Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Belanja Sembako Untuk Yatim Piatu
Aku fikir, tuan Bimo akan berlaku kasar pada kak Riska, atau setidaknya melontarkan kata-kata penghakiman karena sudah mengatainya tua, bahkan pantas menjadi ayahku, ternyata tidak, aku salah.
Aku patuh saat dia menarik tanganku naik ke mobil mewahnya, dan duduk disebelah kemudi.
Dari spion kulihat wajah kak Riska masih memucat, padahal tuan Bimo tidak melakukan apapun. Kak Riska terus memandangi mobil kami yang melaju pergi, begitu pula dengan kak Heru, Mirna, dan para mahasiswa yang ada didepan gerbang kampus.
Keheningan cukup lama tercipta diantara kami, akupun enggan untuk membuka suara.
"Maaf."
Aku menoleh. Suara rendah, dalam, dan berat itu adalah suara tuan Bimo. Pandangan pria itu tetap lurus kedepan, seolah tidak sedang berbicara padaku.
"Maaf untuk apa Daddy?"
Ekspresi datar tuan Bimo spontan berubah, aku dapat melihatnya dengan jelas rona wajahnya, tapi pria itu berusaha bersikap biasa saja, masih tidak menoleh kearahku.
"Sudah membuat situasimu tidak nyaman di kampus itu. Sebaiknya kamu pindah saja dari sana, aku akan memilihkan kampus lainnya, yang kualitasnya tidak kalah baiknya dengan kampusmu yang sekarang."
Aku terdiam, ada banyak hal yang aku fikirkan.
"Kamu memikirkan biaya?" tanyanya, membuyarkan lamunanku.
"Tentu saja, aku bahkan punya utang tujuh puluh juta yang baru aku ketahui dari bude Romlah selain utang satu daun pintu pada Daddy yang sampai sekarang belum aku angsur karena belum punya pekerjaan. Belum segepok uang yang tiba-tiba ada dalam dompetku dengan nilai fantastis," sindirku.
Tidak ada suara darinya menanggapi ucapanku barusan, sampai kami tiba di Big mall, mall terbesar dikota ini.
"Kita makan dulu, kamu pasti lapar," tuan Bimo memarkirkan mobilnya pada puncak mall ini. Sepertinya, ini area parkir khusus kalangan elite, begitu fikirku saat melihat mobil-mobil mewah yang ku taksir harganya fantastis berjejer rapi disana.
"Aku masih kenyang setelah makan dikantin kampus menggunakan selembar uang dari gepokan itu. Itu pun masih banyak kembaliannya," jujurku, kembali berujar dengan nada sindiran.
"Kalau begitu, kamu bisa memulai pekerjaanmu sekarang," tuan Bimo gegas keluar dari mobilnya. Akupun cepat membuka pintu disebelahku untuk menyusulnya, penasaran apa yang ia maksudkan barusan.
"Pekerjaan apa?" tanyaku memastikan, mengejar langkah cepat tuan Bimo memasuki lift mall didepan kami.
Angin dipuncak mall ini terlalu kencang, membuatku khawatir akan diterbangkan, aku sedikit lega begitu sudah berada didalam lift. Aku berdiri memberi jarak, karena hanya aku dan tuan Bimo saja didalam sana.
"Aku mau kamu memilih paket lengkap sembako untuk keperluan satu keluarga," ucap tuan Bimo, saat langkah kami memasuki supermarket.
"Untuk apa?" tanyaku heran.
"Aku mau memberi bantuan pada yatim piatu. Kamu bilang, kamu dan adik-adikmu adalah anak yatim piatu, kamu pasti tahu apa yang paling mereka butuhkan," tuan Bimo menarik satu troli lalu berjalan masuk lebih dalam ke supermarket.
Mulia sekali hatinya, aku membatin. Tanpa banyak tanya, aku segera melakukan apa yang tua Bimo minta.
"Ini, yang harus ada didapur," aku menunjuk tumpukan karung beras berisi 10 kg dan dirigen 5 liter minyak goreng yang berjejer rapi didekat kami berdiri.
Tanpa bersuara, tuan Bimo mengangkat lima karung beras, memasukannya kedalam troli dengan tangannya sendiri, begitu pula minyak goreng kemasan dirigen 5 liter dengan jumlah yang sama dengan jumlah karung beras.
Sementara aku, mengambil garam beryodium, gula pasir, bumbu-bumbu dapur dan kawan-kawannya yang lain, tidak lupa 5 kaleng besar susu kental manis dan tepung.
Kami mengantri dikasir dengan tiga troli penuh, seumur hidup baru kali ini aku belanja sembako sebanyak ini.
"Total belanjaannya 7.933.259 rupiah Tuan."
Aku ternganga mendengar jumlah angka yang disebutkan oleh sang kasir. Tuan Bimo mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dan memberikannya pada kasir tadi untuk membayar.
"Nona, tolong siapkan 240 paket lagi, sembako sama persis seperti yang saya bayarkan ini."
Tentu saja mulutku makin terbuka lebar mendengarnya, apalagi sang kasir langsung menyetujuinya, memanggil beberapa karyawan dan security untuk segera menyiapkan yang diminta oleh tuan Bimo.
"Kalau kamu belum lapar, temani aku makan saja," tuan Bimo memilih salah satu meja direstoran dekat supermarket tadi.
"Aku menerimamu sebagai salah satu OB dikantorku, sesuai surat lamaran yang kamu sampaikan waktu itu," lanjutnya, setelah pelayan pergi meninggalkan kami, membawa kertas pesanan yang ditulis oleh tuan Bimo.
"Luangkan satu hari untuk besok, membagikan 240 paket sembako itu pada nama-nama yang tertera di lembaran ini," dari saku jasnya, tuan Bimo mengeluarkan lipatan kertas dan memberikannya padaku.
Satu persatu-satu kubaca nama-nama yang begitu familiar.
"Daftar nama ini... dari mana Tuan mendapatkannya?" aku menatap tuan Bimo, rautnya berubah.
"Kenapa panggilanmu jadi berubah lagi?" nadanya tidak senang.
"Sekarang, saya sebagai OB, bukankah begitu Tuan?"
"Tetap saja, tidak boleh berubah," tandasnya, tak mau dibantah.
Aku menghembuskan nafasku.
"Baiklah... Daddy..." pasrahku.
Tadinya aku sudah senang karena berfikir pria itu sudah mengangkatku sebagai OB, pekerjaan yang cukup terhormat dibandingkan menjadi sugar baby-nya.
"Dari mana Daddy mendaptkan semua daftar nama ini?" ulangku bertanya.
"Ketua RT 4 kampung Rawa Indah, pak Eko. Tadi siang dia menemuiku."
Aku menatap tuan Bimo sesaat, terbesit rasa iba muncul diruang hatiku untuknya. Semudah itukah pria yang aku yakini bukan orang bodoh ini tertipu oleh seorang pria biasa? Yang bahkan tidak memiliki ijazah Sekolah Dasar seperti pak Eko? Haruskah aku jujur padanya, kalau semua daftar nama itu adalah bukan anak yatim piatu?
"Kenapa menatapku seperti itu?" tuan Bimo mendongakkan wajahnya setelah selesai memeriksa ponsel pintarnya.
"Daftar nama itu... Itu bukan anak yatim piatu. Apa Daddy tahu itu?" aku memutuskan untuk jujur.
"Aku tahu, mereka adalah para kepala keluarga dan beberapa janda tua yang dianggap yatim piatu oleh pak Eko. Karena benar, mereka memang sudah tidak memiliki orang tua lagi. Selain itu, mereka juga termasuk dalam keluarga ekonomi sulit yang memang butuh bantuan sembako."
"B-bagaimana Daddy bisa tahu?" aku tercengang.
"Aku sudah mendapat konfirmasi dari pak Marko, lurah Kampung Rawa Indah," tuan Bimo memperlihatkan hasil chat-nya dengan pak Marko, lurah Kampungku, di ponselnya.
"Pria ini..." aku menatap tuan Bimo dalam diam, saat pria itu mengambil kembali ponselnya dari tanganku, karena ada orang yang menelponnya.
"Ternyata dia lebih pintar dan lebih cerdik dari yang ku kira."
Bersambung...✍️
🤣