Aku, Atau Dia?
Senin pagi, pukul 06.04.
“Gema, kamu sudah bangun belum?” tanya seorang wanita berusia 29 tahun, mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu mewah dengan penuh kesabaran.
Di balik pintu, terdengar gumaman malas. “Hm,” jawab Gema, suara itu tersimpan dalam balutan selimut abu-abu yang membungkus tubuhnya yang besar. Dia jelas enggan melepaskan diri dari kenyamanan hangat yang menggodanya.
“Gema! Bangun sayang, udah siang, nanti kamu telat,” ucap wanita bernama Anita tersebut. Tidak ada respon dari dalam, sehingga Anita kembali mengetuk pintu.
“Gema bangun sayang, kalau dalam lima menit gak keluar dari kamar, Mami suruh Om Dean buat blokir kartu kredit kamu,” ancam Anita dengan nada tinggi agar didengar, wajahnya tetap sabar menghadapi kemalasan anaknya.
“Iyaaa,” sahut Gema sembari duduk di tepi ranjangnya yang berukuran king size itu.
“Kalau udah selesai mandi langsung turun, Mami tunggu,” ucap Anita sebelum meninggalkan kamar Gema dan menuruni tangga megah rumahnya.
Gema bangkit dari ranjangnya menuju kamar mandi setelah duduk beberapa menit untuk mengumpulkan nyawanya.
....
06.15
“Pagi Mami!” sapa Gema dengan hangat.
Ia mencium pipi Maminya sembari duduk di meja makan. Anita memberinya dua roti dan segelas susu. Gema memakan roti tersebut sambil memainkan ponselnya, memastikan apakah ada pesan yang belum sempat dia lihat.
“Loh, Om Dean kemana, Mi?” tanya Gema sembari menatap kursi di ujung meja yang biasanya ditempati pamannya.
“Mas Dean ada urusan di Italia, katanya bisnisnya ada yang ganggu, palingan minggu depan pulang,” jawab Anita sembari memakan roti tawar selai kacang.
Gema lanjut scrolling layarnya, terpampang pesan-pesan dari kenalannya. Ia melihat sebuah pesan dari sahabatnya, Tara.
Gema tampak bahagia, “Saatnya ambil kesempatan!” batin Gema dengan bersemangat.
“Mi,” panggil Gema, Anita menengok.
“Gema boleh bawa mobil gak?” ucap Gema dengan memohon.
“Gak,” tolak Anita.
“Ah elah, Mi, Mami sama Om Dean kan udah janji kalau Gema udah kelas sebelas boleh punya mobil. Gema malu sama temen-temen Gema, masa Gema nebeng sama Tara, entar Gema dikira miskin,” rengek Gema.
Ya, beginilah sifat Gema ketika di rumah, sifat manja yang hanya ia tampakkan kepada Mami dan pamannya.
“Siapa yang bilang miskin?”
“Temen-temen Gema,” jawab Gema, ia cemberut.
Anita menghela napas, “Yaudah iya, kamu boleh bawa mobil ke sekolah,”
Anita bangkit dari kursinya dan berjalan menuju meja TV di ruang tamu. Ia membuka laci di bawah meja tersebut, terlihat berbagai macam kunci mobil tersusun rapi. Anita mengambil salah satu kunci dengan warna dominan hitam dan logo BMW berwarna putih dan biru di tengahnya. Kunci itu terasa dingin di tangannya.
“Nih,” Anita memberikan kunci tersebut.
Gema tampak bahagia, ia buru-buru mengambil kunci itu, “Makasih Mi!”
Anita menyembunyikan kunci itu ke punggung rampingnya, tampak bimbang.
“Gak jadi deh,” ucap Anita sembari memasukkan kunci itu ke dalam saku celana tidurnya.
“Kenapa Mi?” Gema tampak sedih kembali.
“Masa Mami kasih mobil tapi kamu gak bisa nyetir? Udah, nebeng Tara aja dulu,” titah Anita.
“Bahaya juga, kalau kamu maksa, kamu bisa ditilang polisi, kan kamu belum punya SIM,” ucap Anita memberi alasan.
“Loh? Aku bisa nyetir kok,” ucap Gema meyakinkan Anita.
“Emang kapan kamu belajarnya?”
“Pas bo-” Gema langsung menutup mulutnya.
Anita tampak kesal.
“Oh jadi kamu sering bolos?! Awas aja, Mami bilangin Om Dean baru tau rasa kamu,” Anita meninggikan suaranya.
“Aduh, bukan gitu, Mi. Maksud aku, aku belajarnya pas baru pulang sekolah. Lagian jalan ke sekolah gak ada polisi,” Gema nampak panik, ia sangat takut jika Maminya itu meninggikan nadanya.
Anita berpikir sejenak. “Aku janji deh, aku nggak akan buat masalah lagi. Aku juga gak bakal kebut-kebutan di jalan,” Gema memberikan tatapan memelas.
Bukan hanya untuk menjemput Raisa, Gema juga tidak enak pada Tara. Sudah dua tahun Gema menjadikan sahabatnya itu sebagai sopirnya untuk kemana-mana, meskipun Tara tidak mempersalahkan.
“Yaudah nih, tapi ingat! Kalau kamu buat masalah atau kebut-kebutan, Mami tarik mobil dan kartu kredit kamu,” Anita akhirnya memberikan kunci itu.
Wajah Gema kembali bahagia, ia mencium pipi Maminya sembari mengambil kunci.
“I love you, Mi!”
“I love you too, sayang,”
Gema salim ke Anita, “Assalamualaikum!”
Gema berjalan meninggalkan Anita dengan bahagia.
“Walaikumsalam,” ucap Anita lirih.
“Gua jadi inget Bara kalau ngeliat Gema,” Anita tersenyum manis.
Sementara itu, Gema sudah berada di halaman rumah, terparkir mobil BMW 330i warna hitam.
Gema memasuki mobil itu di tempat pengemudi.
“Kak Raisa tunggu di rumah cantik!” Gema menancap gas.
Senyuman Gema semakin mengembang mengingat ia bisa menjemput Raisa. Betapa beruntungnya ia bisa bersahabat dengan Diwantara Putra Jayawardhana atau kerap di sapa Tara, orang yang sering mentraktirnya.
Dan lebih beruntungnya lagi, Tara adalah pacar Andra Putri Anggraini, yang notabenenya sahabat dari Raisa Navasya, senior yang sudah lama Gema cintai.
Dari semua siswi-siswi di SMA Gajah Mada, hanya Raisa yang menggetarkan hati seorang Gema Tangkas Merapi.
Flashback satu tahun lalu
Di sebuah kantin yang ramai, Gema melangkah dengan penuh percaya diri. Suasana menjadi sunyi sejenak ketika para siswi menoleh ke arah Gema dengan tatapan penuh kekaguman.
"Eh, itu Gema," ucap Indah dengan nada terkejut, menoleh ke teman-temannya yang juga mulai mengamati.
"Ngapain dia?" tanya Raisa sambil melanjutkan suapannya, tampak tak tertarik.
"Biasalah, cari perhatian," jawab Gita dengan nada kesal, wanita berkulit hitam manis merasa terganggu oleh kehadiran Gema.
Gema tiba di meja Raisa dan teman-temannya, menatap Raisa dengan tatapan serius namun tetap dengan senyuman di wajahnya. Ia meletakkan sepotong kue di meja Raisa dengan gerakan hati-hati.
“Hai Kak Raisa,” sapanya dengan penuh percaya diri. “Ini, buat kakak. Selama ini gua suka sama lu. Lu mau nggak jadi pacar gua?”
Raisa tampak terkejut, mulutnya terbuka sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil, “Makasih, tapi aku gak mau jadi pacar kamu.”
Di meja, para sahabat Raisa mulai berbicara dalam bisik-bisik penuh empati dan cemoohan.
"Kasian banget lu, Gem!"
"Tetep berjuang, Gem!"
“Cinta ditolak, dukun bertindak!”
Gema mengangguk dengan tenang, berusaha menahan diri untuk tidak merespon teriakan para sahabatnya. Ia mendekatkan wajahnya dengan percaya diri, “Gak ada kata gak mau, Kakak cantik.”
Raisa menghela napas lelah, merasa frustrasi dengan ketekunan Gema. Ini sudah sebulan penuh Gema menggangu dan menggombal kepadanya tanpa henti.
Dengan kesal, Raisa berdiri sambil memegangi segelas es jeruk. Ia menatap Gema dengan tajam, “Kalau kamu gak mau denger, ya sudah, lupain aku aja!”
Gema tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Raisa dan ketiga temannya yang menjauh. Dia hanya bisa diam, pikirannya berkecamuk. “Mungkin lu sekarang bilang gak mau, Kak. Tapi masa depan belum tentu sama,” gumamnya dalam hati, penuh harapan dan tekad.
..........
Flashback off.
Mobil Gema berhenti di titik rumah Raisa, terlihat sebuah rumah besar bernuansa modern.
Ia keluar, merapikan rambutnya serta memasukkan seragamnya ke dalam celana abu-abunya.
Tok! Tok!
Gema mengetuk pagar rumah itu, “Permisi! Kak Raisa!” panggil Gema .
Tak lama keluar seorang pria paruh baya, bertubuh gempal dengan jenggot berantakan mengenakan baju sekuriti.
“Kenapa mas?” tanyanya .
“Kak Raisa ada nggak pak?”
“Oh gak ada mas, baru aja tadi jemput cowok,” ucap security dengan nametag 'Joko Prakoso'
Seketika Gema tampak bingung, “Dia pake baju sekolah saya nggak pak? Atau wajahnya kayak gimana?” tanya Gema memastikan apakah yang menjemput Raisa seseorang yang ia kenal.
“Waduh kalo wajah sih saya nggak liat, karena dia dateng pake helm full face, sama jaket kulit hitam gitu daleman seragam,” jelas pak Joko.
“Masa Rafi sih? Ah ntar gua tanya kak Raisa deh,” batin Gema.
“Ada yang mau di tanyain lagi mas? Dan mas siapanya non Raisa ya?”
“Saya adek kelasnya kak Raisa pak. Gak ada yang saya mau tanya lagi sih pak, saya izin pamit dulu ya pak,” Gema berjalan memasuki mobilnya.
Ia menurunkan kaca, “Assalamualaikum pak,”
Gema menjalankan mobilnya.
“Walaikumsalam mas,”
..........
Kini Gema sudah sampai di sekolah, sekolah yang terbilang cukup elit. Setelah memarkirkan mobilnya, ia keluar sembari menggantungkan tas di bahu kirinya dan memakai topi sekolah.
Terlihat siswa-siswi sudah ada di lapangan dan siap melakukan upacara, Gema berlari dengan tergesa-gesa agar ia tidak hukum dan Anita menarik mobil barunya.
Setelah dekat lapangan, Gema menaruh tas ransel hitamnya ke bawah pohon rindang yang dekat dengan lapangan.
“Weh, baru dateng lu,” ucap temannya, Kian, ia mengajak tos dan disambut Gema.
“Si Tara mana?” tanya Gema yang bingung karena tidak melihat sahabatnya itu.
“Biasa, lu kayak nggak tau Tara aja, kan prinsip dia 'Selagi belom upacara mulai, nikmatin dengan main game,' dia sekarang lagi dikantin,” kini Dava ikut nimbrung, siswa bertubuh tegap dan berkulit kuning langsat itu tampak sedih.
“Kenapa lu Dav? Lu ditolak?” tanya Gema dengan wajah heran, tak biasanya sahabatnya itu terlihat sedih.
Dava merangkul Gema, dan mengarahkannya ke sebuah arah. Terlihat pujaan hati Gema, Raisa sedang asyik ngobrol dengan seorang pria. Pria jangkung berkulit putih.
“Kenapa? Palingan temennya,” ucap Gema berpikir positif.
“Nggak, itu pacarnya. Namanya Adam, orang bule. Adam sendiri yang konfirmasi tadi, mereka mesra-mesraan sebelum lu dateng,” ucap Dava dan Kian secara bersamaan.
Seketika hati Gema terasa hancur, aura keceriaan yang terpancar berubah menjadi kelam.
Terasa sesak di dada Gema, dunia terasa menjengkelkan. Ia ingin menangis, tapi ia tidak bisa, menangis di depan publik akan merusak citranya yang anak ceria.
.............
Raisa Navasya
Gema Tangkas Merapi
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Rose Skyler
mamanya masih 29?
2024-09-05
0