bergegas masuk menghampiri Marni yang menunggunya di depan pintu