WARNING ⚠️
Mengandung beberapa adegan kekerasan yang mungkin dapat memicu atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26>>Mutilasi
Mutilasi
***
"Hiks ... Aza salah."
"Enggak Azalea."
"Aza bodoh, Aza nggak pantas buat Afka-"
"Sttt, nggak boleh ngomong gitu. Liat, tuh, calon suaminya Aza marah," potong Rafka terkekeh miris saat menyebut calon suami Aza.
Aza menoleh untuk melihat Agraven. Benar saja, mata cowok tersebut seakan-akan ingin keluar dari tempatnya.
"Kakak jangan gitu!" pekik Aza.
"Makanya jangan rendahin diri kamu lagi, Azananta!" tegas Agraven.
"I-iya, nggak lagi," pasrah Aza. Entah kenapa ia langsung menurut.
"Dia lebih baik untuk kamu, Za. Sekarang aku udah yakin buat lepasin kamu," ungkap Rafka.
Aza hanya diam dengan menatap Rafka sendu.
"Jagain Aza. Gue udah relain dia buat, lo. Jangan sia-siakan dia. Kalo sampe itu terjadi ... gue ambil Aza kembali," ungkap Rafka pada Agraven. Agraven hanya bergeming di tempat.
"Semoga bahagia, Azalea Kananta," ungkap Rafka tersenyum. "Gue pergi."
Cup
"SETAN BANGSAT!!
Bughhh
"KAKAK!" teriak Aza kaget.
"Berani-beraninya anda sentuh milik saya!" tekan Agraven. Tangannya mencengkram kerah baju Rafka dengan kuat.
"Rav! Udah, Rav! Biarin aja, lagian nyiumnya di kening, bukan di bi--" Ucapan Galva langsung dipotong.
"Di mana pun itu! Ngerti kata nggak suka?!" Agraven menekankan di setiap katanya.
"Biarin atuh, ini teh untuk yang terkahir kalinya, Rav--"
"PERSETAN UNTUK TERAKHIR KALINYA! GUE NGGAK PEDULI!" marah Agraven. Ia benar-benar murka.
Brukkhh
Tubuh Rafka tersungkur ke lantai akibat dorongan keras dari Agraven. Aza langsung berlutut untuk membantunya berdiri.
Vanna terkejut melihat kejadian itu. Ia menoleh ke arah Galva di sampingnya. "Sahabat gue miris amat," kata Vanna prihatin. "Udah sadboy, nyungsepnya nggak ada keren-kerennya amat ke lantai," lanjutnya sambil menatap Rafka dengan miris tanpa berniat membantu.
Galva yang mendengar itu langsung menoleh. "Sahabat gue memang gitu. Temperamennya sungguh meresahkan. Senggol dikit bacok," bisiknya.
Vanna langsung bergidik. "Ganteng, sih, tapi nyeremin," balasnya.
"A-Afka nggak papa?" tanya Aza dengan bergetar. Ia mendongak untuk menatap Agraven dengan tatapan sedih.
Sial!
Agraven tidak rela melihat tatapan itu dari mata Aza, terlebih lagi untuk membela orang lain.
"Kak Gagak, kan, tau... Aza takut. Aza nggak suka kamu kasar gini ke siapapun. Apalagi ke orang-orang yang Aza sayang!"
"Sayang?" tanya Agraven tajam.
"Iya--"
Brakk
"YA GUSTI!" teriak Galva terkejut saat sofa di sampingnya ditendang dengan keras oleh Agraven.
"Wahai Agraven Kasalvori! Tamperamenmu itu sangat buruk, posesifmu itu kelebihan! Dengerin abang Galva yang ganteng ini. Degem itu belum jadi milikmu, Tuan muda Agraven Kasalvori. Satu lagi, dia sayang sama Rafka itu wajar, dong! Mereka baru aja putus beberapa menit yang lalu karena unsur emm... keterpaksaan dan keadaan, jadi nggak mungkin kalo Degem langsung move--"
"Fuck!" potong Agraven mengumpat.
Galva sangat kesal kepada Agraven karena ucapannya selalu dipotong. Ia ingin sekali menonjok wajah Agraven, tapi hanya bisa ia lampiaskan ke udara.
Aza membantu Rafka berdiri.
"Makasih, Za. Maaf tadi aku cium kamu--"
"Nggak usah dilanjutin!" sela Agraven sewot.
"Sorry." ungkap Rafka terkekeh, lalu menoleh ke arah Aza. "Za, gue pergi dulu. Na! Lo ikut atau mau tetap di sini?" tanya Rafka melihat ke arah Vanna.
"Ikut!" serunya.
"Za, gue cabut dulu. Lo jaga diri baik-baik, jangan sampe sakit, nikah undang gue, jaga calon ponakan gue!" pesan Vanna dengan heboh.
Aza hanya mengangguk, padahal ia tidak mendengarkan apa yang Vanna ucapkan. Seluruh tubuhnya mulai berkeringat dingin, dadanya mulai sesak, rasanya ia sudah mati rasa.
"Bye, Yupi!" Vanna langsung menyusul Rafka yang sudah keluar dari ruangan tersebut.
Setelah Vanna menghilang dari pandangannya, Aza langsung terduduk lemas.
Agraven dan Galva langsung mendekat untuk mendekati Aza.
"Aza trauma liat kekerasan, sedangkan kekerasan adalah bagian dari diri gue," batin Agraven.
"Za ...."
Tidak mendapat jawaban dari Aza, Agraven langsung mengangkat tubuh Aza yang memang sudah lemas.
"Gue pulang," ujar Agraven berniat pamit kepada Galva.
"Pulang? Terus gue?" tanya Galva sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Lo siapa?"
"Amnesia lo, Rav? Gue Galva Alfane sahabat terbaik lo yang paling ganteng," jawab Galva mengulurkan tangannya berniat berkenalan.
"Ck! Bodoh, ya, bodoh aja. Nggak usah bikin gue emosi dan berniat bunuh, lo, saat ini juga, Gal!" desis Agraven menahan kekesalan.
"Lah? Kok bodoh? Kan, lo tadi nanya gue siapa, ya, gue jawab Galva!" balas Galva. Ia merasa dirinya benar, lalu kenapa disalahkan? pikirnya.
Malas meladani perkataan Galva, Agraven langsung pergi dengan membawa Aza.
Agraven melupakan sesuatu, yaitu masker belum ia pakai.
Saat ia ingin menuju parkiran, ia merasa ada yang aneh dengan tatapan yang diberikan orang-orang yang telah ia lewati.
Setelah menyadari sesuatu, baru Agraven merutuki dirinya sendiri.
"Shitt! Lupa," gumamnya saat menyadari dirinya tidak menggunakan masker andalannya.
Sebelum melanjutkan langkahnya, ia merasakan genggaman kuat dari Aza pada lengannya.
Agraven menunduk. dapat ia lihat wajah Aza yang memucat, bibir bergetar, matanya memancarkan tatapan ketakutan yang luar biasa.
Tangan perempuan itu kemudian mencengkram erat baju yang dipakai oleh Agraven, ia kehilangan pikiran jernihnya.
"Agoraphobia biasanya timbul saat penderita memikirkan sesuatu yang pernah ia alami di suatu kondisi yang membuatnya takut atau trauma. Bisa juga ia berada di tempat yang membuatnya takut. Gejala itu akan hilang ketika dia berhenti memikirkan atau pergi dari tempat tersebut."
Perkataan Psikiater Genta kembali teringat oleh Agraven.
"Maaf, Za. Saya tau kamu takut liat kekerasan, tapi kekerasan bagian dari hidup saya," gumam Agraven menatap mata yang terlihat seperti orang bodoh dengan pikiran kosong di gendongannya.
Tanpa diduga, Aza membalas gumamannya. "I really don't like it," lirihnya.
"Yes, I know, Azananta." Setelah mengatakan itu, Agraven melanjutkan jalannya menuju mobilnya yang terparkir.
***
Setelah Aza tertidur, Agraven langsung pergi menuju rumah Kakeknya. Ia akan segera menikahi Aza.
"Lusa?" beo Agraven.
"Iya. Lebih cepat lebih baik, Agra. Dari awal kakek sudah menjelaskannya. Sekarang umur Azalea sudah cukup. Ya, walau cara kamu mendekatinya itu rendahan," balas Alferd melirik sang cucu.
"Ada jalan yang lebih cepat, kenapa ambil jalan yang lebih jauh," kata Agraven sedikit terkekeh.
Alferd langsung melempar koran di tangannya ke wajah Agraven.
"Kakek tau ... tujuan awal kamu menikahinya hanya berniat menjaga dan membalas hal itu, tapi mulai dari sekarang, belajar mencintainya. Bagaimanapun, dia akan menjadi istrimu. Ditambah lagi Aza sekarang mengandung anakmu," pesan Alferd.
Agraven meringis. Ia telah membohongi sang kakek perihal Aza sedang mengandung anaknya.
"Mencintainya, bukan sesuatu yang sulit buat Agra, Kek. Dia wanita pertama yang masuk ke dalam kehidupan Agra, selain Kak Dira." Alferd tersenyum mendengarnya.
"Ingat! Aza jangan sampai tau tujuan awal dan tentang hal itu." Agraven mengangguk ragu.
"Kalau sampai dia tau, kakek pastikan kamu frustasi dan dampaknya beberapa nyawa akan kamu bunuh tanpa adanya alasan," lanjut Alferd terkekeh.
Agraven yang paham hanya tertawa untuk menanggapi.
"Kakek akan mempersiapkan semuanya, kamu tinggal mempersiapkan diri. Oh, iya, kamu yakin dengan keputusan soal keyakinan?"
"Yakin."
"Agama bukan mainan, Agra."
"Iya Agra tau."
"Terpaksa?"
"Enggak."
"Baiklah. Terserah kamu saja, dosamu telah numpuk, Agraven. Segeralah bertobat!" kata Alferd.
"Besok," jawabnya santai.
"Setidaknya setelah menikah, jangan lakukan hal keji itu lagi Agra--"
"Nggak bisa kek. Agra nggak bisa soal itu...."
"Ya udah, Agra pulang. Aza pasti udah bangun," pamit Agraven berdiri, lalu segera pergi dari rumah Kakeknya.
Selama berada di rumah kakeknya, pikiran Agraven tidak sepenuhnya terfokus dengan apa yang kakeknya katakan. Ia masih dikuasai emosi setelah kejadian tadi di kampus.
Mendengar kata sayang dari mulut Aza untuk orang lain, sudah bisa membuat emosinya kembali tersulut.
"Azananta kamu... argghh! Setelah hari ini saya pastikan, kata sayang itu hanya boleh ditunjukkan untuk saya." monolognya. Setelah itu barulah ia menancapkan pedal gas dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia butuh penenang.
Untuk kali ini Agraven ingin bermain-main dengan salah satu targetnya yang beberapa hari ini ia biarkan berkeliaran bebas mencari mangsanya. Maka hari ini waktunya ia yang akan menjadi mangsa.
Agraven segera memberi pesan singkat kepada targetnya kali ini.
Setelah mendapat balasan, ia langsung menuju ke tempat yang sudah dijanjikan untuk bertemu.
Agraven sampai di lokasi, ternyata targetnya sudah menunggunya dengan pakaian yang rapi khas seorang pengusaha sukses. Agraven tersenyum miring.
"Selamat malam, Tuan Agraven Kasalvori," sapa orang itu.
"Malam," jawab Agraven tak berminat.
"Silahkan duduk dulu, kita makan dahulu. Setelah itu baru saya cek bagaimana kondisi rumah yang akan anda jual," ujar orang itu menawarkan kepada Agraven. Mereka sekarang berada di salah satu restoran bintang lima.
"Tidak usah, Pak Ardi. Saya ingin langsung menunjukkan rumah yang ingin saya jual kepada anda," balas Agraven. Ia tidak ingin berlama-lama untuk sekedar berbicara omong kosong dengan orang di depannya.
"Ah, baiklah. Mari kita pergi sekarang," ajak orang bernama Ardi tersebut.
Agraven langsung membawa Ardi ke rumahnya. Mereka membawa mobil masing-masing dengan Agraven di depan sebagai penuntun jalan.
Setelah sampai di rumahnya, Agraven langsung mengajak Ardi masuk. Pria dewasa bernama Ardi tersebut berdecak kagum melihat rumah Agraven yang lebih tepatnya seperti istana.
"Luar biasa rumahnya," gumam Ardi tersenyum miring. Agraven yang melihat senyum miring itu ikut tersenyum miring.
"Ayo!"
Ardi mengikuti langkah Agraven.
"Anda bisa cek seluruh ruangan di rumah ini, kecuali itu," ujar Agraven menunjuk kamarnya yang sedang ada Aza di dalamnya.
"Baik," jawab Ardi. Pria itu langsung menjelajahi rumah Agraven. Melihat itu Agraven tersenyum penuh arti.
"Jalan-jalan dahulu sebelum menempuh perjalanan menuju neraka, Ardi Gumitra," gumamnya.
Agraven menuju dapur untuk mengambil sesuatu yang akan dijadikan alat untuk ia bermain kali ini.
"Pisau dapur, tidak terlalu buruk jika bersentuhan dengan kulit Ardi Gumitra. Blaze sayang sedang tidak mau kotor," monolognya terkekeh.
Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Agraven kembali untuk menemui Ardi.
Tepat saat ia sampai di lantai atas, ia melihat kamarnya terbuka lebar.
Napasnya langsung memburu, tangannya mengepal kuat dengan memegang pisau dapur di tangannya.
"Bastard!" umpat Agraven. Ia langsung menorobos masuk ke dalam kamarnya. Amarahnya langsung membuncah saat ia melihat tangan Ardi sedang membelai wajah wanitanya.
"Damn it!" umpat Agraven lagi. Ia langsung melempar pisau dapur di tangannya ke lengan Ardi. Tepat sasaran.
"Akkhhhh!"
Agraven yang awalnya emosinya memang belum stabil, sekarang justru dipancing lagi oleh Ardi.
"Tutup mulut anda, jangan sampai dia terbangun dan melihat ini," desis Agraven.
Agraven langsung menyeret Ardi yang masih kesakitan akibat luka kecil yang diberikan Agraven di lengannya. Luka kecil? Jelas tidak kecil lagi jika pisau menancap di lengannya.
Agraven benar-benar murka. Mood-nya yang awalnya ingin bermain-main dahulu telah hilang, yang ada dipikirannya sekarang membuat Ardi menyesal karena telah berani menyentuh miliknya.
Agraven langsung membawa Ardi ke dalam ruangannya.
Brakkkk
Tubuh Ardi terbentur sisi meja dengan keras.
Setelah menutup pintu, dengan cepat Agraven mendekati Ardi.
"Niat saya sebelumnya ingin bermain-main terlebih dahulu, tapi karena anda dengan kurang ajar masuk ke kamar saya dan sampai menyentuh milik saya, maka ...."
Jleb
"Aaakkhhhhh!!"
Blaze, pisau lipat milik Agraven menancap sempurna di bahu Ardi.
Sreeekk
Pisau itu kembali ia cabut dengan paksa.
Srrkkk
Detik berikutnya, pisau Agraven kembali tertancap di kulit Ardi. Kali ini di pipi kiri pria itu.
Rasa nyeri, perih sakit bercampur jadi satu.
"ARRRGHHH!" raung Ardi kesakitan. Tangannya baru saja terangkat berniat ingin melepaskan pisau itu, tapi Agraven lebih dulu memitingnnya hingga retakan tulang terdengar.
Kreek
"ΑΑΑΚΚΚΗΗH! ANJING!"
BUGHHHHH
Tubuh Ardi dibanting oleh Agraven ke dinding.
Hap
"AAKHHHH SAKIIT!!" teriak Ardi saat Agraven menarik paksa pisau yang tadi menancap di pipinya.
"A-apa--"
Jleb
"Tutup mulut anda!" desis Agraven setelah menancapkan pisau dapur ke mulut Ardi.
Darah seger langsung mengalir dari mulut Ardi. Pisau dapur itu mungkin sampai menembus kerongkongannya.
Agraven mulai brutal. Pisau dapur masih tertancap di mulut Ardi, sedangkan blaze sedang diarahkannya ke jantung Ardi. Agraven tertawa sarkas melihat wajah kesakitan orang di depannya.
"Still wanna play with mine?"
"No ...."
"Now it's time to play with me," lanjut Agraven tersenyum menyeramkan.
Jlebbb
Blaze menancap dengan indah di dada Ardi. Laki-laki itu tercekat, napasnya sudah tidak beraturan. Hidupnya sudah diambang kematian, tapi Agraven belum berhenti bermain.
Lagi, Agraven mulai mencabik-cabik organ vital di perut Ardi dengan brutal. "Ginjalnya aturan saya jual," gumam Agraven. "Banyak yang lebih membutuhkan," lanjutnya tertawa sarkas.
Tubuh Ardi yang 35% sudah hancur ia dudukkan di salah satu kursi, lalu ia ikat dengan kuat.
Sebelumnya ia tidak pernah mengikat korbannya, tetapi kali ini ia ingin menikmatinya. Padahal targetnya saat ini sudah tidak bernyawa.
Amarahnya kepada Rafka yang masih tersiksa, ia lampiaskan kepada pria yang sedang terikat di depannya.
"Anda sudah buat kesalahan yang besar, wahai Ardi penipu," ketus Agraven. Ia berjalan menuju lemari tempat ia menyimpan semua senjatanya.
Tatapannya jatuh ke satu suntikan dan gergaji.
Setelah itu Agraven kembali mendekat ke arah Ardi yang matanya sudah tertutup rapat.
Agraven mengarahkan satu suntikan ke jari telunjuk Ardi. Cairan itu bukan cairan biasa, tetapi cairan itu bisa membuat sensasi seluruh tubuh Ardi terasa terbakar beberapa detik setelah Agraven suntikan.
"ini karena tangan sialan anda sudah menyentuh wajah cantik Aza yang hanya milik saya," desisnya.
"Finally ...." Agraven menyeringai.
Gergaji yang ia pegang ia arahkan ke leher Ardi. Beberapa detik berikutnya, kepala Ardi terpisah dengan tubuhnya.
"ARRRGGGGHH!! BELUM PUAS!"
Tok tok tok
Pintu diketuk seseorang. Agraven langsung berdecak kesal. Siapa lagi yang mengganggunya? Ia bersumpah jika itu Galva atau ART di rumahnya, maka ia akan mengajaknya bermain sedikit. Ia masih butuh melampiaskan amarahnya.
Minimal, menghilangkan satu biji matanya.
Tok tok tok
Agraven meninggalkan mayat Ardi begitu saja. Ia tidak peduli dengan darah yang ada di bajunya. Karena ketukan pintu itu seperti menuntut.
Dengan kesal ia berjalan untuk membuka pintu.
Cklkk
Setelah pintu terbuka, Agraven langsung melihat siapa si pengetuk.
Deg
To be continue