Hasna Sandika Rayadinata mahasiswa 22 tahun tingkat akhir yang tengah berjuang menyelesaikan skripsinya harus dihadapkan dengan dosen pembimbing yang terkenal sulit dihadapi. Radian Nareen Dwilaga seorang dosen muda 29 tahun yang tampan namun terkenal killer lah yang menjadi pembimbing skripsi dari Hasna.
" Jangan harap kamu bisa menyelesaikan skripsi mu tepat waktu jika kau tidak melakukan dengan baik."
" Aku akan membuat mu jatuh hati padaku agar skripsi ku segera selesai."
Keinginan Hasna untuk segera menyelesaikan skripsi tepat waktu membuatnya menyusun rencana untuk mengambil hati sang dosen killer. Bukan tanpa alasan ia ingin segera lulus, semua itu karena dia ingin segera pergi dari rumah yang bukan lagi surga baginya dan lebih terasa seperti neraka.
Akankan Hasna berhasil menggambil hati sang dosen killer?
Atau malah Hansa yang terpaut hatinya terlebih dulu oleh sang dosen?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MHDK 29. Kok Kesel Ya, Kok Marah Ya?
Keesokan harinya Hasna terlihat begitu ceria. Sekar bisa melihat dari raut wajah gadis berusia 22 tahun itu.
" Sepertinya senang sekali."
" Eh bunda, hehehe."
Meskipun Hasna tidak menjelaskan apa pun tapi Sekar sudah cukup paham dengan apa yang terjadi. Berbaikan dengan sang papa membuat Hasna sangat bahagia.
Kring ....
Suara ponsel milik Hasna berbunyi. Ia pun segera mengangkatnya namun ia terlebih dulu meminta izin kepada Sekar. Sekar pun mengangguk tapi ibu empat anak itu menajamkan pendengarannya.
" Hallo mas ada apa?"
" Has, bisakah kita bertemu?"
" Sekarang mas?"
" Iya sekarang, kita ketemu di kafe ya."
" Oh oke mas."
Hasna segera masuk ke kamarnya dan bersiap untuk menemui sang penelpon. 30 menit berlalu, Hasna keluar dengan tampilan yang sudah rapi.
" Bund, Hasna ijin keluar sebentar ya. Mau nemuin temen."
" Oke hati hati sayang."
Hasna mencium punggung tangan Sekar dan berlari keluar.
" Eh, Kak Hasna mau kemana tuh bund?"
Jani yang baru saja turun dari kamarnya sedikit heran melihat Hasna yang terlihat terburu buru.
" Eh, bunda kok jadi salfok. Sejak kapan manggil Hasna jadi kak."
Jani menyengir memperlihatkan deretan gigi giginya yang putih dan rapi. Gadis itu pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
" Sejak tadi."
" Kenapa?"
" Entah, dari segi umur kan memang tua an kak Hasna. Terus bentar lagi bakalan nikah juga sama Kak Radi. Jadi pas aja kayaknya manggil Kak Hasna. Bang Andra yang usianya nggak terlalu jauh dengan Kak Silvya juga manggil kakak ke Kak Silvya."
Sekar tersenyum mendengar penjelasan sang putri bungsu. Meskipun kerap bertindak sembarangan namun putrinya itu cukup bijak menanggapi sesuatu.
" Oh iya kemana Kak Hasna, bunda belum jawab."
" Eh iya lupa. Itu katanya mau ketemu temennya tapi kok tadi pas ngobrol Hasna jawabnya mas. Apa mau ketemuan sama laki laki ya?"
Brak ...
Jani langsung menggebrak meja membuat Sekar terjingkat kaget.
" Jani kenapa sih, bikin bunda kaget, bisa jantungan nih bunda."
" Eh ... Maaf bund. Jani reflek. Apa yang dimaksud temen Kak Hasna itu temen cowok ya bund . Wah jangan jangan ada yang mau nikung Kak Radi lagi bund. Katanya kan kalau orang mau nikah ada aja godaannya."
Mendengar analisa sang putri, Sekar seketika berlari ke kamar untuk mengambil ponselnya dan menelpon Radi. Ia merasa ucapan putrinya ada benarnya.
" Halo kak?"
" Iya bund ada apa?"
" Kakak di mana?"
" Baru aja masuk mobil mau ke kampus."
" Bisa nggak kalo nggak ke kampus?"
" Ada rapat penting bund, ayah yang ngasih tahu Radi semalam."
" Silahkan ke kampus, kalau kamu mau calon istrimu diambil pria lain."
Glek ...
Radi menelan saliva nya dengan kasar. Entah apa maksud sang bunda tapi ancaman tersebut sukses membuat Radi kelabakan.
" Maksud bunda apa? Memang Hasna nya kemana bund?"
" Nggak tahu habis dapat telpon Hasna langsung lari ke luar. Mana dandan lagi."
Tiba tiba ada kemelut di hati Radi. Membayangkan Hasna berdandan cantik dan bertemu dengan seorang pria membuat dada Radi seperti tersulut api.
Ia pun segera mematikan sambungan teleponnya dengan sang bunda dan langsung menghubungi Hasna.
" Hallo Has, kamu di mana?"
" Di angkot pak eh kak."
" Mau kemana?"
" Mau ke kafe tadi mas Dipta telepon minta aku datang ke sana."
Tutttt
Radi memutuskan panggilan secara sepihak. Di seberang sana Hasna bersungut-sungut mengenai kelakuan Radi yang sesuka sediri.
" Huh, dasar pria kaku dingin. Kayak batu es dalam freezer aja, awet kaku dan dinginnya."
Sedangkan di mobil Radi mencengkeram stir kemudinya dengan erat. Percikan api di dadanya berubah menjadi membara.
" Hufh ... Hufh ... Hufh ... Kok kesel ya. Kok marah ya."
Tanpa pikir panjang Radi pun langsung bergegas menuju kafe milik Dipta.
"Jam baru menunjukkan pukul 07.00 pastilah di Kafe masih sepi. Terus mau ngapain Dipta manggil Hasna," Radi bergumam selama berkendara. Pikirannya dipenuhi hal hal yang tidak karuan.
🍀🍀🍀
Angkot yang Hasna tumpangi berhenti tepat di depan kafe. Ia pun turun dan berjalan masuk dengan perlahan ke dalam kafe tempat biasa ia bekerja itu.
" Kok sepi ya, masih jam segini sih. Anak anak datang biasanya jan 9 nan. Terus mas Dipta ngapain manggil aku ke sini ya."
Dengan banyak pertanyaan yang memenuhi otaknya Hasna tetap mantab untuk masuk ke dalam kafe.
" Has, kamu sudah sampai?"
" I-iya mas. Baru saja."
Dipta hendak meraih tangan Hasna namun Hasna bergeming. Ia tidak menyambut tangan Dipta. Hasna terus masuk tanpa memedulikan Dipta.
Hasna sedikit terkejut di indoor kafe tersebut banyak sekali lilin yang dinyalakan. Dan di tempat biasanya terdapat live band untuk menghibur para tamu ada sebuah buket mawar merah yang besar. Dipta membimbing Hasna untuk menuju panggung tersebut.
" Mas, ini ada apa sebenarnya."
Dipta tidak menjawab pertanyaan Hasna pria itu mengambil sebuah buket mawar dan menyerahkannya kepada gadis yang ia sukai yang tengah berdiri di depannya itu. Hasna bingung, ia ragu untuk menerima buket mawar tersebut.
" Has, terimalah dulu. Setelah itu aku akan mengatakan sesuatu padamu."
Hasna pun dengan ragu menerima buket bunga mawar tersebut. Saat sudah di tangan Hasna, Dipta mulai mengatakan isi hatinya.
" Hasna Sandika, sudah lama aku ingin mengatakan ini. Tapi aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya. Hasna aku sudah menyukai sejak kamu datang kesini untuk bekerja. Awalnya aku begitu simpati dengan kegigihan mu bekerja tapi lambat laun rasa simpati itu berubah menjadi suka dan berkembang menjadi cinta. Hasna, apakah kamu mau menerima cintaku?"
Hasna membuka mulutnya lebar. Ia sungguh terkejut mendapatkan pengakuan cinta dari sang bos yang selama ini begitu baik pada nya. Namun seketika Hasna berpikir, apa mungkin kebaikan Dipta selama ini adalah karena pria itu menyukainya. Hasna langsung menggelengkan kepalanya. Ia jelas tahu bahwa ia tidak bisa menerima Dipta. Bukan hanya karena perjodohan itu, tapi Hasna memang tidak pernah mempunyai rasa apapun terhadap Dipta selain hubungan bos dan karyawan.
" Maaf mas, selama ini saya menganggap mas Dipta itu sebagi bos saya tidak lebih."
Dipta membuang nafasnya kasar. Jawaban Hasna tentu saja merupakan sebuah penolakan.
" Apakah tidak ada lagi celah untukku masuk ke hati mu Has. Apakah tidak lagi ada kesempatan untuk ku Has."
Hasna mengambil nafasnya dalam dalam dan membuang perlahan.
" Maaf mas ... Maafkan saya."
" Kenapa Has ..."
Dipta masih berusaha untuk meminta penjelasan dari Hasna hingga terdengar sebuah langkah kaki mendekat dan suara baritone melengking begitu keras membahana di ruangan kafe sepi itu muncul.
" Karena Hasna adalah calon istriku!"
TBC