Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Dunia yang Terlupakan
Ayla masih menggenggam tangan Kael ketika ia mulai menyadari betapa asingnya dunia yang kini ia pijak. Setiap sudutnya terasa penuh misteri, namun juga memikat hati. Pohon-pohon berdaun kristal, aroma manis yang menguar dari bunga-bunga biru, serta suara angin yang membisikkan kata-kata samar seolah menyambut kedatangannya. Ayla merasa kagum sekaligus bingung.
"Di mana aku sebenarnya, Kael?" tanyanya, suaranya lirih namun penuh rasa ingin tahu.
Kael memandangnya sejenak, seolah mempertimbangkan seberapa banyak yang bisa ia katakan. "Kau berada di Kerajaan Eradel, sebuah dunia yang terhubung dengan duniamu melalui batas-batas yang tipis."
Ayla mengernyit. "Kenapa aku? Kenapa dunia ini… terasa akrab tetapi asing pada saat yang sama?"
Kael tersenyum tipis. "Karena kau memiliki warisan dari dunia ini, sesuatu yang membuatmu istimewa. Hanya mereka yang memiliki ikatan kuat dengan Eradel yang bisa melintasi batas ini."
Kata-kata Kael menggetarkan hati Ayla. Mungkinkah ini alasan mengapa ia selalu merasa ada sesuatu yang menunggunya? Ia menggelengkan kepalanya, berusaha memahami segala informasi yang terasa begitu baru namun masuk akal dalam cara yang tak bisa ia jelaskan.
Kael mengajaknya berjalan menyusuri padang rumput yang membentang, menuju bangunan tinggi di kejauhan yang tampak seperti kastil megah dari cerita dongeng. Saat mereka mendekat, Ayla melihat detail menakjubkan dari bangunan itu—dinding-dinding yang berkilauan seolah terbuat dari permata, gerbang tinggi yang dijaga oleh patung-patung raksasa berbentuk singa bersayap, serta simbol-simbol aneh yang terpahat di pintu masuk.
“Ini adalah tempatku,” kata Kael sambil membuka gerbang besar itu. “Aku ingin menunjukkan sesuatu yang akan menjelaskan kenapa kau di sini.”
Mereka memasuki aula besar yang dipenuhi cahaya keemasan dari langit-langit kaca. Di tengah aula, terdapat sebuah kolam kecil berisi air jernih yang berpendar dalam berbagai warna. Kael menghampiri kolam itu dan mengarahkan Ayla untuk berdiri di sampingnya.
“Tataplah permukaan air itu,” bisik Kael.
Ayla menundukkan kepala dan melihat ke dalam kolam, dan apa yang ia lihat membuatnya terkejut. Bayangan dirinya di permukaan air tampak berbeda; seakan-akan ia mengenakan pakaian kerajaan dan memancarkan aura yang kuat dan memikat. Namun, bayangan itu juga memudar, tergantikan oleh pemandangan kehancuran—api, kabut, dan kegelapan yang menyelimuti Kerajaan Eradel.
Kael menatap Ayla dengan tatapan yang serius. "Ayla, kedatanganmu berarti lebih dari yang kau sadari. Dunia ini berada dalam bahaya, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya… adalah dengan keberadaanmu."
Ayla menatap Kael dengan campuran ketakutan dan keberanian yang perlahan muncul dari dalam dirinya. Ia mungkin baru saja tiba, tetapi sudah ada perasaan yang mengikatnya pada dunia ini, dan juga pada Kael.
Ayla menatap pantulan kehancuran di kolam itu, hatinya mulai dipenuhi rasa takut. "Kael, kenapa aku melihat ini? Apa hubungannya dengan kedatanganku ke sini?"
Kael mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, seolah sedang memilih kata-kata yang tepat. "Eradel pernah menjadi dunia yang damai, dipenuhi keindahan dan harmoni. Namun, semuanya berubah ketika Noir, makhluk yang haus kekuasaan dari dunia kegelapan, menemukan cara untuk mengintai dari balik bayang-bayang. Noir adalah wujud dari kegelapan itu sendiri; dia bisa mengubah bentuknya, menguasai pikiran mereka yang lemah, dan menghancurkan apa pun yang ia sentuh."
Ayla merasakan bulu kuduknya berdiri. "Lalu… kenapa aku bisa masuk ke sini? Apa yang bisa aku lakukan untuk menghadapi sesuatu seperti Noir?"
Kael mendekat, menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Karena kau bukanlah manusia biasa, Ayla. Di dalam dirimu, mengalir darah kuno yang hanya dimiliki keturunan tertentu. Kau adalah bagian dari garis keturunan pelindung Eradel, keluarga yang telah lama hilang dari dunia ini."
Ayla terdiam, mencoba mencerna kata-kata Kael. "Pelindung Eradel? Maksudmu, aku berasal dari dunia ini?"
Kael mengangguk pelan. "Beberapa abad yang lalu, leluhurmu melintasi batas antara dunia ini dan dunia manusia untuk melarikan diri dari Noir yang tengah berkuasa. Mereka membawa serta kekuatan istimewa yang mampu menahan kegelapan, tetapi garis keturunan itu terus melemah seiring waktu. Kini, hanya satu yang tersisa: kau, Ayla."
Ayla menelan ludah, hatinya dipenuhi keraguan dan ketakutan. "Tapi… aku tidak punya kekuatan apa pun. Aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana."
Kael tersenyum kecil, memberikan tatapan yang menenangkan. "Kau belum menyadarinya, tetapi kekuatan itu ada dalam dirimu. Kalung yang kau bawa adalah kunci untuk membangunkan kekuatan itu. Namun, kekuatanmu baru akan muncul sepenuhnya saat kau benar-benar memahami arti dari menjadi pelindung."
Ayla masih tampak bingung. "Lalu, bagaimana caranya aku bisa melawan Noir? Aku tak mungkin melawan kegelapan yang sebesar itu sendirian."
Kael menghela napas panjang, pandangannya meredup. "Itulah mengapa aku di sini. Aku akan membantumu menemukan kekuatan itu, dan bersama-sama kita akan berusaha mengembalikan perdamaian di Eradel. Namun, ini bukan tugas yang mudah. Noir akan melakukan segalanya untuk menghentikanmu, bahkan jika itu berarti menghancurkan seluruh dunia ini."
Ayla menatap Kael dengan tekad yang mulai muncul di matanya. Meskipun ia takut, ada sesuatu dalam dirinya yang memberanikan diri untuk menerima takdir ini. "Jika ini memang tanggung jawabku, aku tidak akan lari. Aku akan belajar… dan aku akan melawan."
Kael tersenyum, dan dalam senyum itu tersirat kebanggaan dan harapan yang sudah lama ia cari. "Kau lebih kuat dari yang kau sadari, Ayla. Ingatlah, aku selalu di sini untuk mendampingimu."
Di kejauhan, bayangan gelap mengintai dari balik pepohonan, mata merahnya mengawasi Ayla dan Kael dalam diam. Noir telah menyadari kehadiran pewaris pelindung Eradel, dan ancaman baru mulai membayangi mereka.
Ayla mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, memandangi detail-detail misterius di kastil itu—lukisan-lukisan usang yang menggambarkan sosok-sosok yang tak dikenalnya, simbol-simbol misterius, dan lorong-lorong yang seolah menyembunyikan kisah-kisah yang telah lama terlupakan.
“Jika aku pewaris pelindung Eradel,” Ayla berkata sambil menyentuh kalungnya, “apa yang harus kulakukan untuk mengaktifkan kekuatan ini?”
Kael menggenggam tangannya dengan lembut, memandangnya penuh keyakinan. “Pertama, kau harus belajar mengendalikan koneksi dengan dunia ini. Kekuatanmu bergantung pada kemampuanmu memahami elemen-elemen Eradel—hawa, tanah, dan cahaya. Kau adalah jembatan antara kedua dunia, dan hanya kau yang bisa mengendalikan kekuatan yang diwariskan leluhurmu.”
Ayla mengangguk pelan, tetapi kekhawatiran masih tampak jelas di wajahnya. Ia merasa seperti menanggung beban yang terlalu besar, tetapi tekadnya untuk melindungi Eradel kian menguat, terinspirasi oleh keberanian dan ketulusan yang ditunjukkan Kael.
Suara angin tiba-tiba berdesir keras, seolah sesuatu yang tak terlihat bergerak di sekitar mereka. Aura gelap perlahan-lahan menyelimuti ruangan, menebarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Ayla berbalik, merasakan kehadiran yang begitu kuat dan mengancam.
“Dia sudah tahu kau ada di sini,” bisik Kael dengan nada serius. “Noir… dia takkan membiarkan kita bersiap dengan mudah. Kita harus bergerak cepat.”
Sebelum Ayla sempat merespons, angin dingin itu berubah menjadi bisikan-bisikan jahat, memenuhi ruangan dengan suara sumbang yang membuat kulitnya meremang. Seperti semburan racun, Noir mengirimkan ancaman melalui bayangan-bayangan gelap di ruangan itu.
“Kalian takkan lolos dari kegelapan…” suara Noir bergema, terdengar seperti ribuan suara yang menyatu. “Ayla, takdirmu adalah milikku.”
Ayla bergidik, tetapi Kael segera berdiri di depannya, melindunginya dengan tubuhnya sendiri. “Jangan takut,” katanya dengan tegas. “Selama aku di sini, kau aman.”
Mata Ayla berkobar dengan tekad yang baru. Meskipun ia takut, ia takkan menyerah. “Aku tidak akan lari,” ujarnya pelan namun penuh tekad. “Jika ini memang tugas yang harus kutanggung, aku siap menghadapi kegelapan itu.”
Cahaya lembut yang memancar dari kalung Ayla mengusir bayangan yang mengancam mereka, dan perlahan-lahan hawa dingin mulai menghilang. Kael tersenyum, puas melihat keberanian Ayla yang tumbuh.
“Latihan kita dimulai sekarang,” kata Kael dengan mantap. “Persiapkan dirimu, Ayla. Ini baru awal perjalanan kita.”