Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Satu
“Lang ...?” Suara Haris terdengar dari sambungan telepon di ponsel Langit.
Langit yang duduk di kursi kerjanya yang di kantor, masih menunjukkan emosi yang stabil. “Iya, Ris.”
“Apa kabar? Kamu ganti nomor lagi? Aku pikir tadi Dita, soalnya aku memang lagi nunggu kabar dia banget.”
Meski Haris menyebut nama Dita, Langit juga tak sampai memberikan reaksi berarti. Langit masih tenang, tetapi perlahan jadi agak sedih.
“Jangan menunggu Dita lagi. Dia sudah bahagia dengan suaminya. Dita lagi hamil. Kamu cari dan nikahi wanita lain saja,” ucap Langit dengan nada suara yang sangat tenang.
“L—Lang ... untuk Dita, ... aku beneran enggak bisa. Aku cinta banget ke Dita!” balas Haris yang jadi mendadak terdengar melow.
“Jalani saja. Nanti kalau sudah terbiasa juga jadi cinta,” ucap Langit.
Karena Haris tak kunjung merespons dan Langit yakini efek sedih, Langit langsung mengatakan maksudnya menelepon Haris. Langit meminta Haris menghubungi Agnia.
“Aku mau bicara empat mata dengan dia. Namun semuanya, kamu yang atur. Kamu yang hubungi kami, tetapi kamu enggak usah kasih nomerku ke dia,” ucap Langit.
“Sebenarnya kemarin pas aku ke rumah Dita, aku enggak sengaja ketemu dia. Dia sempat tanya-tanya tentang kamu ke aku. Ya aku jawab saja kalau kamu sudah bahagia dengan istri kamu,” ucap Haris tak lagi melow.
“Nah iya. Karena itu juga, aku hubungi kamu. Soalnya dia juga ada datang ke rumah orang tuaku. Aku enggak nyaman, Ris. Aku sudah bahagia dan ... aku sangat bersyukur punya istriku. Jadi, jangan sampai dia punya nomor hapeku yang ini. Aku percaya ke kamu!” yakin Langit. Padahal ia saja belum jujur, jika istri yang membuatnya merasa sangat beruntung justru Dita.
“Oke, Lang. Aku beneran salut ke kamu. Kamu berubah banget. Aku jadi penasaran ke istrimu. Andai aku ketemu dia, aku mau sungkem ngucapin makasih karena dia sudah bikin kamu berubah,” ucap Haris.
Mendengar balasan Haris barusan, Langit jadi merasa bersalah. “Berubah jadi baja hitam, maksudnya?” ucap Langit sengaja bercanda.
“Baja hitam sih apa? Kamu yang sekarang lebih keren dari baja hitam kali! Baja hitam enggak ada apa-apanya ketimbang kamu yang sekarang!” balas Haris.
“Memangnya sejak kapan aku enggak keren? Dari aku masih berwujud kecebong, aku sudah keren, Ris!”
“Kamu ngomong kayak gitu, aku jadi pengin muntah, Lang! Eh, berarti ini kamu sehat, ya?”
“Alhamdullilah aku sehat. Yang enggak sehat itu dompetku, Ris!” Kali ini, Langit mengakhiri ucapannya dengan tawa lepas.
“Dengar kamu bilang begini, aku yakin kamu lebih dari waras, Lang! Bisa-bisanya, seorang Langit bilang dompetnya enggak sehat!” balas Haris.
***
“Berarti ini aku harus menghubungi Agnia?” pikir Haris yang masih ada di area produksi pabrik ia bekerja. Ia bahkan masih memakai seragam khusus yang membuat kepalanya terbungkus rapat.
“Untung kemarin sempat tukeran nomor hape sama tuh anak, jadi aku enggak perlu pusing cari ke mana.” Haris langsung mencari kontak Agnia, kemudian mengirimkan pesan singkat. “Aku ajak ketemuan saja. Enggak harus sebut ada Langit di pertemuan kami. Aku pun harus ikut di pertemuan itu,” pikir Haris.
Di tempat berbeda, Agnia masih terkapar tak berdaya Lehernya sampai digips, dan sekadar menoleh saja, ia tak bisa melakukannya dengan leluasa.
“Astaga ... tendangan tante Azzura beneran rasa jahanam. Untung saja kepalaku enggak sampai lepas dari leher. Terus itu ... siapa yang WA. Mau lihat siapa yang WA saja, harus dilurusin ke atas dulu,” keluh Agnia.
Di ranjang rawat dirinya dirawat, Aqnia tak lagi memakai pakaian syari apalagi sampai bercadar. Tendangan mantan calon mertuanya di rahangnya, memang membuatnya dirawat inap dan sampai menjalani penanganan intensif. Di ruang rawat tersebut, Agnia hanya sendirian. Tak ada yang menjaganya, hingga sekadar mengambil ponsel untuk memastikan siapa yang mengiriminya WA, Agnia kesulitan. Butuh waktu sangat lama agar dirinya bisa melakukannya.
Haris
Melihat nama kontak yang mengiriminya pesan, Agnia mendadak kemayu. Sejauh ini, Haris memang dikenal sebagai pribadi yang sangat baik. Sahabat baik dari Langit tersebut juga tipikal yang sangat sulit marah.
“Haris harus tahu, bahwa Dita yang sedang dia cari-cari justru dinikahi Langit! Hayo, kira-kira, bagaimana nasib hubungan baik keduanya setelah ini?” batin Agnia yang jadi tersenyum ceria.
“Ini si Haris ngajak ketemuan. Makan malam, dia mendadak naksir aku apa gimana? Padahal aku belum kabarin kalau Dita sama Langit. Eh dia sudah langsung klepek-klepek ke aku?” batin Agnia makin percaya diri.
“Ya sudah lah, aku terima ajakan makan malam dari Haris. Jadi, meski aku masih ngarep ke Langit, aku juga tetap jalan sama Haris. Biar untungnya dua kali lipat!”
Haris : Bisa, kan?
Agnia : Bisa Ris, tapi ini aku masih di RS 🤒🤕
Haris : Kamu sakit?
Agnia : ☹️🥺🥺 Iya. Leherku sampai digips.
Haris : Oh, ... turut berduka cita dengarnya ya.
Agnia : Aku belum mati, Ris. Jangan keburu-buru ngomong gitu.
Haris : 🤧🤧 Berarti pengin mati, ya. Soalnya tadi kamu bilang belum mati? 🤣🤣🤣🤣
Agnia : Ih Haris nakaal. Aku jewer nanti ya.
Agnia mendadak senyum-senyum sendiri. Tanpa Agnia sadari, berkirim pesan WA dengan Haris membuatnya baper.
“Kok aku jadi deg-degan, baper gini?” lirih Agnia yang refleks miring dan meringkuk. Ulahnya itu membuat lehernya sakit luar biasa. Saking sakitnya dan ia tak kuasa menahannya, Agnia juga berakhir di lantai dan sebelumnya sampai terban*ting.
“Ya ampun sakit banget mamaaa!” tangis Agnia yang agak menyesal, kenapa kemarin dirinya sampai bertemu ibu Azzura. Andai kemarin dirinya tak ke rumah Langit dulu, rasanya pasti tak sesakit sekarang!”
Di rumah, Dita masih bertanya-tanyaa mengenai perubahan suaminya. “Mas Langit kenapa, ya? Aku jadi khawatir. Namun sepanjang berkomunikasi hari ini, semuanya aman sih. Enggak ada yang aneh,” batin Dita masih istirahat di tempat tidur. Wajahnya masih pucat, dan ia juga jadi gampang mengantuk. Ibu Azzura bilang, Dita sudah mengalami periode mengidam parah.