Dewi Amalina telah menunggu lamaran kekasihnya hampir selama 4 tahun, namun saat keluarga Arman, sang kekasih, datang melamar, calon mertuanya malah memilih adik kandungnya, Dita Amalia, untuk dijadikan menantu.
Dita, ternyata diam-diam telah lama menyukai calon kakak iparnya, sehingga dengan senang hati menerima pinangan tanpa memperdulikan perasaan Dewi, kakak yang telah bekerja keras mengusahakan kehidupan yang layak untuknya.
Seorang pemuda yang telah dianggap saudara oleh kedua kakak beradik itu, merasa prihatin akan nasib Dewi, berniat untuk menikahi Kakak yang telah dikhianati oleh kekasih serta adiknya itu.
Apakah Dewi akan menerima Maulana, atau yang akrab dipanggil Alan menjadi suaminya?
***
Kisah hanyalah khayalan othor semata tidak ada kena mengena dengan kisah nyata. Selamat mengikuti,..like dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐, yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadar T'mora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Perawan untuk Perjaka.
Setelah kamar itu sepi tinggal mereka berdua, Dewi duduk di depan meja rias membelakangi Alan.
Di depannya, satu set kebaya putih brokat warna gading lengkap dengan rok batik hitam emas, terpasang di tubuh manekin. Dia membayar mahal 2 kali lipat untuk satu set kebaya ini karena harus dikerjakan buru-buru.
Apakah Dita sudah menyiapkan gaun menikahnya, perempuan itu bertanya-tanya. Sepertinya sudah, karena kelihatan sangat santai. Astaghfirullah, ucap dalam hati Dewi menyadari sesuatu. Seolah telah direncanakan jauh hari, diam-diam mereka juga telah mempersiapkan diri.
Hm, orang tua Arman bulan lalu tidak keberatan Dewi yang jadi menantu mereka, tapi sekarang tiba-tiba berubah pikiran menjadi adiknya. Kayaknya itu politik, taktik sekalian mengancam agar keinginan mereka tercapai.
Kalau bulan lalu mereka langsung menolak, tentu saja pernikahannya dengan Arman akan diundur sampai mendapatkan restu. Bukan ganti mempelai wanita seperti sekarang. Begitu sangat terbaca kelicikannya, tebal sekali muka mereka seolah itu lumrah untuk dilakukan.
"Haih...manusia, manusia." Dewi menghela nafas panjang sembari menatap bayangan Alan dari kaca rias.
Dewi sudah lama penasaran dengan kehidupan pribadi Alan tapi karena segan ia tidak pernah bertanya. Apakah ini waktu yang wajar untuk dia mengetahui?
Meskipun mereka akan menikah tapi itu hanya setingan. Waktunya meeting masih ada setengah jam lagi. Mau jawab syukur nggak mau nggak apa, pikir Dewi. "Alan, apa kamu pernah berhubungan badan dengan perempuan?" Dia putuskan untuk bertanya.
Alan bersilang kaki duduk di sofa sambil menatap ponselnya, mengerut kening. "Kenapa? Apa kamu berencana melakukannya denganku?" jawab pria itu kembali mengajukan pertanyaan.
"Ck, bukan begitu." jawab Dewi.
Nggak mungkin dia tega kalau ternyata Alan masih perjaka. Dewi merasa sungguh tak pantas mendapatkan pertamanya. Perjaka seharusnya dapat perawan saat malam pertama setelah ijab kabul, kecuali dengan pacar sendiri udah tau sama tau apakah mereka sudah pernah bobok bareng atau nggak!
Begitu juga sebaliknya yang udah gak perawan sebaiknya cari yang udah nggak perjaka, biar kedepannya tidak ada alasan untuk menghina pihak yang tercemar.
"Sebaiknya aku menelpon butik untuk jas pengantin pria yang baru. Ukuran tubuh kamu tidak cocok dengan jas yang saya pesan untuk Arman. Kalau yang itu cocok udah saya tarik darinya, biar dia pilih jas lain." Dewi merubah topik sensitif itu, kemudian mengeluarkan telepon genggamnya.
Perempuan optimis ini memang berhati baja dan sangat ahli hitung-menghitung serta sedikit kikir menurut karyawan di perusahaannya, Alan melirik Dewi.
Sebenarnya dia sudah menghubungi asistennya untuk membawa jas baru yang dipesannya khusus dari designer luar negri untuk acara ini juga. Tapi biarlah Dewi yang menentukan apa yang akan dikenakannya pas acara, lusa.
"Apa kamu percaya kalau aku sudah menyiapkan jas untuk jadi saksi nikahan kamu besok?" tanya Alan.
Mau tak mau Dewi menoleh. "Itu kan jas biasa, sementara besok kamu jadi mempelai pria. Kamu harus lebih glamor dari Arman," kata perempuan itu.
Heran juga dia, kenapa tidak ada rasa sakit hati saat menyebut nama mantan pengkhianat itu, barusan. Apa semudah itu dia move on?Nggak nyesek gitu, padahal kan hubungan mereka cukup dalam. Apalagi Arman nikahnya sama adik kandung Dewi sendiri, mereka akan terus ketemu lagi. Hah, sudahlah. Namanya nggak berjodoh ngapain juga meratap lama-lama, pikirnya.
Lebih baik fokus ke Alan. Seingat Dewi, dulu pria ini diketahui pernah dekat dengan seorang perempuan anak bos ditempat dia bekerja sebagai Kepala keamanan. Tapi tidak mendapatkan restu dari si bos, karena diketahui pada akhirnya perempuan itu menikah dengan pilihan orang tuanya dan pindah ke Beijing untuk jadi nyonya muda sebuah keluarga Tiran disana.
Alan pun keluar dari posisinya dan bekerja untuk Ayah Dewi sebagai bodyguard di belakang layar untuk dirinya dan Dita.
Alan tidak bekerja sendirian, dia juga punya anak buah dibawah kepemimpinannya. Bahkan ayah Dewi, Tuan Thamrin tidak bisa mengatur mereka untuk urusan Thamrin grup tanpa persetujuan Alan.
Tiga bulan setelah kepindahan Alan di bawah komando ayah Dewi, kecelakaan itu pun terjadi.
Dewi pernah mengusut apakah itu memang murni kecelakaan atau ada yang mengaturnya, tapi semua jalannya buntu. Meski Dewi lebih percaya kalau kedua orangtuanya dibunuh oleh lawan bisnis serta kolega yang berkhianat, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa sehingga tidak bisa menempuh jalur hukum.
Kejadiannya juga di luar negri sehingga mempersulit penyelidikan ditambah karena yang menabrak ikut meninggal di tempat, makanya tidak ada yang bisa dimintai pertanggung jawaban.
Beruntung Alan membantunya diam-diam sehingga tidak ikut kehilangan nyawa dalam proses mencari bukti-bukti. Kemudian Alan menasehatinya agar fokus menjalankan amanah yang ditinggalkan orang tuanya untuk melanjutkan hidup tanpa dendam.
"Alan, sudah 7 tahun berlalu mantan kekasihmu menikah. Apa kamu tidak punya pacar baru selama ini?" tanya Dewi setelah menghubungi designer pakaian pria.
"Tidak ada." Alan menggelengkan kepalanya. Bibirnya cemberut teringat perempuan pertama yang pernah menawan hatinya itu.
"Nanti kalau ada yang kamu sukai, aku juga akan melepaskan kamu dengan suka rela," lirih Dewi.
Mau tak mau Alan mendongak menatap punggung Dewi, karena perempuan itu duduk membelakanginya sembari memandangi manekin. Jadi dia tidak berniat untuk melanjutkan kejenjang serius, pikir Alan. "Usia kamu sudah cukup umur untuk memiliki anak, apa kamu tidak berniat punya satu? Aku bersedia memberikan benihnya," kata Alan.
Dewi membelalak tak percaya, menoleh ke Alan. Bukankah kalau punya anak bersama hubungan mereka akan jadi serius dan dalam. "Benarkah?" tanyanya.
"Benar, lah!" Alan balas menatap Dewi.
"Baik!" Dewi setuju, Alan menarik ujung bibirnya.
"Kita akan lakukan progam inseminasi. Anakku akan ada kemiripan denganmu, itu bagus juga."
Inseminasi? Bibir Alan yang semula tersenyum samar, tiba-tiba langsung cemberut mendengar kata-kata Dewi barusan.
Apa tubuhku tidak menggoda baginya? Berapa banyak wanita dari kalangan sosialita, ber muslihat mencari alasan untuk melempar diri padanya meski telah ditolak berkali-kali.
"Kamu tampan, Alan. Bahkan lebih tampan dari Arman. Karena itu aku segan mengganggumu, you know!" kata Dewi lagi.
Apa maksudnya? Apakah ini sebuah pengakuan bahwa dia pernah menyukaiku, pikir Alan. "Kenapa takut?" tanyanya.
"Hei!" bantah Dewi takut Alan salah mengartikan.
"Aku dan Arman cinta dari SMA, you know! Tapi penampakan kamu tipe aku, banget. Aku pernah berharap jika Arman seusia kamu waktu itu, akan terlihat macho seperti look kamu. Tapi nyatanya penampilan kamu tetap lebih gagah darinya meski kamu telah berumur, sekarang. Meskipun gak jodoh dengan Arman, saya tidak terlalu kecewa. Karena aku dapat kamu, my type." senyum Dewi mengembang benar-benar tanpa penyesalan.
Cis, Alan mencibir.
Dia pernah berpikir bahwa Dewi telah tidur dengan Arman dengan melihat keakraban mereka. Tapi mengetahui Dita yang hamil dia tepis pikiran itu, sekarang.
Tidak mungkin Dewi yang tegas mau saja tubuhnya dilecehkan sampai ke dalam-dalam. Kalau peluk cium, hari gini pasangan kekasih mana yang tidak melakukannya.
________