Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Mereka cucuku
Setelah, drama panjang di rumah sakit. Sherly, akhirnya mau pulang, dengan catatan akan kembali besok pagi, dengan membawa kebutuhan menantunya. Sosok Maya, adalah menantunya. Keputusan yang diambilnya sendiri, tanpa meminta pendapat pada suami atau putranya.
Saphira dan sang ayah, bersusah payah membujuk sang ibu, agar mau pulang. Tentu saja, dengan bantuan Ansel dan Maya.
Sekarang dalam kamar tidur, yang di dominasi warna krim dan putih. Sherly sudah berganti baju dan siap untuk tidur.
"Ma, ada yang mau aku katakan."
"Bilang saja, Pa. Tidak usah basa-basi."
Raksa berdehem, "ini mengenai Maya."
Mendengar nama menantunya, Sherly duduk manis diatas tempat tidur.
"Maya, kenapa?"
Raksa tidak langsung menjawab. Ia menarik tubuh sang istri, untuk lebih dekat. Lalu, menggenggam kedua tangannya.
"Maya sebenarnya bukan pacar Ansel, Ma. Gadis itu, bernama Maya Ilhamndari. Maya yang setiap hari Mama ceritakan bersama Fira."
"Ma-maksud, Papa. Dia_ Haah!" Kedua mata sherly membola. "Tapi, kenapa bisa bersama Ansel? Gadis itu, menghilang dan Zamar menikah dengan orang lain. Yang aku dengar terakhir, Resti mengatakan tunangan Zamar meninggal tiba-tiba."
"Ansel tidak sengaja menemukannya."
Mengalirlah cerita Raksa, sesuai dengan apa yang ia dengar, dari putranya. Gadis muda itu, putus asa dan bunuh diri. Untung, sang putra berada ditempat dan menolongnya.
"Jadi, kalian semua mengenalnya, kecuali Mama?" Sherly menunjuk dirinya. Shock karena malu, sudah menganggap Maya menantunya.
"Papa pikir, Mama mengenalnya. Karena selama ini, Mama terus membicarakan gadis itu."
"Siapa yang akan mengenalinya, jika penampilannya saja sudah berubah. Lagi pula, Mama hanya melihat gadis itu sekali, saat acara pertunangan." Suara Sherly meninggi, emosi karena merasa disalahkan.
"Mama jangan Marah." Memberikan pelukan, supaya suasana tidak memanas. "Ansel merasa kasihan padanya, begitu juga Papa. Ansel berharap, Mama mau menerimanya sementara waktu. Dia tidak punya siapa-siapa."
Sherly melepaskan pelukan sang suami. Berjalan mondar mandir seperti setrika.
"Jadi, Zamar tidak mau tanggung jawab dan meninggalkan gadis itu. Pantas saja, mereka tidak membatalkan pertunangan, supaya tidak diketahui. Lalu, menikahi gadis berkelas. Dasar kurang ajar!"
Ekspektasi Raksa, luntur sudah. Ia pikir sang istri, akan menolak atau marah. Justru sebaliknya, dia membahas masalah Zamar dengan emosi.
"Tapi, kenapa juga si Resti bilang, gadis itu meninggal? Ah, sebentar. Mama mengerti." Berbicara sendiri dan menjawab sendiri. Raksa hanya memperhatikan sang istri, tanpa berkomentar.
"Baik, Mama akan menerima mereka. Tapi, bayi-bayi itu adalah cucuku."
"Iya, mereka cucu Mama. Sekarang, kita tidur."
"Papa tidur sendiri, Mama mau ke kamar Fira."
Seperti biasa, Sherly akan mencari putrinya untuk mengobrol. Ibu dan anak yang satu frekuensi, jika sudah membicarakan Maya atau hal lainnya, selama itu membuat penasaran.
"Kau belum tidur, kan?" Sherly masuk dan langsung duduk diatas tempat tidur.
"Belum, Ma. Kenapa?"
"Kamu ini!" Sherly menjitak kepala putrinya. "Bisa-bisanya, tidak memberitahu Mama, kalau dia itu Maya."
"Kakak, yang larang." Fira mengelus kepalanya.
"Kamu berpihak pada kakakmu?"
"Iya, iya. Maaf." Fira bergelayu manja ditangan sang ibu.
"Kamu tidak penasaran tentang Maya? Gadis itu, belum menceritakan tentang alasan dia dibuang."
"Mama, tahu dari mana, dia dibuang?"
"Ansel yang cerita. Dia meminta Mama untuk menerima Maya, tinggal disini sementara waktu, sampai kedua cucu Mama cukup besar."
"Cucu?"
"Ya. Mereka cucu Mama, titik." Sherly mengambil bantal, menaruhnya diatas pangkuan. Jika seperti ini, maka cerita ini akan semakin lama. "Kau bilang istri Zamar, bersahabat dengan Maya."
"Iya. Di kampus, Sandra seperti ibu peri. Cih, ternyata, dia ular berbisa." Fira berdecih, muak, saat mengingat kebaikan Sandra pada Maya.
"Tapi, ada yang aneh. Ansel bilang, dia bertemu Maya, dua minggu sebelum pernikahan. Tapi, _" Sherly memberikan kertas tebal berwarna, pada putrinya.
"Ini?" Fira membaca kertas tebal, berbentuk persegi, yang diberikan ibunya.
"Coba perhatikan! Bukannya, aneh?"
"Benar, Ma. Kok bisa? Berarti, Zamar dari awal tidak ingin menikahi Maya, melainkan Sandra."
"Aduh, sumpah, Mama penasaran. Nanti, kalau Maya, udah baikan, kita tanyakan."
"Oke, oke. Fira juga penasaran."
"Besok kita ke rumah sakit. Mama mau bawa makanan untuk dia."
"Fira juga, Ma. Aku mau melihat ponakan imutku." Fira merapatkan tubuhnya, seolah ada sesuatu yang baru saja terlintas dalam pikirannya. "Ma, besok. Kita harus meneliti wajah dua cucu Mama, mirip siapa? Kalau mirip kakak bagaimana?"
"Itu lebih baik, jika mereka mirip kakakmu."
"Kalau mirip Zamar, bagaimana? Panjang urusan, Ma."
"Pokoknya, Ansel bilang, Zamar tidak mau tanggung jawab dan tidak mengakui anak Maya adalah miliknya. Jadi, urusan selesai. Jika nanti dia tiba-tiba muncul, Mama tendang dia. Enak saja, datang-datang, langsung ambil."
"Benar, tuh, Ma. Khaira dan Khaysan adalah cucu Mama. Tapi, lebih bagus, jika kakak menikahi Maya."
"Bagus, kenapa?"
"Supaya cucu Mama, tidak kemana-mana. Dia tinggal bersama kita. Mama tidak mau kan, rumah kita kayak kuburan. Menunggu kakak menikah, mungkin Mama sudah pakai tongkat."
"Benar juga. Nanti, Mama bicara sama kakakmu."
Dua wanita berbeda usia, tidur seranjang. Lampu sudah dimatikan, namun mereka masih bercerita. Cekikikan, dalam kegelapan.
🍋
🍋
Di rumah sakit. Maya mencoba menyusui kedua bayinya, dibantu oleh perawat. Bayi laki-laki dengan bobot 2,8 kg, menyusu dengan lahap. Maya tersenyum bahagia, dengan mengelus kepala putranya. Sementara bayi perempuannya, terjaga dalam pelukan sang perawat.
"Ada apa, suster?" tanya Maya, karena perawat itu terus memperhatikannya, seolah ingin bertanya atau memastikan sesuatu. Maya teringat, akan pesan dokter Marsya padanya.
"Tidak, Bu. Tidak apa-apa." Perawat itu gelagapan dan tidak berani bertatap.
"Jangan salah paham, suster. Saya sepupu dokter Ansel, dari kampung. Suami saya, jadi TKI diluar negeri."
"Iya, Bu. Maaf."
Bayi laki-laki sudah pulas, kini giliran bayi perempuan untuk menyusu. Sang perawat meletakkan, bayi laki-laki dalam box, mengatur posisi tidur dan menyelimutinya.
"Saya akan menidurkannya sendiri. Terima kasih, sudah membantu."
"Sama-sama, Bu. Saya permisi."
Sejak keluarganya pulang, Ansel pamit untuk bekerja. Ya, dia shift malam, di UGD. Jadi, dia meminta perawat untuk menemani Maya.
"Khaira, sangat lapar, ya? Hum!" elus-elus, dipipi mungil sang putri.
Maya merasa sangat beruntung bisa bertemu denga Ansel. Pria asing, yang awalnya hanya memesan segelas kopi, kini menampungnya. Tanpa Ansel, entah bagaimana ia sekarang. Mungkin, mati tenggelam atau menjalani hidup di kedai seorang diri.
Sekarang, keluarga Ansel pun menerimanya, tanpa mempertanyakan statusnya. Meski, ada kejutan karena harus bertemu Saphira. Gadis jutek dan manja, yang selalu membuli, menghina dan menghakiminya, setiap hari.
Tak disangka, dunia benar-benar sempit. Ia menghindari orang-orang yang mengenalinya, namun justru bertemu tanpa ia duga.
Putri kecilnya sudah tertidur pulas. Ia langsung membaringkan, tidur bersamanya.
🍋 Bersambung
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️