Kemanapun Aku Pergi, Aku Akan Tetap Kembali Kepadamu
"Sekali lagi aku bilang mas. Aku mau kita cerai."
Pria yang duduk tidak jauh posisinya dari orang yang mengucapkan kalimat tersebut, kembali menghela napasnya dengan berat. Sudah tak terhitung berapa kali kalimat itu terdengar olehnya, namun sudah tak terhitung berapa kali pula dia menganggap kalimat itu hanya angin lalu.
"Apa nggak bisa dibicarakan baik-baik, Vin?"
Wanita yang bernama Vina itu menggelengkan kepalanya. "Buat apa lagi kita bicarakan baik-baik mas? Kalo ujung-ujungnya aku selalu meminta hal ini ke kamu. Aku udah muak dengan semuanya."
"Tapi apakah aku langsung nurutin permintaanmu? Nggak kan? Aku nggak akan semudah itu lepasin kamu".
"Kenapa harus begitu sih, mas?!" Nada bicara Vina semakin meninggi, menandakan wanita itu mulai tak mampu mengendalikan emosinya. "Kenapa mas nggak semudah itu ngelepasin aku. Padahal selama ini aku udah nunjukin ke kamu, kalo aku emang nggak mau hidup sama kamu."
"Bagaimana pun perilaku kamu selama ini, sama sekali nggak bikin aku nyerah buat perjuangin kamu dan rumah tangga kita, Vin."
Bukannya terharu dengan ucapan pria yang bernama Gevan itu, Vina malah terkekeh. Seakan-akan setiap kata yang diucapkan Gevan hanyalah lelucon semata. "Buat apa mas perjuangin semuanya? Itu hanya akan sia-sia buat kita berdua. Nggak ada alasan lagi, buat kita perjuangin ini semua."
"Ada," Gevan dengan cepat menyela. "Alasan terbesarku buat perjuangin ini semua, karena aku sangat mencintaimu dan juga anak-anak. Aku dengan sepenuh hati mencintai-"
"Tapi aku nggak mas," kalimat itu spontan keluar dari mulut Vina tanpa rasa ragu sedikit pun.
Gevan tak mampu lagi melanjutkan, dia hanya terdiam membeku. Besar kemungkinan Gevan tahu jika wanita di hadapannya ini tidak memiliki perasaan yang sama persis seperti perasannya. Tetapi dia pun tidak menyangka Vina akan berucap seperti itu, dan rasa sakit yang ditimbulkan dari ucapan tersebut sangat menusuk ke ulu hatinya. Tidak cukupkah perjuangan yang dilakukannya selama ini dapat meluluhkan hati wanita tersebut? Sepertinya tidak cukup, pikir Gevan.
"Kalo benar begitu, lalu apa arti anak-anak kita bagimu?"
Vina mengedikkan kedua bahunya santai. "Tidak lain hanya untuk pemuas keinginan kedua orang tuaku mas."
Lagi. Ucapan Vina kembali mengiris hati Gevan. Hanya untuk pemuas keinginan kedua orang tuanya? Semudah itu kah dia mengucapkan kalimat tersebut? Gevan tak habis pikir dengan cara berpikir Vina.
"Bukannya kamu tau sendiri mas. Kalo orang tuaku, terutama ayahku, pengen punya penerus buat perusahaannya. Jadi hadirlah mereka, buat muasin keinginan ayahku," sambung Vina tanpa merasa bersalah. "Lagian kalo bukan karena itu, aku nggak akan mau punya anak sama kamu."
Hati Gevan mulai memanas, bahkan kepalanya pun ikut memanas. Awalnya Gevan ingin menyelesaikan perdebatan ini dengan kepala dingin, tetapi setelah mendengarkan ucapan Vina yang sudah cukup keterlaluan, Gevan tak mampu menahannya lagi. Setidaknya jika Vina benar-benar tidak bisa mencintai dirinya, anak-anak mereka tetap harus mendapatkan kasih sayang dan cinta dari wanita tersebut.
"Sudahlah mas. Keputusanku udah bulat, besok aku akan bawa surat cerai kita dan kamu harus tandatangani surat itu," Vina pun bangkit dari kursi.
"Tunggu Vin."
Baru saja Vina hendak melangkahkan kakinya, tangannya pun dicekal oleh Gevan. Wanita itu pun menoleh dengan hembusan napas berat. "Apalagi mas?"
"Apa kamu benar-benar udah yakin dengan keputusanmu ini?"
"Iya mas, aku udah sepenuhnya yakin dengan keputusanku ini. Kita lebih baik cerai, daripada harus memaksa buat bersama."
"Kalo kamu pergi dari sini, kamu bakal pergi ke mana? Ada tempat tujuan? Kalo belum ada, aku bakal bantuin kamu buat yang terakhir kalinya," Gevan mengucapkan kalimat tersebut dengan tatapan yang begitu tulus kepada Vina.
Vina menggelengkan kepala dan perlahan melepas cekalan tangan Gevan. "Nggak usah mas, terima kasih. Mas Pandu udah nungguin, dan siap bantuin aku."
Mendengar nama pria lain yang disebut oleh Vina, seketika Gevan mengerjapkan kedua matanya. Nama itu terdengar familier di telinganya, bukankah itu mantan kekasihnya Vina dahulu?
"Tunggu dulu. Jangan bilang kalo kamu masih berhubungan dengan pria itu?"
Menganggukkan kepalanya, kemudian Vina menyerahkan ponselnya kepada Gevan.
Setelah ponsel itu berada digenggamannya, Gevan satu persatu menggulir foto-foto yang berada di dalam galeri. Setiap satu foto yang dia geser, menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Bagaimana tidak, objek saat ini yang sedang Gevan lihat adalah foto-foto kebersamaannya Vina dengan Pandu. Kemudian tiba saat di mana napasnya tercekat, jantungnya seakan-akan berhenti berdetak pada detik itu juga. Gevan melihat, di foto tersebut Vina yang tersenyum lebar seraya memegang alat tes kehamilan dengan garis dua yang tercetak jelas. Di samping wanita tersebut, ada Pandu yang tersenyum tak kalah lebarnya.
"Vina, kamu?" Gevan meletakkan ponsel itu ke atas meja, kemudian menatap Vina yang tengah mengusap-usap perutnya yang terlihat sedikit membuncit dari biasanya.
"Aku nggak tau pasti umurnya, tapi benar mas. Di sini," Vina mengusap perutnya dengan gerakan naik turun. "Ada anak mas Pandu di dalamnya, dan anak ini sangat aku cintai. Begitu juga dengan mas Pandu yang mencintaiku dan anak ini."
BRAAK
"Vina, ini semua udah keterlaluan!"
...******...
"Mama, papa. Lauren pulang!" Teriakan keras itu berasal dari seorang gadis yang baru saja menutup pintu dengan raut wajah yang begitu riang.
Di belakangnya, ada sosok anak laki-laki yang terkekeh melihat tingkahnya itu.
"Nggak usah teriak-teriak juga kali, dek. Mama sama papa bakal tau kok, kalo kamu udah pulang."
Lauren Winata. Gadis yang memiliki lesung di kedua pipinya itu tersenyum cengengesan. "Lauren kan lagi semangat banget bang, wajar aja lah."
"Iya deh, iya," anak laki-laki itu tertawa, Geovanno Winata namanya. Kakak kandungnya Lauren yang 2 tahun lebih tua dari gadis tersebut. "Mentang-mentang juara satu dikelas, jadinya semangat banget ya."
"Harus dong bang, harus semangat. Karena Lauren bisa pertahanin prestasi Lauren sebelumnya. Dengan begitu, mama papa bakal bangga sama Lauren."
Kedua sudut bibir Geo refleks tertarik, membentuk senyuman. Siapa coba yang tidak tahan untuk tidak tersenyum, saat melihat tingkah adik perempuannya yang begitu menggemaskan itu. Ditambah lagi, kedua lesung pipi itu tercetak jelas saat gadis tersebut tersenyum. Hal itu membuat Geo hampir menjatuhkan jantungnya karena tak kuat.
Setelah itu, Lauren mengalihkan pandangannya dari Geo. Celingak-celinguk, seperti tengah mencari sesuatu. "Ngomong-ngomong, mama sama papa kok nggak keliatan ya dari tadi?"
"Benar juga kata kamu," Geo mengiyakan ucapan Lauren. Biasanya jika mereka pulang sekolah, hal pertama kali yang mereka lihat adalah kehadiran Vina di ruang keluarga. Tetapi kali ini, wanita yang mereka panggil mama itu pun tidak terlihat sama sekali. "Mungkin mereka lagi di kamar kali, dek," ucap Geo kemudian dengan asal.
"Bisa jadi sih, bang," Lauren menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Kalo gitu, kita susul aja mereka ke ka-"
"Sebaiknya kamu cepat pergi dari rumah ini Vina!!"
"Tanpa kamu suruh, aku juga bakal cepat-cepat pergi dari rumah yang cuma bisa bikin aku sengsara ini mas!!"
Tak disangka-sangka, dari arah dapur terdengar percakapan yang begitu keras. Sepertinya bukan percakapan biasa, melainkan perdebatan yang mengikut sertakan emosi yang memuncak di dalamnya. Hal itu membuat kakak beradik yang masih berdiri di depan pintu, hanya bisa saling memandang satu sama lain.
"Bukannya itu suara mama sama papa ya, bang?"
"Iya, benar banget dek."
"Kenapa mereka tiba-tiba bertengkar begitu?"
Geo hanya bisa mengedikkan kedua bahunya, tak mampu menjawab pertanyaan Lauren. Bahkan dirinya pun tak tahu penyebab kedua orang tuanya seperti itu, sebab ini pertama kalinya dia mendengar keributan yang ditimbulkan dari kedua orang tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
rembulan
aku mampir semangat kak
2024-09-30
0
sean hayati
Salam kenal dari saya,saya ikutan mampir.
2024-09-14
0
ejen boy
belum diapa apain udah minta cere
2024-09-10
0