Terjebak dalam kesalahpahaman di masa lalu, menyebabkan Lauren dan Ethan seperti tengah bermain kejar-kejaran di beberapa tahun hidup mereka. Lauren yang mengira dirinya begitu dibenci Ethan, dan Ethan yang sedari dulu hingga kini tak mengerti akan perasaannya terhadap Lauren. Berbagai macam cara Lauren usahakan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu, namun berbagai macam cara pula Ethan menghindari itu semua. Hingga sampai pada kejadian-kejadian yang membuat kedua orang itu akhirnya saling mengetahui kebenaran akan kesalahpahaman mereka selama ini.
“Lo bakal balik kan?” Ethan Arkananta.
“Ke mana pun gue pergi, gue bakal tetap balik ke lo.” Lauren Winata.
Bagaimana lika-liku kisah kejar-kejaran Lauren dan Ethan? Apakah pada akhirnya mereka akan bersama? Apakah ada kisah lain yang mengiringi kisah kejar-kejaran mereka?
Mari ikuti cerita ini untuk menjawab rasa penasaran kalian. Selamat membaca dan menikmati. Jangan lupa subscribe untuk tahu setiap kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Choi Jaeyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi Bersama
“Abis ini kita ngapain?” tanya Lauren setelah meminum ice matcha miliknya, tak lupa pula dia memakan nachos yang sebelumnya dipesankan Ethan untuknya. “Kita nggak cuma milih desain ini doang kan?”
Ethan menganggukkan kepalanya. “Abis ini kita pergi cari referensi.”
Mendengar pernyataan laki-laki itu, Lauren mengernyitkan dahinya bingung. Pergi mencari referensi ke mana lagi? Bukankah mereka sudah berada di sini untuk melakukan hal itu? Atau mereka akan pergi mencari tempat lain lagi?
“Kita bakal pergi ke tempat lain buat cari referensi,” jawab Ethan seakan-akan menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang bersarang di kepala Lauren. “Ke bukit bintang puncak moko.”
Baru saja Lauren ingin membuka mulutnya untuk bertanya ke mana mereka akan pergi, rupanya dia kalah cepat Ethan. Tetapi dia tak terkejut dengan kecepatan respon laki-laki itu, karena dia sendiri memang tahu kalau Ethan itu ibaratnya mempunyai jaringan 5G. Merespon segala hal dengan begitu cepat.
Hanya saja dia terkejut akan hal yang baru saja laki-laki itu ucapkan, pergi ke bukit bintang puncak moko. Lauren tahu tempat tersebut, sangat tahu.
Tempat itu adalah salah satu bukit yang ada di kota Bandung, menyediakan pemandangan yang indah tentunya dari atas bukit. Namun untuk dapat melihat pemandangan indah itu mereka harus bermalam di sana, karena di malam hari lah pemandangan itu baru bisa dilihat. Sebab itulah Lauren terkejut akan ucapan Ethan, apakah laki-laki itu sudah sangat yakin pergi ke tempat tersebut?
Bagaimana mereka harus bermalam?
Perlengkapan saja Lauren tidak membawanya saat ini. Belum lagi dia harus meminta izin dengan Gevan secara tiba-tiba, dan Lauren sedikit tidak yakin dia akan diizinkan untuk pergi.
Oh ya Tuhan, Lauren hanya bisa berisik di dalam kepalanya tanpa berani membantah atau sekedar mempertanyakan keputusan laki-laki yang di hadapannya sekarang.
“Lo nggak usah khawatir. Semua yang lo pikirin udah gue atasin.”
“Dih, kayak cenayang aja lo,” ucap Lauren sinis. Jangan bilang kalau Ethan sebenarnya bisa membaca pikiran seseorang. Oh tidak, membayangkannya saja sudah membuat Lauren bergidik ngeri.
Ethan kembali mengedikkan kedua bahunya. “Itu pun kalo lo mau ikut. Kalo nggak, ya syukur.”
“Mulai,” sahut Lauren seraya memutar bola matanya malas. “Udah pasti lah gue ikut. Sebagai manusia yang bertanggungjawab akan tugasnya, gue nggak mau ketinggalan apa pun terkait dengan pengerjaan proyek.”
Sembari gadis itu mengoceh, Ethan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan.
“Tapi ada yang pengen gue pastiin dari lo. Meski pun lo bilang udah ngatasin semuanya.”
“Silahkan.”
“Kita bakal bermalam di sana?”
“Menurut lo?”
Seketika Lauren mendengus kesal. Sepertinya untuk pertanyaan yang pertama tadi tak patut dipertanyakan, sebab jawabannya sudah diketahui. Baiklah, pertanyaan ulang. “Gimana sama barang-barang, terutama barang perlengkapan gue. Gue cuma bawa baju yang sekarang gue pakai, dan beberapa barang doang di tas ini,” ucap gadis itu seraya memperlihatkan tas kecil yang dia maksud. “Kalo pun kita harus pulang ke rumah buat ngambil barang, nggak sempat kan? Di mana-mana jalanan macet.”
“Gue udah bawa barang-barang yang nantinya bakal kita butuhin di sana,” jawab Ethan dengan nada acuh tak acuh. “Dan untuk perlengkapan lo. Kita mampir ke mall nanti, beli semua barang yang lo perlu.”
Lagi. Lauren melongo dengan jawaban Ethan. Dia hampir tak bisa berkata-kata, hanya saja ada satu hal lagi yang perlu Lauren pastikan. “Satu lagi. Perihal izin, gue nggak yakin kalo gue diizinin bokap gue. Secara gue minta izin perginya mendadak begini.”
“Lo udah dapat izin dari om Gevan dan gue langsung yang minta izin.”
“Hah? Kok bisa?” tanya Lauren dengan nada sedikit meninggi. Untung saja saat ini hanya ada mereka berdua di rooftop, jadi tidak masalah jika mereka seakan-akan tengah bertengkar layaknya sepasang kekasih. “Kapan lo minta izin ke bokap gue?”
Ethan tak langsung menjawab, tatapannya menerawang ke atas seperti sedang memikirkan sesuatu.
Hal itu tentu saja membuat Lauren semakin penasaran, dia sangat kesal karena tiba-tiba Ethan bertingkah seperti itu di hadapannya. “Gue nanya ege, cepetan jawab elah,” desak gadis itu tak sabaran.
“Pagi tadi waktu gue lari pagi. Kebetulan gue ketemu om Gevan di taman komplek, kayaknya juga lagi lari pagi.”
Oke. Baiklah. Kali ini Lauren benar-benar tak mampu lagi berkata-kata. Dia sudah sangat lelah dengan rasa terkejutnya yang berkali-kali akibat ulah Ethan kali ini. Lauren sungguh tak menyangka. Setelah sekian lama dia akhirnya bisa benar-benar berhadapan dengan Ethan, tapi nyatanya seperti ini.
Laki-laki itu memang sangat seenaknya sendiri, mengambil keputusan sendiri tanpa menunggu persetujuan dari orang lain. Namun kali ini, Ethan sangat-sangat keterlaluan. Sekarang bukan hanya Nathan yang selalu ingin dia cekik, tapi sekarang bertambah satu orang lagi, yaitu saudara kembarnya, Ethan.
...*****...
Benar saja seperti apa yang dikatakan Ethan, laki-laki itu sudah mempersiapkan barang-barang yang akan mereka butuhkan saat bermalam di bukit bintang puncak moko. Barang seperti meja kursi khusus untuk camping, kompor gas kecil, tikar, selimut kecil, sleeping bag dan barang lainnya.
Semua barang itu rupanya sudah Ethan letakkan di bagasi mobil, hanya saja anehnya Lauren tidak menyadari hal itu saat memasuki mobil.
Jadi setelah mereka selesai berbelanja barang perlengkapan untuknya di salah satu pusat perbelanjaan, gadis itu sangat terkejut saat Ethan membuka bagasi mobilnya. Ternyata laki-laki itu sudah mempersiapkan segalanya tanpa sepengetahuan dirinya.
“Dari semua persiapan lo ini, kenapa lo nggak ngasih tau gue lebih dulu sih. Seenggaknya gue bisa nyiapin barang gue sendiri, tanpa harus beli yang baru,” Lauren mengoceh seraya membantu Ethan menyusun barang-barang di dalam bagasi. “Kan jadi buang-buang duit begini.”
“Gue mendadak aja pengen pergi ke bukit bintang, jadi gue dadakan juga nyiapin ini semua.”
“Ya walaupun dadakan, lo tetap harus ngabarin gue Than.”
“Gue lupa.”
Refleks Lauren memutar bola matanya malas setelah mendengar jawaban dari laki-laki di sampingnya itu.
“Barang buat lo beneran udah lengkap semua kan?”
Dengan cepat Lauren menganggukkan kepalanya. “Aman,” namun saat melihat barang yang dibawa Ethan, gadis itu mengernyitkan dahinya. “Kok lo nggak bawa tenda buat camping nanti?”
“Ya males aja. Kan di sana ada tempat penyewaan barang buat camping.”
“Trus kalo gitu, kenapa lo repot-repot bawa semua barang ini?”
“Buat persiapan aja sih,” setelah selesai merapikan barang di bagasi, Ethan pun segerap menutup pintu belakang mobil. “Udah lah, nggak usah banyak tanya lagi. Cepetan masuk mobil, biar kita cepat berangkat.”
“Iya deh, iya,” jawab Lauren sedikit malas. “Ini serius, lo nggak mau gantian nyetir? Lo udah dari tadi loh nyetir,” lanjut gadis itu setelah masuk ke dalam mobil.
“Santai aja, gue masih sanggup kok nyetir,” Ethan pun juga sudah masuk ke dalam mobil, lalu meraih seatbelt untuk dipasangkan di tubuhnya. “Lagian gue nggak mau beresiko kalo lo nyetir, yang ada mobil gue kenapa-kenapa.”
“Sialan, malah ngeremehin,” Lauren tersenyum miring, tak terima dengan ucapan laki-laki yang entah sejak kapan mulai bersikap menyebalkan itu. “Tapi gue serius Ethan. Kalo lo mau gantian nyetir, bilang aja ke gue.”
Setelah itu hanya ada gumaman dari Ethan, pertanda laki-laki itu mengiyakan permintaan Lauren. Tak lama kemudian Ethan pun mulai menjalankan mobilnya membelah jalanan kota Bandung yang senantiasa masih dalam kemacetan.