NovelToon NovelToon
Bukan Tulang Rusuk, Tapi Tulang Punggung (Penyesalan Papa Dari Anakku)

Bukan Tulang Rusuk, Tapi Tulang Punggung (Penyesalan Papa Dari Anakku)

Status: tamat
Genre:Tamat / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Slice of Life
Popularitas:1.2M
Nilai: 5
Nama Author: Rositi

Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.

Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.

Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Puluh Enam

“Mas, Mama pingsan. Takutnya kena serangan jantung!” sergah Hunairah selaku adik tertua mas Abdul.

“Innalilahi ....” Mas Abdul langsung panik dan lupa pada maksudnya kepada Dewi. Bahkan meski pada akhirnya Dewi turut membantu kesibukan pemboyongan terhadap ibu Safangah ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit. Mas Abdul hanya fokus kepada sang mama yang keadaannya sudah sangat lemas.

“Pakaian ganti dan juga selimut buat mama sudah masuk semua kan, Mbak, di ransel?” sergah Hunairah kepada Dewi.

Dalam diamnya, Dewi mengangguk-angguk. Tak semata karena ia mengkhawatirkan keadaan ibu Safangah. Namun juga, ini mengenai dirinya yang dipecat mas Abdul.

“Jadi, harusnya aku menerima? Karena aku hanya seorang pembantu, digeniti bahkah dile cehkan, sudah menjadi risikoku?” batin Dewi berangsur masuk rumah. “Kok ngeri ya jadinya? Pantas orang kaya selalu bilang, makanya jadi orang kaya, jangan jadi pembantu.”

“Masalahnya sekarang aku sudah dipecat. Hmmm ... ya sudah, aku mau beresin seterikaan dulu, habis itu baru pergi.

Seperti niatnya, dengan dada tak hentinya terasa ngilu, akhirnya Dewi menyelesaikan seterikaannya. Semuanya Dewi susun rapi di ranjang khusus. Kemudian, Dewi juga langsung merapikan barang-barangnya di kamar. Utari ia emban di depan, sementara Alif kembali ia gendong di punggung.

Dewi pamitan ke kedua adik mas Abdul. Resti dan Rasti selaku adik mas Abdul, mengaku tidak tahu menahu. Mereka tidak mau memberikan keputusan.

“Tunggu mas Abdul pulang saja, Mbak Dewi,” ucap Rasti. Ia merasa ngeri kepada Dewi yang sampai minta digeledah. Takut dikira bahkan difitnah membawa barang berharga dari sana.

“Bentar coba, saya telepon mas Abdul dulu,” pamit Rasti, tapi Resti sang adik berdalih, ponsel mas Abdul ada di meja tamu. Mas Abdul tidak membawa ponsel.

“Ya sudah Mbak, tunggu dulu. Soalnya, saya takut salah,” ucap Rasti yang meminta Dewi untuk menunggu.

Dewi tersenyum canggung sambil mengangguk-angguk. “Iya, Non. Saya tunggu di depan, di teras. Silakan, dicek dulu barang-barang saya, Non.” Dewi sengaja menurunkan Alif. Begitu pun dengan Utari.

Rasti dan Resti yang awalnya sungkan memeriksa, terpaksa melakukannya. Demi keamanan bersama, keduanya pun memeriksa barang-barang Dewi yang memang tak seberapa. Selain itu, pakaian yang dipakai Dewi, Alif, dan juga Utari juga tak luput dari pemeriksaan. Sebenarnya Dewi merasa sangat nelangsa mengalami semua itu. Namun Dewi ingat, sampai kapan pun dirinya akan merasakan diperlakukan semena-mena, selama dirinya bukan siapa-siapa apalagi bukan bos.

Selanjutnya, yang Dewi lakukan ialah menunggu. Namun, sampai petang melanda, tak ada tanda-tanda mas Abdul akan pulang. Padahal, Alif dan Utari saja sampai ketiduran di pangkuan Dewi.

“Masya Allah banget ya. Semoga lelahku berkah, ... dan anak-anakku pun jadi orang sukses!” batin Dewi sambil menyeka air matanya yang berlinang membasahi pipi.

Di teras rumah, Dewi hanya bertiga dengan anaknya. Karena memang, semua sopir sudah pergi bekerja dengan mobil travel masing-masing.

Karena tetap tidak ada kepastian sementara waktu sudah makin malam, Dewi sengaja mengetuk rumah. Pintu yang sedari awal Dewi menunggu di teras sudah langsung dikunci, akhirnya terbuka.

“Kalau begitu saya pamit saja yah, Non. Sudah malam, sepertinya mau turun hujan juga,” ucap Dewi kepada Rasti.

“Ya sudah tinggal di sini dulu. Tunggunya di kamar belakang saja,” sergah Rasti.

Dewi yang memang sudah trauma pada pertolongan apalagi bergantung pada orang lain, langsung menggeleng. “Terima kasih banyak, Non. Namun mohon maaf, saya takut merepotkan.”

Dewi bahkan tak meminta uang bayaran. Ia pergi dengan kelegaan lantaran merasa, tugas dan kewajibannya di rumah keluarga mas Abdul, sudah selesai. Yang terpenting bagi Dewi, dirinya sudah meminta maaf sekaligus mengucapkan terima kasih melalui Rasti.

Langit sudah makin gelap. Semilir angin khas akan turun hujan, juga mulai tak bersahabat. Beruntung, Dewi memakaikan celana panjang lengkap dengan kaus kaki kepada Alif. Hingga putranya harusnya tak begitu kedinginan. Dewi terus melangkah cepat, meski lagi-lagi ia tak memiliki tujuan. Akan tetapi, sebuah mobil kijang warna hitam, mendadak berhenti padahal sudah melewati Dewi.

“Bentar, ... mobil ini kelihatan enggak asing,” batin Dewi sambil tetap melangkah melewati mobil yang sesekali ia lirik.

“Wi ..?!” Itu suara pak Mahmud dan Dewi langsung mengenalinya.

“Eh bener, itu pak Mahmud! Pantas saja mobilnya enggak asing. Mending aku pura-pura enggak dengar saja!” batin Dewi sengaja mempercepat langkah.

“Wi, tunggu, Wi! Akhirnya kita bertemu!” Pak Mahmud sampai berlari dan berhenti di depan Dewi. Alasan yang membuat Dewi tak bisa pergi.

Setelah mengambil sebuah amplop besar dari dalam mobilnya, pak Mahmud kembali menghampiri Dewi. “Saya sudah berhasil membuatmu resmi bercerai dari Prasetyo. Sementara akta cerainya, paling lambat satu minggu lagi akan keluar!” sergah pak Mahmud sangat bersemangat.

“Nih orang sebenarnya kenapa?” pikir Dewi yakin, ada udang di balik batu alias maksud lain dari apa yang pak Mahmud lakukan untuknya.

“Namun saya minta imbalan, Wi. Ibaratnya, ini menjadi barter!” sergah pak Mahmud.

“Sudah kuduga. Belum apa-apa, dia sudah sibuk menjelaskan. Pasti darurat banget!” yakin Dewi sampai detik ini hanya berbicara dalam hati.

Pak Mahmud menghela napas panjang sekaligus dalam. “Begini Wi ... sebenarnya alasan saya mengusir kamu dari rumah. Karena ... istri saya meminta saya menikahi kamu. Karena memang, selain tidak bisa memberi saya keturunan, istri saya juga punya penyakit fatal. Usia istri saya sudah tidak lama, Wi. Sementara harapan terakhirnya ialah melihat saya bahagia dengan wanita yang tepat.”

“Dan ... wanita yang tepat pilihan istri saya itu kamu.”

Setelah menyimak serius ucapan pak Mahmud, Dewi menggeleng tegas. “Jangan bawa-bawa saya ke urusan kalian, Pak. Apalagi sampai menjadikan saya orang ketiga dalam hubungan kalian. Saya mohon ... jangan!” ucap Dewi lirih tapi tegas.

Pak Mahmud berangsur menggeleng. “Hanya pura-pura, Wi. Sampai istri saya kembali sehat!” mohon pak Mahmud.

Lagi-lagi Dewi menggeleng tegas. “Tidak, Pak! Saya tidak mau bermain api. Apalagi saya tidak hanya sendiri. Ada dua anak yang harus saya hidupi. Saya harus menjaga mental sekaligus masa depan anak saya. Karena sampai kapan pun, bahkan meski niatnya hanya pura-pura, ... orang ketiga identik dengan duri!”

“Saya tidak mau menghancu.rkan masa depan saya apalagi masa depan kedua anak saya. Lebih baik saya jadi gelandangan seumur hidup, ketimbang hidup berkecukupan tapi jadi orang jahat!” tegas Dewi. “Mengenai keinginan istri Bapak dan juga penyakitnya, pasti tetap ada solusi lain selain pernikahan Bapak dan saya.”

Dewi benar-benar pergi seiring kedua anaknya yang sibuk merengek karena terbangun dari tidur. Pak Mahmud melepas kepergian Dewi dengan tatapan berat. Sementara di tempat berbeda, di sebuah ruang rawat, akhirnya ibu Safangah siuman. Mas Abdul dan Humanira yang terjaga langsung tersenyum lega. Keduanya tak hentinya memanjatkan syukur. Meski permintaan ibu Safangah kepada mas Abdul, membuat pemuda itu dilema.

“Menikahlah dengan Mega. Agar Mama bisa pergi dengan tenang. Karena Mega pasti bisa jadi gantinya Mama buat adik-adik kamu,” mohon ibu Safangah yang sekadar bernapas saja masih dibantu dengan selang oksigen.

Meski wajah mas Abdul langsung suram, ibu Safangah sengaja memaksa putranya untuk mau menjalani perjodohan dengan Mega.

1
Sulfia Nuriawati
polisi zaman batu btl² mengerikan, mental jg akhlaknya hancur, g perlu sidang pk hukum rimba lbh bgs, yg kuat yg bener, skrg jg gt cm terttp tp tetap bs d lht masyarakat cm skrg lbh cuek tp skalinya deterjen yg bertindak hbs bersih d cuci semua
Sulfia Nuriawati
zaman knil polisinya cr mudah eh skrg byk oknum polisi yg cr uang menjual keadilan, jd g ada yg brbh ttp sm cm beda kasus jg sikonnya
Sulfia Nuriawati
Luar biasa
Eric ardy Yahya
miskin tuh keluarga Prasetyo . padahal sudah ketahuan keluarga Prasetyo tuh aslinya MOKONDO . eh masih saja dianggap benar sama mereka. memang ya keluarga Prasetyo semuanya bodoh
Eric ardy Yahya
salah Prasetyo sendiri yang otak udang , apalagi keluarganya yang sok merasa hebat tuh , punya anak tapi MOKONDO .
Eric ardy Yahya
memang ya si Prasetyo tuh keluarga MOKONDO . hey Pras , memangnya kalau cowok bersih rumah dianggap malu ? justru kalian sebagai cowok juga harus bisa berbakti pada istri , jangan karena pikir cewek bersih rumah kalian bisa santai tanpa buat apa-apa? kalian salah besar karena kalian tuh pemalas
Eric ardy Yahya
orang gila tuh si Prasetyo . memang dah ada ya keluarga macam ini yang otaknya gak pernah dipakai dan masih anggap dia paling benar .
Eric ardy Yahya
orang bodoh kayak keluarga Prasetyo , pantas dikasih hukuman disiksa tuh . biar tau rasa gimana dibilang benalu sama orang lain .
Ibrahim Efendi
daku gak ada komen apa2 ya thor. masih terus menikmati membaca karya author ini.🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏😁
Dorce
mau dong Thor
Dorce
waduh pak Mahmud ...sadar diri
dong
Dudeh Hamidah
Luar biasa
Hilmiya Kasinji
ini roman2 nya si Mijo rada gak bener nich . jadi curiga si Mijo main api
Hilmiya Kasinji
tega banget ya mbok e mas Abdul . pdhl disaat dia terpuruk kan mas Abdul yg berjuang
Hilmiya Kasinji
Luar biasa
Hilmiya Kasinji
nah itu baru bener mbak Dewi , buat apa bertahan kalo anak tetep jadi korban
Hilmiya Kasinji
mbak Dewi bertahan demi bisa anaknya gak jadi seperti dia ... tapi apa mbak Dewi gak bisa berfikir , lawong si alif aza sering dipukuli sama bapak dan keluarganya . kalo seperti itu kan lbh parah daripada masa kecil mbak Dewi . bisa ngrusak mental Alif juga
Hilmiya Kasinji
ijin baca kak
Dorce
badai pasti berlalu
org sabar dan baik seperti mereka
pasti akan bahagia
Kadek Yuni
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!