Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat Wasiat
***
Selesai sarapan, aku memilih pamit undur diri lebih dahulu karena merasa gerah dan ingin mandi. Awalnya, Mas Yaksa terlihat tidak setuju, tapi pada akhirnya ia pasrah dan mengizinkan aku untuk mandi lebih dahulu.
Jujur, aku juga penasaran sih sebenarnya tapi mau bagaimana lagi. Aku benar-benar merasa gerah dan tidak tahan kalau tidak mandi lebih dahulu.
Selesai mandi dan berganti pakaian, aku memutuskan untuk menemui kedua ponakanku, Alin dan Javas. Javas ini belum genap 4 tahun, tapi sudah sangat pintar dalam mengurus sang adik yang belum genap setahun. Sedih banget rasanya kala mengingat Alin, bayi mungil itu bahkan kini sudah tidak memiliki seorang ibu. Hatiku sakit kala mengingat fakta ini. Dia masih terlalu kecil ya Tuhan, Alin harusnya masih dapat ASI eksklusif.
"Geya, ayo, bicara!"
Aku spontan menoleh ke asal suara dan menemukan Mas Yaksa yang masih mengenakan pakaiannya yang tadi.
"Geya... kamu... menangis?"
Reflek aku meraba pipiku dan benar saja, ternyata pipiku sudah basah oleh air mataku. Cepat-cepat aku mengusap dengan telapak tanganku lalu berdiri dengan buru-buru. Karena tidak hati-hati, aku hampir terjengkang kalau saja Mas Yaksa tidak menahan lenganku.
Kakak iparku itu berdecak galak. "Hati-hati, Geya," ucapnya memperingatkan.
Aku meringis malu, lalu cepat-cepat menjauhkan diri.
"Mau bicara di mana, Mas?"
Mas Yaksa tidak membalas, dan pergi meninggalkanku lebih dahulu. Aku langsung menggerutu dan mengejarnya. Kebiasaan banget deh.
"Mas Yaksa mau ngomong apa sih?"
"Duduk!" perintahnya sambil menuang air panas ke dalam cangkir. Dari aromanya sih itu coklat panas.
Padahal aku masih kenyang banget karena baru saja sarapan, masa iya sekarang disuruh minum coklat panas. Bisa-bisa begah nih perutku.
Aku tidak berani membuka suara sampai akhirnya Mas Yaksa selesai membuat coklat panas untukku dan segelas kopi untuknya.
"Makasih, Mas," ucapku sambil menerima cangkir yang disodorkannya.
Mas Yaksa hanya mengangguk, ia duduk di hadapanku sambil menyesap kopi hitamnya.
Tidak pernah terbayangkan olehku kalau aku akan duduk berhadapan dengan kakak iparku, dengan atmosfir yang tidak mengenakkan seperti sekarang. Aku benar-benar merasa tegang dan juga gugup.
Aku tidak akan diapa-apakan bukan?
"Geya," panggil Mas Yaksa.
Kedua telapakku mendadak berkeringat dingin.
"Ya, Mas?"
"Sebelum Mas ngomong, Mas mau minta maaf dulu. Mungkin habis denger ini kamu bakalan benci sama Mas, tapi, di sini Mas cuma mau menyampaikan pesan wasiat Kakak kamu. Oh, ya, soal kita yang nggak kasih tahu kamu tentang penyakit Aruna, Mas juga minta maaf. Ini bukan kemauan Mas, melainkan kemauan kakak kamu."
Meski sejujurnya aku kesal karena diingatkan. Tapi aku tidak boleh menyimpan dendam. Ini bukan sepenuhnya kemauan Mas Yaksa, jadi aku tidak boleh marah bukan? Mungkin orang yang berhak mendapatkan luapan amarahku adalah Kak Runa sendiri. Tapi sayang aku tidak dapat melakukannya karena Kak Runa sudah tidak ada di sini. Aku kembali sedih kala mengingat hal ini. Semoga aku tidak tiba-tiba menangis lagi.
Tapi sepertinya aku gagal, terbukti karena Mas Yaksa tiba-tiba menyodorkan tisu kepadaku. Aku menerimanya lalu mengusap kedua pipiku, dan ternyata tisunya berubah menjadi basah, itu artinya aku kembali menangis. Ingusku bahkan keluar.
"Maaf, Mas."
Mas Yaksa mengangguk. "Take your time, Geya."
"Aku rasanya kayak nggak percaya kalau Kak Runa udah nggak ada."
"Mas juga. Meski Mas tahu hari itu akan tiba dalam waktu dekat, tapi tetap saja Mas belum siap."
Sudut bibir Mas Yaksa terlihat membentuk senyuman, tapi senyuman pilu. Benar-benar menyakitkan kala melihatnya.
"Maafin Geya ya, Mas?"
"Geya, kamu ada pacar?"
Seketika gue tidak dapat menahan kerutan di dahi, saat tiba-tiba mendengar pertanyaan Mas Yaksa. Menurutku selain tidak sopan, pertanyaan ini terlalu mendadak.
"Mas Yaksa kenapa tiba-tiba nanya itu?"
"Ada atau enggak, Geya?"
"Maaf, Mas, ini privasi aku. Aku rasa ini bukan ranah aku buat jawab pertanyaan Mas."
"Tolong, Geya!"
"Aku mau pulang ke rumah aja lah," ucapku memilih untuk langsung berdiri, "asal Mas Yaksa tahu, Mas nggak punya hak buat nanya hal ini karena Mas Yaksa itu cuma ayah dari kedua ponakan aku."
"Kita akan menikah, Geya."
Duar!!
Bagaikan disambar petir siang bolong. Tubuhku seketika langsung lemas, aku berbalik dan menatap Mas Yaksa, menuntut penjelasan, siapa tahu aku memang salah dengar kan?
"Maksud Mas Yaksa?"
"Aruna minta Mas buat nikahin kamu. Setahu Mas, kamu nggak ada pacar, tapi Mas tetap perlu memastikan kamu beneran ada pacar--"
"MAS YAKSA! MAS YAKSA TAHU NGGAK HARI INI BAHKAN MASIH MALAM TIGA HARIAN KAK RUNA, TAPI BISA-BISANYA MAS YAKSA UDAH MIKIR BUAT NIKAH LAGI? DAN MAS BERHARAP AKU YANG AKAN NIKAH SAMA MAS? JANGAN HARAP MAS!"
"Geya, tolong dengerin Mas dulu!"
"Ada apa ini ribut-ribut? Alin yang mau tidur sampai kebangun loh."
Tak lama setelahnya Ibu datang sambil mengomel. Pandangannya beralih ke arahku dan Mas Yaksa secara bergantian, lalu kembali fokus kepada sang menantu.
"Kamu sudah ngomong sama Geya, nak?" tanya Ibu dengan lembut.
Mas Yaksa langsung mengangguk dan mengiyakan.
"Ibu tahu?" Aku memandang ibu dengan raut wajah tidak percaya.
"Tentu saja ibu tahu, Ge. Ibu denger sendiri kalau ini memang permintaan kakak kamu, dia ingin kamu menikah sama Nak Yaksa dan mengurus Alin dan Javas. Mereka terlalu muda kalau harus diurus baby sister, kasian."
"Lalu aku? Ibu nggak kasian?"
"Geya, duduk! Minum coklat panas kamu dan tenangkan diri. Mas akan jelaskan."
"Maaf, Mas, nggak semua orang bisa kayak Mas Yaksa atau Kak Runa yang bisa selalu tenang dalam menghadapi segala situasi. Aku nggak bisa tenang kecuali kalau sekarang Mas lagi prank aku."
"Geya, kamu pikir Mas kurang kerjaan sampai repot-repot ngeprank kamu? Istri Mas baru meninggal dan anak-anak Mas masih terlalu kecil untuk Mas urus sendirian. Bisa kamu enggak mancing emosi Mas?"
Aku diam. Pikiranku kalut. Tidak tahu harus bereaksi apa, aku memilih meninggalkan Ibu dan Mas Yaksa. Samar-samar aku mendengar upaya Ibu yang mencoba menghibur Mas Yaksa.
Semua terlalu mendadak buatku. Aku yang baru saja kehilangan kakak, dan sekarang aku sudah harus memikirkan untuk menikah dan mengurus keponakanku? Dengan situasi yang semendadak ini, tentu saja aku tidak bisa tenang. Bahkan kalau bisa aku ingin mengamuk karena saking muaknya dengan semua.
Kenapa nasibku begini banget Tuhan?
Tidak bisa kah aku bertukar dengan yang lain? Ini terlalu berat untukku, aku merasa tidak sanggup menghadapi semuanya.
To be continue