Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang Bersama
Di asramanya, Belle masih sibuk mencari tiket ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Draven muncul di layar, dan Belle langsung menjawabnya.
“Draven?” sapanya, suaranya terdengar lelah.
“Aku sudah mengurus tiket untukmu,” kata Draven tanpa basa-basi. “Ada penerbangan yang bisa kau naiki besok pagi. Semua sudah diatur.”
Belle terkejut. "Kau... kau benar-benar melakukannya?"
"Ya," jawab Draven dengan tenang. "Kau bilang ingin pulang secepat mungkin, jadi kupikir aku bisa membantu."
Belle terdiam sejenak, merasa lega sekaligus tersentuh. "Terima kasih, Draven. Aku... aku tidak tahu harus berkata apa."
"Kau tak perlu berkata apa-apa. Pastikan saja kau bisa segera pulang dan menjaga ibumu," jawab Draven lembut.
Perasaan Belle campur aduk, antara terharu dan terbebani karena bantuan tak terduga dari Draven. "Terima kasih banyak. Aku benar-benar berutang budi padamu."
"Tidak usah dipikirkan, Belle. Aku hanya ingin memastikan kau bisa melakukan apa yang perlu kau lakukan," kata Draven. "Kalau ada yang bisa kubantu lagi, jangan ragu menghubungiku."
"Baik," Belle mengangguk, meski tahu Draven tak bisa melihatnya. "Aku akan mengabari jika sudah siap."
Setelah menutup telepon, Belle menatap ponselnya sejenak, merasa bingung sekaligus terharu oleh perhatian Draven. Di balik sikap tenangnya, ada kebaikan yang Belle tak pernah sangka akan ia temukan dalam diri pria itu.
***
Keesokan paginya, Draven duduk di kamar hotel, pikirannya terus terpaut pada Belle dan penerbangan yang telah ia atur untuknya. Sebuah ide melintas di benaknya kenapa ia tidak ikut pulang ke Indonesia juga? Lagipula, ia bisa membantu Belle sepanjang perjalanan, dan kesempatan untuk mengenal Belle lebih jauh tampak terlalu menarik untuk dilewatkan.
Draven segera bangkit dan berjalan menuju ruang tamu kecil di suite hotel, di mana Nathan dan beberapa teman lainnya sedang bersantai. Mereka tampak menikmati hari terakhir liburan mereka sebelum kembali ke rutinitas masing-masing.
“Nathan, aku ada rencana,” kata Draven tiba-tiba.
Nathan menoleh, keningnya berkerut. “Rencana apa lagi? Bukannya kau sudah membantu Belle?”
“Aku berpikir untuk ikut pulang ke Indonesia besok, di penerbangan yang sama dengan Belle.”
Nathan menyipitkan matanya, sedikit terkejut tapi juga tertawa kecil. “Kau benar-benar tertarik pada gadis itu, ya? Tapi bagaimana dengan liburan kita? Kita masih punya beberapa hari di sini.”
Draven tersenyum, sedikit merasa bersalah. “Aku tahu, tapi aku merasa lebih baik jika aku ada di sana saat Belle pulang. Dia akan sendirian, dan dengan kondisi ibunya yang sakit, kupikir dia butuh dukungan.”
Nathan berpikir sejenak, kemudian mengangkat bahu. “Kalau begitu, ayo kita pulang. Lagipula, aku juga mulai bosan di sini.”
Teman-teman lainnya mulai saling bertukar pandang, tetapi tak ada yang keberatan. Meskipun mereka sedang menikmati waktu di Manchester, ide untuk kembali lebih awal ke Indonesia tidak terlalu buruk, terutama jika itu membantu Draven.
“Baiklah,” kata Nathan akhirnya. “Kita ikut pulang denganmu. Aku akan mulai mengurus tiket untuk kita.”
Draven tersenyum lebar. “Terima kasih, teman-teman. Aku tahu ini mendadak, tapi aku benar-benar menghargai kalian.”
***
Di asrama, Belle sibuk mengepak barang-barangnya. Malam itu ia hampir tak bisa tidur, memikirkan ibunya yang sakit dan bagaimana perasaan ibunya saat melihatnya pulang. Telepon dari asisten rumah tangga mereka tadi malam sedikit menenangkannya, tetapi kekhawatirannya tetap tak bisa dihapus begitu saja.
Sebuah ketukan di pintu mengagetkan Belle. Ia membuka pintu, dan terkejut saat melihat Draven berdiri di depan kamarnya lagi.
“Kau?” Belle bertanya, matanya melebar. “Kau ada di sini lagi?”
Draven mengangguk dengan senyum tenang. “Ya. Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk pulang ke Indonesia besok, di penerbangan yang sama denganmu.”
Belle terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. “Kau… kau ikut pulang?”
“Ya,” Draven mengangguk. “Aku pikir lebih baik aku menemanimu di perjalanan. Kau tidak sendirian, kan?”
Belle merasakan perasaan lega yang tiba-tiba menyeruak. Ia terkejut oleh perhatian Draven, tetapi di dalam hatinya, ia senang mengetahui bahwa ia tidak akan sendirian dalam perjalanan pulang. “Aku tidak tahu harus berkata apa, Draven. Ini sangat baik dari kamu.”
Draven tersenyum hangat. “Tidak perlu berkata apa-apa, Belle. Aku hanya ingin memastikan kau bisa fokus pada ibumu tanpa harus cemas soal perjalanan.”
Belle hanya bisa tersenyum, merasakan rasa syukur yang mendalam. Di saat yang sulit ini, kehadiran Draven terasa seperti dukungan yang tak terduga tapi sangat berharga.
“Kita berangkat besok pagi,” kata Draven sebelum pamit. “Sampai jumpa di bandara, Belle.”
“Sampai jumpa,” jawab Belle dengan senyuman kecil, hatinya sedikit lebih ringan setelah pertemuan singkat itu.
***
Pagi harinya, Belle tiba di bandara dengan koper di tangan, perasaan gugup dan cemas memenuhi pikirannya. Ketika ia melihat Draven dan teman-temannya di area check-in, ia langsung berjalan ke arah mereka.
“Kau siap?” Draven bertanya lembut saat ia menghampiri Belle.
Belle mengangguk. “Ya. Terima kasih lagi, Draven. Aku sangat menghargainya.”
“Tidak usah dipikirkan,” jawab Draven dengan tenang. “Mari kita pulang.”
Draven memperkenalkan Belle kepada teman temanya "pantas kau tertarik kepadanya, dia cantik" bisik nathan
Draven tersenyum tipis ketika Nathan berbisik, tetapi ia memilih untuk tidak menanggapi komentar itu. Belle yang berada di sampingnya, tampak sedikit canggung saat Draven mulai memperkenalkannya kepada teman-temannya.
“Belle, ini Nathan, teman lama saya,” kata Draven dengan nada ramah. “Dan ini yang lainnya, Mike dan Oliver.”
Belle mengangguk sopan, tersenyum tipis. "Senang bertemu dengan kalian."
Nathan memberikan senyum jahil yang tak bisa ditahan. "Senang bertemu denganmu juga, Belle," katanya. "Pantas saja Draven begitu bersemangat untuk pulang lebih awal."
Belle mengerutkan kening sejenak, sedikit bingung dengan komentar itu, tapi ia memutuskan untuk tidak memikirkannya terlalu dalam. Sebaliknya, ia mengalihkan perhatiannya ke Mike dan Oliver, yang tampak lebih tenang dan ramah.
"Semoga perjalanan ini lancar," kata Aron dengan senyum lebar, mencoba mencairkan suasana. “Kami senang bisa pulang bersama. Meski agak mendadak, ini akan jadi perjalanan yang menarik.”
Belle tersenyum kecil dan mengangguk. “Aku juga senang tidak perlu pulang sendirian. Ini sedikit menenangkan, terutama dengan situasi ibuku.”
Obrolan berlangsung singkat sebelum mereka semua menuju gerbang keberangkatan. Draven, yang tetap berada di dekat Belle, sesekali mencuri pandang ke arahnya. Ada sesuatu tentang Belle yang membuatnya merasa tenang, meski ia sendiri belum sepenuhnya mengerti apa itu.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus