Aillard Cielo Van Timothee adalah seorang Grand Duke yang sangat dikagumi. Dia sangat banyak memenangkan perang yang tak terhitung jumlahnya hingga semua rakyat memujanya. Namun hal yang tak disangka-sangka, dia tiba-tiba ditemukan tewas di kamarnya.
Clarisse Edith Van Leonore adalah seorang putri dari kerajaan Leonore. Keberadaannya bagaikan sebuah noda dalam keluarganya hingga ia di kucilkan dan di aniaya. Sampai suatu hari ia di paksa bunuh diri dan membuat nyawanya melayang seketika. Tiba-tiba saja ia terbangun kembali ke dua tahun yang lalu dan ia bertekad untuk mengubah takdirnya dan memutuskan untuk menyelamatkannya.
"Apakah kamu tidak punya alternatif lain untuk mati?"
"Aku disini bukan untuk mencari mati." jawab Clarisse tenang.
"Lalu untuk apa kamu kesini, menyodorkan dirimu sendiri ke dalam kamp musuh?" Aillard mengangkat alisnya sambil memandang Clarisse dengan sinis.
"Aku disini berniat membuat kesepakatan denganmu. Mari kita menikah!"
➡️ Dilarang memplagiat ❌❌
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KimHana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 10 - PUTRI KE LIMA
"Tuan, apakah anda sudah sadar?" Teon bertanya dengan gembira ketika melihat Aillard yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Matanya berbinar menatap Aillard yang membuat Aillard merasa tidak nyaman.
Jujur saja, ia masih belum terbiasa dengan pandangan kasih sayang pemuda yang umurnya terpaut tidak cukup jauh darinya ini.
".........." Aillard menganggukkan kepalanya dingin menjawab perkataan Teon.
Melihat itu membuat Teon menghela nafas lega. Ia berbalik dan menatap dokter Richard yang sedang duduk tidak cukup jauh darinya. "Apakah kondisi Yang mulia baik-baik saja?"
"Iya, selama dia menjaga tubuhnya tetap baik, dia akan baik-baik saja." ujar Richard sambil melepaskan pandangan sinis kepada pelaku yang menjadi sumber sakit kepalanya selama ini.
"Syukurlah, kalau begitu saya juga akan menjaga dan memperhatikan terus kondisi Yang mulia supaya dia lekas membaik." balas Teon bersemangat.
"Kerja bagus." puji Richard sambil tersenyum.
"Apakah kamu sudah menemukan pengkhianatnya?" tanya Aillard di sela-sela percakapan mereka berdua.
"Belum Yang mulia." jawab Teon tertunduk lesu. "Saya dan Theodore saat ini belum juga menemukan petunjuk apapun yang membuat kami agak kesulitan. Tetapi tenang saja Yang mulia, saya akan bekerja keras dan dengan cepat menemukannya."
"Lalu tunggu apalagi, kenapa kamu tidak mencarinya sekarang? Tidak ada waktu lagi untuk bertele-tele sebelum pengkhianat itu kembali melancarkan serangannya." kata Aillard dengan dingin.
Teon tertegun lalu dengan cepat dia menganggukkan kepalanya patuh. "Baik, Yang mulia." ujarnya sambil melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Setelah melihat bayangan Teon menghilang dari balik pintu, Richard dengan cepat menolehkan kepalanya dan menatap Aillard dengan kesal, "Bisakah kamu bersikap lebih lembut kepada anak itu, kenapa kamu sangat kejam padanya?" ujarnya merasa tidak puas.
"Itu tidak kejam. Saya hanya menyuruhnya untuk tidak membuang-buang waktu dan melakukan hal-hal yang tidak berguna." jawab Aillard tak peduli.
"Ck." Richard berdecak sambil melambaikan tangannya frustasi, "Sudahlah, untuk apa juga aku menasihatimu karena kamu juga sama sekali tidak mengerti."
"..........." Aillard mengedikkan bahunya acuh tak acuh menanggapi perkataan Richard.
Keheningan kembali menyelimuti tempat itu membuat Aillard merasakan kelopak matanya mulai memberat. Ia memandang Richard yang masih di kamarnya lalu menghembuskan nafas lelah, "Kapan kamu akan pergi? Saya mulai merasa mengantuk."
Tidak ada bahasa formal dalam nada suaranya yang menandakan hubungan mereka sangat dekat. Tentu saja itu karena dokter Richard adalah seseorang yang tumbuh bersamanya sejak kecil sehingga mereka bisa dibilang sangat dekat layaknya kakak dan adik. Karena itulah di depan dokter Richard ia bisa melepaskan penjagaannya dengan santai.
"Baiklah, aku akan keluar. Hubungi aku jika kamu butuh sesuatu!" ujar Richard sambil membereskan barang-barangnya.
Aillard menganggukkan kepalanya lalu menarik selimutnya sampai sebatas dada. Perlahan tapi pasti ia mulai merasakan rasa kantuk mulai menyerangnya dan membuat ia langsung tertidur lelap.
...----------------...
"Yang mulia..."
Teriakan seorang perempuan bergema di lorong yang sunyi membuat Clarisse sontak menolehkan kepalanya ke belakang. Ia melihat kepala pelayan berlari tergesa-gesa ke arahnya. Apa lagi kali ini? Clarissa memutar bola matanya malas ketika melihat sosok kepala pelayan yang hampir mendekatinya.
"Apa?" tanya Clarisse sambil menyilangkan tangannya menatap kepala pelayan.
"Yang mulia, anda di undang oleh putri Adeline untuk acara minum teh bersama." Tidak ada nada hormat dalam suaranya yang membuat Clarisse mengernyitkan dahinya kesal. Namun ia tidak ingin mempermasalahkan hal itu karena saat ini ia bingung dengan undangan tiba-tiba Putri Adeline. Apa yang terjadi? Kenapa putri Adeline tiba-tiba mengundangnya?
Putri Adeline adalah putri ke lima dari Kaisar dan permaisuri yang juga merupakan saudari tirinya yang kedua. Dia dikenal sebagai sosok yang lembut dan cantik, tutur bicaranya yang halus dan keterampilan sosialnya yang tinggi. Tetapi sayangnya hatinya sangat busuk sampai ke tulangnya seperti halnya permaisuri. Tidak di ragukan lagi mereka benar-benar ibu dan anak karena sifat mereka yang hampir sama.
Sama-sama gila, Sama-sama tidak waras.
Lalu untuk apa dia mengundangnya? Clarisse mulai merasa ada yang tidak beres. Orang yang selalu menganggapnya sebagai lalat berdengung di istana ini tiba-tiba saja melihat kehadirannya, tentu saja itu bukan hal yang baik.
Apakah ia tidak datang saja?
Tidak.
Ia tidak yakin itu akan berhasil karena sang putri adalah orang yang tidak bisa menerima penolakan. Jika ada sesuatu hal yang di inginkannya namun tidak terlaksana, dia akan berusaha keras mendapatkannya tidak peduli apakah dia menggunakan cara kotor ataupun tidak.
Lalu bukankah dia harus rela melompat ke lubang api? Clarisse menghembuskan nafas frustasi ketika mengingat Putri Adeline yang akan mencari masalah dengannya.
"Antarkan aku kesana!" ujar Clarisse akhirnya. Tidak ada lagi ruang bagi dia untuk menghindar. Kenapa dia tidak menghadapi sosok putri Adeline dan pergi dari sana secara diam-diam. Ia akan mencari celah supaya ia bisa kabur meninggalkan tempat itu.
"Baik, Yang mulia." jawab kepala pelayan.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di tempat yang disediakan putri untuk acara minum teh. Ada lima kursi yang berjejer di taman dan ada juga sepoci teh yang tergeletak di atas meja.
Bau harum teh bercampur dengan aroma bunga mawar yang tumbuh di sekeliling taman. Sesekali semilir angin bertiup, menghembuskan udara sejuk melewati badan Clarisse. Langit sore yang indah menjadi pelengkap terakhir membuat semuanya sangat sempurna untuk bersantai.
Sesaat Clarisse melupakan masalahnya dan memilih untuk bersantai menikmati semua ini. Namun baru beberapa menit, ia mendengar langkah kaki dan suara tawa ceria seorang gadis yang membuat dia menegakkan tubuhnya kembali dengan anggun.
"Salam Yang mulia putri ke lima." Clarisse membungkukkan tubuhnya enam puluh derjat memberi hormat kepada sosok perempuan yang sedang berdiri di hadapannya. Sama seperti dia yang memiliki rambut pirang platinum, dia juga memiliki hal yang sama. Usianya terpaut tidak cukup jauh darinya namun dia memiliki wajah yang imut yang membuat tampilannya tampak lebih muda.
Dia mengenakan gaun berwarna merah yang sangat kontras di kulitnya yang putih. Clarisse mengakui kalau dia benar-benar cantik terlepas dari sifatnya yang kurang ajar.
"..........." Adeline menganggukkan kepalanya dengan angkuh lalu berjalan melewati Clarisse.
Clarisse mengikuti di belakangnya lalu perlahan duduk di kursi yang agak jauh dari Adeline. Dia berusaha meminimalkan kehadirannya supaya sang putri tidak memperhatikan keberadaannya.
Empat gadis cantik sedang duduk bercanda ria di taman yang indah membuat orang tidak akan bisa memalingkan wajahnya dari pemandangan itu kecuali Clarisse yang menjadi bagian di dalamnya. Entah sudah ke berapa kalinya dia menguap, ia mulai merasa sangat bosan dengan semua ini.
Tepat ketika ia akan menyelinap pergi secara diam-diam, ia mendengar suara di belakangnya, "Putri ke lima, apakah kamu tidak akan memperkenalkan gadis cantik yang duduk di kursi itu?"
Sial. Clarisse mendesis marah lalu mendudukkan kembali bokongnya di kursi secara perlahan.