"Kita sudah ditakdirkan untuk bertemu. Kamu adalah milikku. Kita akan bersatu selamanya. Maukah kamu menjadi ratu dan permaisuri ku, Lia?" ucap Mahesa.
Dia di lamar oleh Mahesa. Pemuda tampan itu dari bangsa jin. Seorang pangeran dari negeri tak terlihat.
Bagimana ini...?
Apa yang harus Lia lakukan...?
Apakah dia mesti menerima lamaran Mahesa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minaaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter.31 Hubungan yang Rumit
Rendi tersenyum mendengar jawaban Iteung. "Kalau aku bilang aku mencintaimu, apa kamu akan menerima nya?", tanya Rendi lagi.
Mata Iteung mendelik mendengar ungkapan perasaan hati dari anak majikannya itu.
Tenggorokan Iteung tercekat. Lidah nya terasa kering.
Iteung terdiam sesaat setelah mendengar ungkapan pemuda yang merupakan anak bos tempat dia bekerja selama ini.
"Iteung,...kamu kok diam? Apa aku salah ya?", ucap Rendi.
Iteung menggeleng lalu berucap. "Mas Rendi pasti bergurau. Atau mungkin juga mas Rendi mengigau. Sudahlah,... lebih baik sekarang mas istirahat saja", ucap Iteung yang merasa jika apa yang diucapkan oleh Rendi tidaklah serius.
"Iteung,... aku serius. Aku tidak main - main dengan perasaan ku. Bukan baru pertama ini aku merasakan jatuh cinta padamu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak awal bertemu. Tapi aku selalu tak punya keberanian untuk mengungkapkan nya padamu. Namun hari ini aku bertekad untuk mengungkapkan perasaan ku padamu. Aku takut kalau aku tidak punya kesempatan untuk mengatakannya", ujar Rendi.
Rendi meraih jemari tangan Iteung dan menggenggamnya.
Sesaat Iteung merasa terkejut dengan apa yang di perbuat Bukan lantaran apa yang dilakukan oleh pemuda itu melainkan dengan apa yang dia rasakan. Tangan Rendi begitu dingin.
"Mas,....tangan kamu dingin.. Apa kamu merasa kedinginan?", tanya Iteung.
Rendi hanya tersenyum menatap wajah Iteung. Pemuda itu terlihat lemah tak berdaya. Dan wajahnya semakin pucat saja.
"Iya, makanya genggam tangan ku, Teung, biar nggak kedinginan", ucap Rendi.
Iteung sedikit ragu menggenggam tangan Rendi. Akan tetapi dia berusaha untuk menepis rasa ragu itu. Iteung menggenggam jemari tangan Rendi.
Rendi tersenyum bahagia ketika Iteung menggenggam jemari nya.
"Sekarang, ...jawab pertanyaan ku, Iteung. Apakah kamu juga mencintai ku?",
Iteung menatap wajah Rendi sebelum menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Mas,.. Aku tak memungkiri jika aku juga merasakan seperti yang mas Rendi rasakan. Tapi aku cukup tahu diri. Aku sadar diri mas, kita itu berbeda. Aku anak orang tak punya. Jadi amat sulit bagi kita untuk bersama. Buang jauh-jauh perasaan itu, karena itu tak tak mungkin", ucap Iteung dengan suara lirih.
"Teung,... jangan seperti ini. Aku akan bilang pada bapak, Teung. Aku akan mencoba membujuk bapak agar mau menerima kamu sebagai menantu nya ", ucap Rendi. Pemuda itu terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapan nya. Matanya penuh harap pada Iteung. Namun Iteung paham sekali akan posisinya. Iteung tak pernah bermimpi sekali pun untuk menjadi menantu Pak Dia sadar, perbedaan itu terlalu tinggi untuk dia raih.
Iteung tak sanggup berkata apa-apa lagi. Dia memilih diam karena tak ingin membahas tentang hal itu lagi. Namun dia tetap pada pendiriannya, bahwa dia bukanlah apa - apa bagi Rendi dan tidak akan pernah menjadi apa - apa.
Siang hari nya, Lia mengantarkan makanan untuk Iteung. Gadis itu langsung masuk ke kamar Rendi dan melihat temannya itu sedang duduk menunggui Rendi yang sedang tertidur di ranjang pasien.
Lia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Tadi ketika memasuki kamar ini, dia merasakan hawa ganjil yang menyergap dirinya. Namun dia mengabaikan hal itu karena tidak ingin membebani Iteung.
Lia mengamati Rendi yang tengah terlelap tidur.
"Bagaimana kondisi mas Rendi sekarang Teung?", tanya Lia.
"Ya begitulah, dia sejak tadi bolak balik tidur seharian. Kata dokter sih itu adalah efek dari benturan yang sangat keras di kepala mas Rendi dan juga efek obat dosis tinggi yang dokter berikan ", ucap Iteung.
"Terus, kondisi mbak Nah bagaimana?" Iteung balik bertanya.
"Sama saja,... masih belum sadarkan diri juga. Kata dokter, karena benturan yang amat keras, Mbak Nah juga mengalami hal yang sama seperti Rendi. Hanya saja, mas Rendi masih sadar sedangkan mbak Nah sampai saat ini masih belum sadar", jawab Lia.
"Kasian sekali nasib mbak Nah", ujar Iteung.
"Iya,... aku merasa prihatin. Tapi aku nggak bisa ngapa-ngapain".
Lia merasa sedih memikirkan nasib Enah. Dia berdoa semoga saja Enah cepat sadar kembali.
"Teung,... kamu makan dulu!", ujar Lia sembari menyodorkan sebungkus nasi kepada Iteung.
Iteung menerima nasi tersebut dengan perasaan tidak enak.
"Makasih, Lia. Aku jadi nggak enak.. Kamu terus yang beli makan. Nanti sore gantian aku yang beli nasi", ujar Iteung.
"Nggak usah di pikirin. Aman aja itu. Tapi ngomong - ngomong, nanti malam kita tidur di mana?", tanya Lia.
"Eh, iya juga ya? Kita tidur di mana? Lagian kita juga nggak bawa baju ganti ", ujar Iteung.
"Kita gantian aja pulang, mandi dan ambil baju ganti", ucap Lia.
"Hahh, repot.! Gini aja, gimana kalau aku yang pulang ambil baju ganti dan sekalian bawa tikar untuk alas kita tidur nanti malam?" tanya Iteung.
"Nah,...itu baru cocok. Kamu pulang dulu lalu balik lagi ke sini bawa baju ganti. Oh iya Teung, jangan lupa bawa selimut untuk kita nanti malam. Aku nggak kuat, AC nya terlalu dingin ", ucap Lia.
"Ya udah, kalo gitu aku pulang dulu. Mana kunci kamar kamu?",
Lia memberikan kunci kamar nya pada Iteung lalu setelah itu mereka berdua makan.
Setelah selesai makan, Iteung pulang ke mes untuk mengambil baju ganti dan selimut serta tikar.
Iteung menitipkan Rendi padanya. Sedangkan Enah di tungguin oleh rekan kerja mereka yang lain yang kebetulan datang menengok Enah. Jadi Lia bisa meninggalkan wanita itu.
Lia sedang melihat Rendi yang sedang tertidur lelap.
"Apa yang terjadi dengan ku saat ini?", pikir Lia pada dirinya sendiri.
Dia pergi meninggalkan kampung halaman nya demi menghindar dari kekejaman ibu tirinya dan saudara nya yang lain.
Namun yang terjadi justru dia harus berhadapan dengan majikannya yang pemuja iblis demi nafsu ilahi. Lia merasa sedih dan juga nelangsa.
"Ada apa sayang?", tanya Mahesa yang muncul secara tiba-tiba dan langsung memeluk dan melabuhkan ciuman mesra di bibir Lia.
Lia perlahan melepas pelukan Mahesa. Dia merasa sangat tidak nyaman saat ini. Sedih juga saat memikirkan tentang dirinya yang berada di rumah sakit ini.
"Tidak apa-apa, kanda", jawab Lia lirih.
Dia tak ingin terlihat aneh, berbicara sendiri sementara orang - orang akan melihat aneh Karena selain dirinya tak ada yang bisa melihat Mahesa kecuali orang yang memiliki anugerah atau indra ke enam.
Mahesa terlihat menarik napas dalam-dalam sebelum berucap. Dia tahu apa yang ada di pikiran sang istri. "Dinda,... ada yang ingin kanda tunjukan pada mu sebelum aku pergi."
Lia tertegun dan menoleh. "hmm, kanda ingin pergi, pergi ke mana?" tanya Lia heran.
Nah, apa yang ingin Mahesa katakan, dan akan kemana Mahesa pergi??