Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.
Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.
Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekalahan Seorang Putri yang Bersinar
Mereka duduk sambil mencicipi setiap rasa—dari keripik pisang original yang renyah hingga varian pedas manis yang membuat mereka berdecak kagum. Suara tawa dan canda menggema di udara, menciptakan suasana hangat yang menyenangkan.
"Ini enak banget! Kapan lagi bisa makan keripik sambil nongkrong bareng?" Roni berkata sambil mengunyah keripik dengan gembira.
Mia menambahkan, "Setuju! Kita harus bikin ini jadi rutinitas, deh. Pesta keripik pisang setiap minggu!"
Clara tersenyum, "Dan kita bisa ajak Erika setiap kali. Dia pasti senang melihat kita menikmati hasil kerjanya."
Akbar yang duduk dengan ekspresi cool-nya hanya mengangguk, tapi ada senyum kecil di wajahnya. "Gak masalah. Semakin banyak yang dukung, semakin baik."
Vin, yang sedang mencoba keripik rasa keju, berkomentar, "Ini sih favorit gue! Kalian harus coba."
Di tengah keramaian, mereka semua merasa semakin dekat satu sama lain. Keripik pisang bukan hanya camilan, tetapi juga simbol persahabatan dan dukungan yang mereka bagi. Hari itu menjadi momen berharga yang akan mereka kenang, penuh tawa dan kebersamaan.
Di sudut yang lebih sepi, Bianca mengamati keramaian di luar cafe dengan tatapan serius. Dia melihat Niko dan teman-temannya yang sedang pesta keripik pisang, tawa dan keceriaan menghiasi wajah mereka. Dalam hati, Bianca berpikir:
"Lihat betapa dekatnya mereka. Niko, yang terlihat judes, ternyata bisa jadi teman yang baik. Kenapa ya aku merasa terasing di sini? Mereka tampaknya sangat bahagia."
Dia mengerutkan kening, merasa sedikit cemburu namun juga terpesona.
"Mungkin mereka tidak menyadari ada yang mengamati dari jauh. Mungkin aku seharusnya lebih terbuka, tapi bagaimana caranya? Takut ditolak, ya? Atau dianggap aneh?"
Bianca menunduk, menyentuh ujung keripik pisang yang tersisa di piringnya.
"Mungkin suatu hari nanti... mungkin aku bisa bergabung dengan mereka. Tapi sekarang, aku lebih nyaman di sini, dengan pikiranku sendiri."
Dengan perasaan campur aduk, Bianca melanjutkan mengamati, berharap bisa menemukan keberanian untuk mendekati mereka suatu saat.
****************
Di sisi lain, Sonia berdiri di room VIP, mengucapkan sesuatu kepada temannya. “Eh, aku mau ke kamar mandi sebentar, ya?” katanya dengan nada santai, seolah-olah tidak ada yang mencurigakan.
Setelah memastikan temannya tidak curiga, Sonia berjalan menjauh, namun bukannya menuju kamar mandi, dia justru mengintip dari jauh ke arah Niko dan gengnya yang sedang asik dengan pesta keripik pisang. Dia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Dari tempat persembunyiannya, Sonia melihat Niko yang tampak santai, dikelilingi oleh teman-temannya yang tertawa. Dia merasa sedikit cemburu dan penasaran, “Kenapa Niko bisa terlihat begitu akrab dengan mereka? Apa yang mereka miliki yang tidak aku punya?”
Dia mengerutkan dahi, memperhatikan bagaimana Niko berinteraksi dengan ceria, meskipun tetap dengan wajah cool-nya. “Huh, dia bisa jadi teman yang baik, ya?” pikirnya sambil menggigit bibir.
Sonia kemudian mengalihkan pandangannya ke Erika yang berteriak penuh semangat tentang keripik pisang. “Kripik pisang! Kripik pisang! Digoreng dadakan, bisa langsung dimakan Karena dah di bayar!” teriak Erika, membuat Sofia hampir tersenyum, meskipun masih merasa sedikit sinis.
“Lihat saja, mereka semua pasti senang. Pasti ada yang lebih seru di luar sana,” bisiknya pada dirinya sendiri, merasa sedikit terasing.
Sonia mengamati dari kejauhan dengan perasaan campur aduk. Melihat Niko tertawa bersama Mia dan Clara, hatinya terasa sedikit kesal. “Kenapa dia bisa begitu akrab dengan mereka?” pikirnya sambil mengerutkan dahi.
Dia merasa seolah Niko yang biasanya cool dan agak dingin itu kini berubah jadi sosok yang lebih hangat, tertawa lepas dan terlibat dalam obrolan ceria. “Tapi kan mereka sebelumnya tidak terlalu dekat.” bisiknya pada dirinya sendiri, merasa jengkel.
Sonia mengerutkan bibir, berusaha menyembunyikan perasaannya. “Apa mereka sudah lupa sama aku? Apa aku salah?” mengingat saat-saat ketika mereka masih akrab.
Melihat bagaimana Mia dan Clara memandang Niko dengan ceria, Sonia merasa sedikit terasing. “Geng baru, ya? Bagaimana kalau aku saja yang tidak ada di sana?”
Dia merasakan sedikit sakit di hatinya, ingin sekali bergabung, tetapi juga merasa bingung tentang apa yang harus dilakukan. Dengan rasa kesal yang mencampuradukkan rasa cemburu, Sonia bertekad untuk mencari cara agar bisa mendekati Niko dan teman-temannya lagi, meskipun merasa sedikit ragu.
“Entah bagaimana, aku harus menunjukkan bahwa aku juga ada di sini,” pikirnya, sambil tetap mengawasi dari jauh, berharap bisa menemukan keberanian untuk bergabung kembali.
Sonia terus memperhatikan Niko dari tempatnya bersembunyi, dan dia tidak bisa tidak menyadari bagaimana Niko sesekali melirik ke arah Clara. Sebuah perasaan tidak nyaman mulai muncul di dadanya.
“Ah, jadi dia suka yang menonjol seperti Clara, ya?” Sonia berkata pelan dalam hati, merasa sedikit sinis. “Tentu saja, siapa yang tidak suka? Dia selalu jadi pusat perhatian.”
Rasa cemburu mulai menggerogoti pikirannya. “Clara dengan segala kelebihan dan pesonanya. Dia pasti menarik perhatian Niko dengan mudah. Apa aku kurang cukup baik? Atau mungkin kurang mencolok?”
Sonia menggelengkan kepala, berusaha menepis pikiran negatif itu. “Kenapa aku harus peduli? Dia kan Niko, dan aku… aku sudah cukup berusaha untuk tidak terjebak dalam drama ini.”
Namun, semakin dia melihat Niko tersenyum dan tertawa bersama Clara, semakin dia merasa kesal. “Sepertinya aku perlu melakukan sesuatu. Jangan sampai dia terbuai sama pesona Clara. Aku harus menunjukkan siapa aku sebenarnya.”
Dengan tekad yang mulai muncul, Sonia memutuskan untuk mengambil langkah. “Kalau Niko suka yang menonjol, mungkin aku juga perlu sedikit lebih bersinar.” Dengan pikiran itu, dia mulai merencanakan langkah selanjutnya untuk menarik perhatian Niko kembali.