Berawal dari kesalahan yang Faiz Narendra lakukan di masa lalu, membuat hidup Keluarga Narendra terancam bahaya.
Berbagai teror, dan rentetan penyerangan dilakukan secara diam-diam, oleh pelaku misterius yang menaruh dendam kepadanya.
Namun bukan hanya pelaku misterius yang berusaha menghancurkan Keluarga Narendra.
Konflik perebutan pewaris keluarga, yang dilakukan oleh putra sulungnya, Devan Faiz Narendra, yang ingin menjadikan dia satu-satunya pewaris, meski ia harus membunuh Elvano Faiz Narendra, adik kandungnya sendiri.
Sedangkan Elvano yang mulai diam-diam menyelidiki siapa orang yang meneror keluarganya. Tidak sengaja dipertemukan, dengan gadis cantik bernama, Clarisa Zahra Amanda yang berasal dari keluarga sederhana, dan kurang kasih sayang dari ayahnya selama hidupnya.
Ayah Clarisa, Ferdi tidak pernah menyukai Clarisa sejak kecil, hanya karena Clarisa terlahir sebagai anak perempuan. Ferdi lebih menginginkan bayi laki-laki untuk meneruskan keturunannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laksamana_Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Faiz sedang duduk di ruang kerjanya sambil menatap ponselnya dengan wajah tegang. Ia merasa penasaran mengapa Devan menolak Elvano untuk bergabung dengan perusahaan yang ia pimpin.
Padahal Faiz merasa sangat yakin, jika bergabungnya Elvano akan membawa perusahaan mereka ke level yang lebih tinggi.
Dengan perasaan gelisah, Faiz memutuskan untuk mencari tahu langsung dari Devan mengapa ia menolak Elvano.
Dengan langkah cepat, ia mengetuk pintu ruang kerja Devan dan masuk tanpa menunggu izin.
Ceklek
Devan yang tengah sibuk menghadapi beberapa dokumen penting di meja kerjanya, terkejut saat melihat ayahnya yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Ayah" kaget Devan berdiri dari tempat duduknya.
"Ada apa, Yah? Ada yang bisa Devan bantu? tanya Devan
Faiz tersenyum kepadanya, mencoba membuat suasana menjadi lebih santai meskipun sebenarnya hatinya masih gelisah.
"Ayo duduk, Devan. Ada sesuatu yang ingin ayah bicarakan denganmu" ucap Faiz sambil duduk di kursi sofa di depan meja Devan.
Devan terdiam sejenak sebelum akhirnya duduk di kursi di seberang Faiz.
"Ada apa, Yah? Apakah ada masalah yang harus kita bicarakan?" tanya Devan
Faiz menggelengkan kepala "Tidak, tidak ada masalah. Ayah hanya ingin tahu mengapa kamu menolak adikmu untuk bergabung dengan perusahaan kita?"
Devan menatap ayahnya dengan ekspresi terkejut. Ia tidak menyangka bahwa keputusannya tersebut akan menjadi perhatian ayahnya. Devan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Ayah, Elvano masih terlalu labil. Dia perlu fokus dengan kuliahnya sekarang" balas Devan.
"Tapi Elvano sudah dewasa dan memiliki potensi besar untuk berkembang di perusahaan kita. Apa yang membuatmu ragu?" tanya Faiz
"Ayah, aku khawatir Elvano tidak siap menghadapi tekanan di dunia kerja. Dia cepat frustrasi dan mudah putus asa. Lebih baik dia fokus dengan pendidikannya dulu" ujar Devan mencoba menyakinkan ayahnya untuk setuju menolak rencana adiknya yang bersikeras masuk kedalam perusahaan.
Faiz merenung sejenak dan akhirnya mengangguk mengerti, meski ada rasa kecewa yang terlihat di wajahnya.
"Baiklah, Devan. Tapi aku harap kamu bisa membimbing Elvano agar semakin siap menghadapi dunia kerja nanti" pinta Faiz berdiri dan keluar dari ruang kerja Devan
"Baik ayah" balas Devan tersenyum.
Namun senyuman Devan perlahan hilang dan menjadi dingin, ketika melihat punggung ayahnya sudah tidak terlihat lagi.
"Tapi ayah, meski begitu aku tidak akan pernah setuju, jika Elvano masuk ke perusahaan, dan membuat posisiku terancam. Karena aku mau cuma aku saja pewaris satu-satunya Perusahaan Narendra Grup" gumam Devan tersenyum licik
Devan Faiz Narendra adalah putra sulung dari Keluarga Narendra, seorang pemuda berkarismatik dengan paras tampan dan postur tinggi. Sejak kecil, Devan telah diajarkan oleh ayahnya untuk siap menjadi pemimpin perusahaan keluarga di masa depan. Dia memiliki ambisi besar untuk menjadi penerus dan pewaris keluarga tersebut. Namun, kehadiran adiknya Elvano membuatnya gelisah.
Devan selalu merasa bahwa Elvano hanya akan menjadi hambatan dalam mewujudkan mimpinya. Bagi Devan, Elvano hanya akan menjadi beban bagi keluarga dan perusahaan. Dia merasa bahwa membagi perusahaan menjadi dua sama halnya dengan mengurangi kesempatan dan kekuasaan yang akan dia miliki di masa depan.
Terlebih melihat ayahnya saat ini, yang terlihat begitu berharap Elvano bisa ikut bergabung ke dalam perusahaan, cuma karena terkesan dengan sikap, dan cara Elvano di rapat investor tadi pagi. Dan membuat seakan-akan posisi Devan sebagai calon CEO selanjutnya menjadi terancam.
Devan perlahan berjalan menuju jendela ruang kerjanya, sambil memasukan kedua tangannya kedalam saku celana.
Ia memikirkan bagaimana cara agar adiknya tidak bisa bergabung ke Perusahaan Narendra Grup.
Entah ia harus mengusirnya, mengirim Elvano jauh dari Keluarga Narendra, atau ia harus membunuh adik kandungnya sendiri.
Tok
Tok
Tok
"Masuk" perintah Devan ketika seseorang mengetuk pintu ruangannya, dan ternyata itu Kevin.
"Tuan Devan" sapa Kevin seraya membungkuk hormat.
"Hmm, ada urusan apa?" tanya Devan
"Maaf Tuan Devan, sepertinya proyek pembangunan pabrik terkendala, karna warga sekitar menolak menjual tanah mereka" lapor Kevin.
"Apa?! Bagaimana bisa mereka menolak? Kita butuh tanah itu untuk proyek pembangunan!" kesal Devan.
"Mereka mengaku jika tanah itu turun temurun dan memiliki nilai sejarah yang penting bagi mereka, tuan. Sehingga mereka bersikeras menolak menjualnya, meski kita membayar tiga kali lipat" ujar Kevin
"Ck, DASAR BISA KERJA GAK SIH !!!" bentak Devan.
"Maaf tuan" ucap Kevin memohon maaf seraya membungkuk.
"Maaf katamu hah?" Devan berjalan mendekati Kevin.
Bugh...
"Arghh" ringis Kevin ketika Devan memukul perutnya.
"Dengarkan saya baik-baik, saya tidak mau tau, cepat selesaikan pekerjaanmu atau kamu saya pecat" ancam Devan.
"Tuan Devan, tenanglah. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah ini. Kita harus cari solusi yang lebih bijaksana"ucap Kevin sambil berusaha berdiri
Devan menghela napas "Baik, jika begitu. Segera gusur saja lahan mereka. Kita tidak bisa terus menerus terhambat oleh keegoisan mereka"
"Tetapi tuan, bagaimana dengan hukum dan moralitas?" tanya Kevin yang merasa keberatan atas perintah Devan.
"Hukum dan moralitas adalah hal yang bisa dibeli, Kevin. Kita memiliki kekuasaan dan uang untuk mengatasi semua itu. Jadi segera lakukan apa yang saya katakan!" perintah tegas Devan.
"Baik Tuan, saya akan segera melaksanakan perintah Anda" ucap Kevin, dan bergegas meninggalkan ruang kerja Devan
gak bisa berkata kata banyak