"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KESALAHAN DI MASA LALU
S aat mobil melaju kencang menjauh dari bayangan itu, suasana di dalam mobil terasa semakin berat. Zilfi menatap lurus ke depan, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk, tetapi bayangan itu masih membekas kuat di ingatannya. Matanya memancarkan kilatan yang tak akan mudah ia lupakan. Ia ingin sekali bertanya lebih banyak, tapi udara di antara mereka terlalu tegang. Ayah juga terlihat terfokus penuh pada jalan, wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
Setelah beberapa menit dalam kesunyian, Ayah berbicara dengan nada yang lebih lembut, seolah tahu bahwa Zilfi butuh penjelasan. “Zilfi, ada hal yang belum pernah Ayah ceritakan padamu,” ujarnya pelan, suaranya serak karena ketegangan. “Ibumu, apa yang ia rasakan, bukan hanya sekadar ketakutan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang pernah ia alami sebelum kamu lahir.”
Zilfi menoleh dengan cepat, kaget mendengar pengakuan itu. “Sebelum aku lahir? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ayah menarik napas panjang. “Ibumu pernah terlibat dalam sesuatu yang tidak seharusnya, sesuatu yang berbahaya. Sebuah ritual kuno yang dilakukan oleh keluarganya di masa lalu. Dia mengira itu hanya permainan saat muda, tapi ternyata ritual itu membuka pintu yang seharusnya tertutup.”
Zilfi merasa bulu kuduknya berdiri. “Ritual? Apa maksud Ayah?”
“Sebuah panggilan... sesuatu dari dunia lain,” Ayah menjawab dengan suara yang semakin berat. “Dan sejak itu, sesuatu dari sana terus mengikutinya. Sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi. Ketika kamu lahir, Ibumu mulai melihat tanda-tanda bahwa kamu juga terhubung dengan apa yang ia panggil saat itu.”
Zilfi membeku di kursinya. “Terhubung? Apa yang Ayah bicarakan? Aku… aku tidak pernah melakukan apapun!”
“Tapi darah itu ada dalam dirimu, Zilfi. Ibumu yakin bahwa entitas yang mengikutinya kini beralih ke kamu, menjadikannya semakin takut dan waspada. Itulah sebabnya Ibumu selalu cemas, merasa ada yang memburu kita. Dan mungkin, dia tidak sepenuhnya salah.”
Zilfi menggigit bibirnya, pikirannya teraduk-aduk. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidupnya? Bayangan-bayangan yang ia lihat—apakah semua itu nyata? Apa yang dilihat Ibu selama ini, dan apakah Zilfi benar-benar menjadi sasaran dari sesuatu yang tak ia mengerti?
Di tengah kekalutannya, tiba-tiba lampu-lampu mobil kembali berkedip, dan suara mesin terdengar aneh lagi. Mobil melambat dengan sendirinya, dan seolah-olah ada sesuatu yang menahannya.
Zilfi menoleh ke Ayah dengan tatapan penuh ketakutan. "Ayah, kenapa mobilnya melambat lagi?"
Ayah tidak menjawab, tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia juga panik. Dia mencoba menginjak pedal gas, tetapi mobil berhenti total di tengah jalan, sekali lagi dikelilingi oleh gelapnya malam. Angin berhembus pelan di luar, membawa serta bisikan-bisikan yang tak jelas, seolah ada sesuatu yang tak terlihat sedang mengintai dari kegelapan.
Zilfi merasakan sesuatu yang dingin menyelimuti dirinya, seperti sentuhan tak kasat mata yang menembus kulitnya. Dari balik jendela, bayangan itu muncul lagi, kali ini lebih dekat dan lebih jelas. Sosoknya lebih tinggi dari sebelumnya, matanya bersinar lebih terang, seperti bara api yang membara di tengah gelap.
“Ayah, kita harus pergi! Sekarang!” Zilfi menjerit, suaranya pecah karena ketakutan.
Tapi Ayah tak sempat menyalakan mesin kembali. Sosok itu kini berdiri tepat di samping mobil, tangannya terulur, menyentuh kaca jendela dengan pelan namun pasti. Zilfi menatapnya dengan ngeri, tubuhnya kaku, tak mampu bergerak.
Tepat saat sosok itu hendak mendekat lebih jauh, tiba-tiba ada suara yang berbeda—sebuah dentuman keras dari arah depan. Lampu-lampu jalan yang tadinya berpendar suram mendadak padam, dan dalam sekejap, kegelapan total menyelimuti mereka berdua.
Zilfi bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang semakin cepat. Ia tahu, malam ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Sesuatu yang telah lama bersembunyi kini bangkit dan mulai mengejar mereka.