Gema Tangkas Merapi, siswa tampan dan humoris di SMA Gajah Mada, dikenal dengan rayuan mautnya yang membuat banyak hati terpesona. Namun, hatinya hanya terpaut pada Raisa Navasya, kakak kelas yang menawan. Meski Gema dikenal dengan tingkah konyolnya, ia serius dalam mengejar hati Raisa.
Setahun penuh, Gema berjuang dengan segala cara untuk merebut hati Raisa. Namun, impiannya hancur ketika ia menemukan Raisa berpacaran dengan Adam, ketua geng sekolahnya. Dalam kegalauan, Gema disemangati oleh sahabat-sahabatnya untuk tetap berjuang.
Seiring waktu, usaha Gema mulai membuahkan hasil. Raisa perlahan mulai melunak, dan hubungan mereka akhirnya berkembang. Namun, kebahagiaan Gema tidak berlangsung lama. Raisa terpaksa menghadapi konsekuensi dari pengkhianatannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosok baru
Gema terdiam. “Maaf selama ini gua bikin lu risih, maaf juga bikin hubungan lu sama Adam hampir retak gara-gara gua,”
“Makasih udah ngerawat dan perhatian sama gua kemaren-kemaren,” ucap Gema. “Gua gak akan ganggu-ganggu lu lagi,”
Gema berjalan ke mobilnya dan langsung masuk, tanpa pikir panjang langsung menyalakan mobilnya dan menancap gas menuju rumahnya.
Raisa menatap kepergian Gema. “Maafin gua ya Gem, gua udah ngelakuin ini ke lu,”
................
Sepanjang perjalanan Gema hanya bisa mengumpat, semua binatang, kelamin, ia sebutkan semuanya untuk mencaci dunia yang memberi nasib buruk kepadanya.
Setelah sampai, ia langsung keluar, Gema tidak langsung masuk ke rumahnya, melainkan ke kuburan papa dan neneknya yang berada di belakang rumahnya.
Gema duduk terdiam di depan makam ayah dan neneknya. Angin sore yang sejuk meniup lembut dedaunan beringin, sementara matanya terpaku pada nisan-nisan yang kini menjadi tempat pelarian terakhirnya. Ada keheningan di sekelilingnya, keheningan yang biasanya memberikan ketenangan. Namun, hari ini, pikiran Gema penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan.
"Pa, Nek," suara Gema terdengar berat, seolah kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. "Udah lama ya Gema gak curhat ke kalian,”
Gema menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak. "Gema... kemaren kalian liat cewek kan? Itu cewek yang Gema suka, dan yang nyakitin Gema,”
Rasa pahit itu membuncah di dalam dadanya, mengingat senyum Raisa yang tadi terlihat di depan rumah, bersama Adam. Ciuman di pipi itu masih terbayang jelas, membuat dadanya terasa semakin sesak.
"Apa ini hukuman buat Gema karena dulu suka main-main sama perasaan orang lain?" gumamnya, setengah bertanya-tanya. "Kalo iya, Gema terima, Pa, Nek... tapi sakit banget."
Ia menundukkan kepala, menatap tanah yang kini menjadi rumah bagi orang-orang yang ia cintai tapi sudah tiada.
Gema selalu datang ke sini ketika hidup terasa terlalu berat, ketika dia membutuhkan keheningan untuk merenung dan mencari jawaban. Meskipun mereka tidak lagi ada di dunia ini, berbicara dengan mereka selalu memberikan kedamaian yang ia butuhkan.
Namun, kali ini rasanya berbeda. Rasa sakit ini terlalu dalam, terlalu sulit untuk diungkapkan.
"Halo, tuan muda," sebuah suara berat terdengar, memecah keheningan. Gema mendongak dan melihat seorang pria berwajah Eropa dengan bekas luka mencolok di pipinya. Perutnya yang buncit tertutup oleh kemeja yang sedikit ketat terbalut blazer hitam.
"Om Bianchi?" Gema mengerutkan kening, terkejut melihat kehadiran orang yang jarang ia temui. "Ngapain di sini, Om?"
Pria itu tersenyum tipis, menatap Gema dengan pandangan penuh arti. "Saya ke sini untuk mengantarkan seseorang."
Bianchi menyingkirkan tubuhnya, memperlihatkan seorang gadis muda yang berdiri di belakangnya. Kulitnya seputih salju, rambut pirang panjangnya tergerai hingga punggung. Gadis itu mengenakan crop top yang memperlihatkan perut rata dan rok selutut yang membalut kakinya dengan rapi.
“Hai!” sapa gadis itu dengan nada ceria, senyumnya memancarkan kehangatan yang anehnya membuat Gema merasa sedikit lebih ringan.
"Dia nona Keen," jelas Bianchi sambil memperkenalkan gadis itu. "Anak dari Fabio, teman bisnis boss besar."
Gema hanya mengangguk, tidak terlalu tertarik. Namun, Keen sudah berjalan mendekat, duduk di samping Gema di bawah pohon beringin, tanpa meminta izin terlebih dahulu.
"Kamu lagi menenangkan diri, ya?" tanya Keen dengan aksen Inggrisnya yang jelas, mata birunya menatap Gema penuh rasa ingin tahu. "Kelihatannya, kamu lagi banyak pikiran."
Gema hanya tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. "I usually calm myself down here. This place... gives me peace and answers," jawabnya dalam bahasa Inggris yang lancar. Yang berartikan, “Gua biasanya nenangin diri disini. Tempat ini ... ngasih gua ketenangan dan jawaban,”
“Oh, your English is good!” puji Keen sambil tersenyum cerah. Gema hanya menanggapinya dengan senyum kecil, meski pujian itu tak terlalu berarti baginya saat ini.
Tapi ada sesuatu tentang gadis ini yang membuat suasana hatinya sedikit lebih baik. Mungkin keceriaannya yang polos, atau mungkin karena dia orang baru yang tidak tahu apa-apa tentang kekacauan yang sedang terjadi dalam hidup Gema.
"Tuan muda," panggil Bianchi lagi, suaranya membuat Gema kembali ke kenyataan.
“Om, panggil nama aja, santai. Kayak sama siapa aja. Oh iya, ini dia kenapa ada disini?” ucap Gema sembari menunjuk Keen disampingnya.
"Keen akan tinggal di sini untuk sementara waktu. Mungkin sekitar empat atau lima bulan. Dan... mungkin akan ada penjaga yang berjaga di sekitar sini." lanjut
Mendengar itu, Gema langsung mendesah dengan kesal. "Mas Dean, lu memang fuck up banget," batinnya mengumpat dalam hati. Situasi ini sudah rumit tanpa tambahan gangguan dari keluarga bisnisnya. Namun, tak ada gunanya protes.
"Yuk, kita masuk," ajak Bianchi sambil melangkah menuju rumah. Gema berdiri dengan malas, menendang kerikil kecil di depannya sebelum mengikuti mereka.
Di tempat lain, Raisa menggulung dirinya di bawah selimut tebal di kamarnya. Matanya sembab, bukti bahwa dia sudah lama menangis. Gadis itu bersandar pada dinding putih, pikirannya dipenuhi oleh perasaan bersalah yang tak kunjung hilang.
“Maafin gua, Gem,” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan kamar. “Gua bingung gimana caranya buat lu jauh dari gua tanpa nyakitin lu.”
Pikiran Raisa terus berputar, berusaha mencari jawaban atas masalah yang semakin hari semakin membebani hatinya. Dia mencintai Adam, tapi Gema? Gema sudah terlanjur terjebak dalam pusaran perasaan yang sulit untuk diabaikan.
Raisa menutup matanya, berharap esok hari akan membawa solusi yang lebih baik, atau setidaknya, sedikit kejelasan tentang apa yang harus dia lakukan.
Raisa benar-benar menyesali ucapannya. Dia hanya ingin membuat Gema menjauh, memberi jarak agar perasaan rumit ini bisa selesai dengan sendirinya dan hubungan mereka berakhir sebagai teman. Namun, bukannya sesuai ekspektasi nya, kata-kata yang ia ucapkan tadi justru menghancurkan hati Gema—adik kelas yang sering ia anggap menyebalkan, tapi entah kenapa selalu membuatnya merasa nyaman.
Sosok Gema yang terluka terus terbayang di benaknya, membuat sesak di dada Raisa semakin berat. Rasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosi yang memuncak, tapi air mata tetap mengalir, menyisakan sembab di matanya.
Drt... drt...
Getaran dari ponsel di atas nakas membuyarkan lamunannya. Dengan tangan gemetar, Raisa meraihnya dan melihat nama 'Gits' muncul di layar. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkat telepon itu.
“Halo, Git... napa?” Suara Raisa terdengar serak, jelas masih tersengal-sengal akibat tangisan yang belum sepenuhnya reda.
Di seberang, suara Gita terdengar tegas tapi lembut, seperti biasanya. "Halo, Ra. Lu udah selesai mikir soal... siapa yang bakal lu pilih?" Gita langsung masuk ke inti, tanpa basa-basi. Ia tahu Raisa terlalu lama terjebak dalam kebingungan ini.
Raisa terdiam sesaat, menelan ludah sebelum menjawab dengan suara nyaris berbisik, “Udah...”
Seketika, Gita langsung menanggapinya dengan nada tegas. “Oke, tahan cerita lu, Ra. Gua bakal ke rumah lu sekarang. Pasti ada alasan kenapa lu nangis kayak gini,” ucap Gita, tanpa memberi Raisa kesempatan untuk membantah atau menjelaskan lebih lanjut.
Sebelum Raisa bisa mengatakan apa pun, panggilan itu sudah terputus. Gita selalu seperti itu—langsung bertindak tanpa banyak bertanya. Tapi kali ini, Raisa bersyukur. Ia butuh seseorang untuk berbagi, untuk mendengar dan, mungkin, untuk menegurnya.
Raisa memandang ponselnya yang kini sudah kembali diam. Di sela-sela keheningan kamarnya, ia meringkuk lebih dalam ke dalam selimut, mencoba mencari kehangatan di tengah dinginnya perasaan bersalah yang terus menggerogoti hatinya.
“Gema… maafin gua. Gua gak pernah bermaksud buat nyakitin lu.” Sebuah bisikan lirih keluar dari bibir Raisa, meski ia tahu kata-kata itu tidak akan pernah cukup untuk memperbaiki apa yang sudah rusak.
bagus kok nevelmu
aku suka