Dewi Amalina telah menunggu lamaran kekasihnya hampir selama 4 tahun, namun saat keluarga Arman, sang kekasih, datang melamar, calon mertuanya malah memilih adik kandungnya, Dita Amalia, untuk dijadikan menantu.
Dita, ternyata diam-diam telah lama menyukai calon kakak iparnya, sehingga dengan senang hati menerima pinangan tanpa memperdulikan perasaan Dewi, kakak yang telah bekerja keras mengusahakan kehidupan yang layak untuknya.
Seorang pemuda yang telah dianggap saudara oleh kedua kakak beradik itu, merasa prihatin akan nasib Dewi, berniat untuk menikahi Kakak yang telah dikhianati oleh kekasih serta adiknya itu.
Apakah Dewi akan menerima Maulana, atau yang akrab dipanggil Alan menjadi suaminya?
***
Kisah hanyalah khayalan othor semata tidak ada kena mengena dengan kisah nyata. Selamat mengikuti,..like dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐, yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadar T'mora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Jati diri
Dita menarik jarum plastik infus dari tangannya. "Aduh mbak, seram!" teriak Yuni ketakutan melihat darah keluar dari kulit punggung tangan Dita.
"Tidak apa-apa." Dita menekan tisu di bekas tusukan infus agar Yuni tidak panik. "Kamu gantikan pakaian saya. Kita pulang," dengan lemah dia berusaha bangkit dari kasur, duduk di depan meja rias.
Yuni segera mengambil kapas pembersih make up, dia juga membantu Dita berkemas setelah mengganti pakaiannya.
Arman datang setelah mengantar orang tuanya ke Mobil yang dikemudikan oleh supir pribadinya, makanya agak lama dia bertemu farouq dulu membahas beberapa hal. "Apakah kamu sudah merasa baikan?" tanya Arman, dia juga meraba keningnya apakah ada demam. "Syukurlah," ujarnya lega setelah yakin suhunya normal.
"Kak...kita pulang ke Mansion ya," mohon Dita lemah dan manja seperti biasa.
Arman melihat koper yang telah dikemas, dia agak keberatan. "Kenapa tidak istirahat dulu malam ini disini. Besok baru pulang, ya." Arman merayu Dita di pelukannya.
Barusan dia melihat Dewi masuk ke mobilnya yang dikendarai oleh Regar dengan barang bawaannya, ada rasa enggan bertemu di Mansion. Minggu depan ada rencana keluar negeri, menurut pemantauannya Dewi akan tetap berangkat hanya dirinya tidak mungkin diajak. Apalagi dia akan disibukkan dengan amanat baru yang tinggal menghitung hari, saat ini untuk tidak saling bertemu adalah hal yang terbaik.
"Tidak bolehkan kita pulang saja? Ayah ibu tidak ada jadi terasa sepi." Tatapan Dita memelas.
Arman tersenyum getir. Kita mau malam pertama sayang bukan mau nobar, batinnya lemas. Melihat kondisi Dita yang seperti ini, bagaimana dia tega melaksanakan kewajibannya. Tapi, "Baiklah! Arman terpaksa menurut. Sepertinya dia harus puasa dulu sampai Dita benar-benar siap digempur oleh pedang andalannya, ah...aku jadi merindukan Dewi.
.
.
Dalam perjalanan ke Mansion, Dewi ragu-ragu ingin menghubungi Alan untuk mengetahui keberadaannya. Dia hanya suami di atas kertas pikirnya segera mengurungkan niat. Semoga Alan tidak memaksanya dengan berbagai dalih untuk malam wajib.
Dewi jadi menyesal kenapa langsung pulang, mau gak mau kamarnya di Mansion akan mengingatkannya pada Arman. Setidaknya kalau di hotel, pernikahan setingan bersama Alan juga jadi lebih terjaga kerahasiaannya. Ah, kenapa pikiran serta perasaan tidak sinkroni akhir-akhir ini.
Regar melirik Dewi yang gelisah di jok belakang. Biarpun Jade tidak diijinkan ikut ke Mansion, pemuda berpendirian keras itu tidak menyerah pada tugas yang diamanatkan padanya. Tidak masalah jika tidak diijinkan masuk, dia bertekad mengawal Dewi dalam jarak tertentu. Regar dapat melihat Jade mengikuti mobil yang dikendarainya. Motor sejuta umat, H-Beat yang telah dimodifikasi jadi andalannya agar tidak mencolok.
Sampai di Mansion Thamrin, Jade memarkir motornya di tempat tersembunyi di belakang gedung. Di bawah tembok pagar beton setinggi 2 meter ditambah jeruji besi setinggi setengah meter. Dari gambaran Regar tentang situasi Mansion yang minim satpam, dengan mudah dia menyusup masuk tanpa hambatan.
Mansion merupakan bangunan 4 lantai. Lantai 1 area karyawan rumah tangga, lantai 2 area Nona pertama, lantai 3 area nona kedua yang dulu merupakan area mendiang Tuan dan nyonya Thamrin. Setelah keduanya meninggal, Dita minta area itu menjadi miliknya.
Bagian atas yaitu lantai 4, merupakan gudang khusus menyimpan barang-barang lama. Barang-barang bekas Dewi disimpan dalam satu ruangan, bekas Dita punya ruangan tersendiri, begitu pun barang-barang peninggalan orang tua mereka. Sisanya balkon luas yang kadang-kadang digunakan untuk barbekyu-an.
Jade berada di lantai 4 saat ini seperti maling celingak celinguk takut ketahuan. Dia sedang mempelajari medan, serta melihat apakah ada tempat persembunyian yang nyaman untuknya seperti di rumah sendiri.
Jade membuka satu kamar yang dilaluinya dengan kunci serbaguna. Dengan keahliannya yang telah melampaui para seniornya, tidak ada ruang terkunci yang tidak bisa dibobolnya kecuali kesucian seorang perempuan.
Jade Membuka helm dan sarung tangan bermotornya saat telah berada di dalam ruangan. Pada malam hari tentu saja ruangan gelap gulita. Dengan lampu senter kecil dia melihat-lihat keadaan kamar. Matanya terbelalak saat pandangannya tertuju pada bingkai besar yang bersandar pada sebuah kotak kardus gede di lantai, Jade seolah melihat wajahnya sendiri dalam versi dewasa.
Deg deg...deg deg.
Dia tau bahwa suami istri yang membesarkan dirinya bukanlah orang tua kandungnya, karena usia mereka yang sudah uzur lebih cocok menjadi kakek dan nenek baginya.
Jade sangat berdebar dengan penemuannya. Apakah jalan hidup yang ditempuhnya telah dijalur yang benar dalam pencarian jati dirinya selama ini?
Aku harus mencari bukti-bukti, dalam hatinya bersemangat.
.
.
Sampai di Mansion Dewi memanggil Sudarti agar membawa Eva dan adiknya ke lantai 2, dia menunggu mereka di area bersantai di balkon dalam.
"Mbak," sapa Darti. Dia asisten kepercayaan Dewi selama 7 tahun menjaga Mansion, belum pernah membuatnya kecewa. Pengalamannya bekerja di luar negeri membuat Dewi senang akan hasil kerjanya yang rapi. Sudah 2 tahun jadi kepala rumah tangga Hunian Thamrin, usianya 45 tahun.
"Ya, terima kasih. Sekarang kamu boleh turun, Dar! Eva dan adiknya duduk di sini bersama saya." Dewi menunjuk kursi di depannya.
Eva membawa adiknya duduk di sampingnya setelah Sudarti turun ke lantai 1st, "Terima kasih sudah memberi kamar yang nyaman buat kita, Bu." ucap Eva.
Dewi balas tersenyum. Melihat adik Eva yang menatapnya malu-malu. "Ternyata adik kamu tampan Eva!" seru Dewi senyum semakin lebar.
"Iya dong, siapa dulu kakaknya." Eva menjawab bercanda agar adiknya tidak terlalu canggung.
"Siapa namanya, adek?" tanya Dewi lemah lembut.
Adiknya ini sebenarnya agak cerewet jika pada dirinya tapi sama orang asing dia pendiam atau lebih tepatnya tertutup. "Ayo bilang pada Ibu Dewi siapa nama panjang Lana." Eva mengajar adiknya agar berani.
Lana memandang Eva, Eva mengangguk memberi semangat agar jangan takut. Ada dirinya yang siap melindungi. "Siapa namanya, ayo sebutkan."
Dengan sabar Dewi menunggu, "Erlan Ananda," jawab Lana pelan.
"Bagus Lana," ujar Dewi memberi pujian dengan jempolnya. Kalau bukan karena kerak cemong di wajahnya, anak ini sangat pantas jadi Tuan muda kaya dari negeri tirai bambu dengan wajah oriental looknya itu.
"Katanya itu nama pemberian orang tua yang sebenarnya. Pengemis yang saya katakan, kata Lana bukanlah bapak ibu kandungnya," terang Eva membuat Dewi tercengang.
"Sayang," panggil suara berat dan seksi seorang pria.
Dewi, Eva serta Lana serentak menoleh pada laki-laki yang melangkah datang dari ujung tangga. Cis! Dewi cemberut atas kelancangan Alan memanggil mesra dirinya. Apakah dia takut dimarahi karena pergi berjam-jam gak ada kabar makanya norak?
"Maaf, aku langsung kemari saat Jade mengatakan kamu cek out dari hotel." Alan berkata sambil duduk di samping Dewi.
Eva telah mendengar bahwa hari ini Dewi menikah, artinya pria ini adalah suaminya. Saat melihat Alan lebih jelas, jantungnya seketika berdebar kencang. Bukankah ini si brengsek yang ingin melecehkanku? Eva mengepal tangannya geram pengen menonjok wajah Alan.
.
.