NovelToon NovelToon
Alter Ego Si Lemah

Alter Ego Si Lemah

Status: tamat
Genre:Tamat / Ketos / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Chicklit
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?

walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?

Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mimpi lagi

Happy reading guys :)

•••

“Ini di mana?”

Vanessa memperhatikan sekeliling, melihat warna putih yang memenuhi sebuah ruangan tempat dirinya berada sekarang.

Vanessa perlahan-lahan mulai melangkahkan kaki ke salah satu arah, masih terus mengamati ruangan itu.

Suara Valeria terdengar menggema di dalam ruangan itu, membuat Vanessa yang masih sibuk mengamati sekeliling sontak menoleh, mencari asal dari suara sang kakak.

“Kak Vale,” panggil Vanessa.

“Adek, sini.”

Kedua mata Vanessa terkunci pada pintu yang berada di ujung ruangan saat mengetahui sumber suara sang kakak dari arah sana.

Perlahan demi perlahan Vanessa mulai berjalan menuju pintu itu, dengan terus mendengar suara sang kakak yang sedang memanggil-manggil namanya.

Vanessa memegang gagang pintu, lalu membukanya dengan perlahan.

Kedua mata Vanessa berbinar dan melebar sempurna, ujung bibirnya tertarik, membuat gadis itu mengukir sebuah senyuman bahagia kala melihat sesuatu di depan sana.

Kaki Vanessa mulai melangkah keluar dari dalam ruangan, kedua matanya melihat sekeliling dengan terus menunjukkan senyum kebahagiaan.

“Kak Vale,” panggil Vanessa, saat melihat sang kakak yang sedang berjongkok di depan sebuah kolam ikan yang begitu indah.

Valeria tidak menjawab panggilan dari sang adik. Dia masih terus sibuk memberi ikan-ikan yang berada di dalam kolam makan, seraya tertawa kecil saat ikan-ikan itu memakan makanan yang telah dirinya berikan.

Vanessa berjalan mendekati Valeria saat sang kakak tidak merespons panggilan darinya. Ia berjongkok di samping tubuh Valeria, melihat aktivasi yang sedang sang kakak lakukan saat ini.

“Kakak,” panggil Vanessa lagi, sembari menatap wajah sang kakak yang terus tertawa kecil.

Valeria menghentikan tawanya, lalu menoleh ke arah sang adik. “Hai, Dek, kamu udah pulang dari kantor polisi?”

Kening Vanessa mengerut, merasa sangat bingung dengan pertanyaan yang baru saja sang kakak lontarkan. “Kakak tau kalo adek baru dari kantor polisi?”

Valeria menganggukkan kepala, meraup pakan ikan yang berada di dalam plastik menggunakan tangan kanan, lalu menaburkannya ke kolam.

“Kakak tau. Kakak juga tau kalo tadi kamu habis dikejar-kejar sama orang,” jawab Valeria, menunjukkan senyuman tipis.

Kedua mata Vanessa sontak melebar sempurna saat mendengar jawab dari sang kakak. “Kakak tau dari mana?”

Valeria menggelengkan kepala, bangun dari posisi jongkok, menggenggam tangan kanan sang adik, lalu membawa Vanessa berlari menuju sebuah permainan perosotan yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berada sekarang.

“Kamu gak perlu tau kenapa Kakak bisa tau semua yang kamu alami. Yang perlu kamu tau sekarang cuma satu, Dek, kakak akan selalu ngelindungin kamu,” jawab Valeria, di sela larinya.

Valeria berhenti berlari saat telah berada di depan permainan perosotan. Ia menoleh ke arah samping, melihat wajah cantik milik sang adik.

“Adek mau main gak?” tanya Valeria.

Vanessa menggelengkan kepala pelan. “Nggak mau. Adek takut naik perosotan.”

Mendengar jawaban Vanessa, membuat Valeria diam beberapa saat, memegang dagu menggunakan jari telunjuk tangan kiri, lalu melihat ke sekeliling.

Di sekeliling Valeria dan Vanessa, kini terlihat banyaknya bunga yang sedang bermekaran. Selain bunga, juga terlihat banyak pepohonan rindang dan berbagai macam jenis permainan anak-anak.

“Adek, kita duduk di sana aja, yuk,” ajak Valeria, menunjuk sebuah kursi panjang yang terletak di depan banyaknya bunga matahari.

Vanessa mengikuti arah tunjuk sang kakak, lalu menganggukkan kepala pelan. “Ayo, Kak.”

Valeria tersenyum lebar, berlari mendekati kursi panjang itu dengan diikuti oleh sang adik di belakangnya.

Sesampainya di kursi panjang, Valeria dan Vanessa mendudukkan tubuh mereka di sana, lalu melihat serta menikmati keindahan yang ada di depan mereka saat ini.

“Udaranya segar banget, Dek.” Valeria menutup mata, menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa.

Vanessa tersenyum lebar, lalu ikut menutup mata. “Iya, Kak, segar banget udaranya.”

Beberapa menit berlalu, Valeria dan Vanessa masih terus menikmati hembusan angin segar yang menerpa tubuh mereka, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya.

Valeria perlahan-lahan mulai membuka mata, menatap ke arah sang adik yang masih terus menutup mata. Ia tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan kanan Vanessa.

“Dek, kamu mau tau sesuatu gak?” tanya Valeria, mengelus lembut punggung tangan Vanessa.

Vanessa membuka mata, menatap sang kakak dengan penuh tanda tanya. “Sesuatu apa, Kak?”

“Sesuatu yang sangat penting buat kamu. Gimana? Kamu mau tau gak?” Valeria menatap lekat wajah sang adik, seraya memperbaiki beberapa helai rambutnya yang berantakan akibat tertiup oleh angin.

Vanessa diam beberapa saat. Ia mengamati wajah cantik milik sang kakak sembari di dalam hati bertanya-tanya tentang sesuatu yang akan ditunjukkan oleh kembarannya itu.

Melihat Vanessa yang hanya diam, membuat Valeria menangkup wajah cantik milik sang adik, lalu mengelus kedua pipinya dengan lembut. “Adek, gimana?”

Dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, Vanessa perlahan-lahan mulai menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Senyuman bahagia terukir di wajah Valeria saat melihat sang adik menganggukkan kepala. Ia lalu dengan segera menyatukan dahinya dan dahi Vanessa.

“Adek, kalo kamu mau tau sesuatu yang akan kakak katakan, tolong kamu beri akses untuk Kakak agar bisa masuk ke dalam pikiran kamu,” ujar Valeria, menatap lekat kedua mata Vanessa dari jarak yang sangat dekat.

“Caranya, Kak?” tanya Vanessa, merasa bingung dan tidak paham dengan apa yang sudah sang kakak katakan.

“Tutup mata kamu, Dek. Konsentrasi, biarkan semua hal tentang Kakak masuk ke dalam pikiran kamu, dan jangan ada yang kamu takuti,” jelas Valeria, seraya mengelus kepala bagian belakang Vanessa.

Vanessa mengangguk pelan, perlahan-lahan mulai menutup mata, membiarkan semua ingatan tentang sang kakak masuk ke dalam pikirannya. Namun, ada satu ingatan yang tidak bisa Vanessa biarkan untuk masuk, ingatan itu adalah tentang kecelakaan yang menimpa dirinya, Valeria, dan kedua orang tuanya.

Tubuh Vanessa bergetar, air mata mulai turun membasahi kedua pipinya, mengingat tentang kejadian itu membuat rasa trauma yang dahulu dimiliki oleh Vanessa perlahan-lahan mulai kembali hadir.

“Adek, fokus, biarkan semuanya masuk ke dalam pikiran kamu, semua hal yang menyakitkan harus bisa kamu maafin,” ujar Valeria, masih terus memberikan elusan lembut di kepala bagian belakang Vanessa.

Vanessa menggigit bibir bawah, mengerutkan kening, berusaha untuk menerima ingatan tentang kecelakaan yang telah merenggut nyawa ketiga anggota keluarganya.

Beberapa menit berlalu, perlahan-lahan ingatan tentang kecelakaan itu mulai bisa Vanessa maafkan, walaupun memerlukan waktu yang cukup lama.

Hembusan angin yang sangat kencang menerpa tubuh Vanessa, membuat gadis itu merasakan kenikmatan yang sangat tiada tara.

Vanessa perlahan-lahan mulai membuka kedua matanya, dan pemandangan pertama yang dirinya lihat adalah langit-langit kamarnya.

“Mimpi lagi,” gumam Vanessa, seraya menutupi wajah menggunakan tangan kanan.

Suara alarm pada jam digital yang terletak di samping kasur Vanessa berbunyi, membuat gadis itu menjauhkan tangan kanan dari wajahnya, dan melihat ke arah sumber suara.

“Udah jam setengah enam,” gumam Vanessa, perlahan-lahan mulai bangun dari posisi tidur, menggerakkan tangan kanan untuk mematikan alarm yang masih terus berbunyi.

Setelah mematikan alarm, Vanessa diam sejenak, memikirkan semua mimpi yang baru saja dirinya alami. Menurut Vanessa, mimpi yang barusan dirinya alami benar-benar sangat berbeda, karena sekarang tubuh dan pikirannya seperti menjadi lebih segar. Bahkan, ia seperti sudah dapat berdamai dengan semua trauma masa lalu yang selama ini dirinya buang.

“Makasih, Kak,” gumam Vanessa, mengukir senyuman manis di wajah cantiknya, lalu bangun dari posisi duduk dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka bantalnya.

Beberapa menit berlalu, Vanessa keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah yang sudah sangat segar dan berseri-seri. Ia melangkahkan kaki menuju pintu kamar, membuka, dan keluar dari dalam ruangan pribadinya itu.

Vanessa bersenandung kecil di sela-sela menuruni satu per satu anak tangga.

Sesampainya di lantai bawah, Vanessa melangkahkan kaki menuju ke arah dapur saat mencium aroma wangi dari sana.

“Selamat pagi, Kakak,” sapa Vanessa, melihat Galen yang sedang sibuk menumis sesuatu di dalam wajan.

Mendengar suara Vanessa, Galen sontak menoleh ke arah belakang, tersenyum tipis saat mendapati sang adik yang sedang berjalan mendekatinya dengan terus mengukir senyuman manis di wajah.

“Pagi juga, Dek,” sapa balik Galen, seraya mengecilkan api pada kompor.

Vanessa menghentikan langkah kaki saat sudah berada di samping Galen, lalu melihat sesuatu yang sedang sang kakak masak di dalam wajan.

“Kakak lagi masak apa? Adek bantuin, ya?” tanya Vanessa, mengalihkan pandangan ke arah Galen.

“Kakak lagi masak tumis ayam, Dek.” Galen menggelengkan kepala pelan. “Nggak usah, Adek duduk aja di meja makan, sebentar lagi masakannya udah matang, kok.”

Mendengar jawaban dari sang kakak, membuat Vanessa perlahan-lahan mulai memanyunkan bibir, merasa sedikit kecewa karena tidak dapat membantu sang kakak membuat sarapan pada pagi ini.

Galen terkekeh pelan saat melihat bibir Vanessa yang telah memanyun. Ia mematikan kompor, menaruh spatula yang sedang dirinya pegang ke dalam wajah, lalu mencubit pelan kedua pipi sang adik karena merasakan kegemasan.

“Jangan sedih. Kamu kalo mau bantu Kakak, tolong taruh piring di atas meja,” ujar Galen, mengelus kedua pipi sang adik yang barusan dirinya cubit.

Wajah Vanessa kembali berseri-seri dan bersemangat setelah mendengar perkataan sang kakak. Ia dengan cepat melepaskan wajahnya yang sedang di elus oleh sang kakak, lalu berjalan mengambil beberapa piring dari dalam lemari dan membawanya ke meja makan.

Vanessa berkacak pinggang, menunjukkan senyuman puas kala melihat beberapa piring yang telah dirinya susun rapi di atas meja makan.

“Udah selesai?” tanya Galen, berjalan mendekati Vanessa dengan membawa makanan yang telah dirinya masak.

Vanessa menoleh ke arah belakang, lalu menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Galen menaruh piring berisi tumis ayam di atas meja. “Ya, udah. Ayo, kita sarapan.”

Vanessa kembali menganggukkan kepala, mendudukkan tubuh di salah satu kursi meja makan dengan diikuti oleh Galen.

Kakak dan adik itu mulai menikmati sarapan bersama, dengan disertai obrolan ringan dan candaan guna menghilangkan rasa sunyi yang kemungkinan akan melanda.

To be continued :)

1
Sean71
ceritanya bagus kok
sering sering bikin novel kek gini ya thor😁😁
Sean71: ok thor di tunggu hehe
Musoka: Makasih, kak. tunggu karya author selanjutnya, ya
total 2 replies
Sean71
dah tamat... gini aja nih kaga di beri tahu kondisi tubuh Vanesa gimana thor😁😁😁
Musoka: Kondisi tubuh Vanessa author serahkan ke para pembaca, ya. kalian bebas beranggapan Vanessa masih hidup atau udah meninggal
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!