Shereny Claudine, seorang perempuan mandiri dan tegas, terpaksa mencari pekerjaan baru setelah putus dari kekasihnya yang berselingkuh serta kepergian ibunya. Tak ingin bergantung pada siapa pun, ia melamar sebagai pengasuh (baby sitter) untuk seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bernama Arga. Tak disangka, ayah dari Arga adalah Elvano Kayden, pria arogan dan kaya raya yang pernah bertemu dengannya dalam situasi yang tidak menyenangkan. Elvano, seorang pengusaha muda yang dingin dan perfeksionis, awalnya menolak keberadaan Shereny. Menurutnya, Shereny terlalu keras kepala dan suka membantah. Namun, Arga justru menyukai Shereny dan merasa nyaman dengannya, sesuatu yang sulit didapat dari pengasuh sebelumnya. Demi kebahagiaan anaknya, Elvano terpaksa menerima kehadiran Shereny di rumah mewahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larasati Pristi Arumdani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 : Ungkapkan Apa yang Terjadi
Kayyisa melangkah pelan di pinggir jalanan kota, dikelilingi oleh keramaian yang seakan tidak menyentuh hatinya. Lampu-lampu kota bersinar cerah, suara tawa dan canda dari orang-orang di sekitarnya terdengar riuh, tetapi semua itu terasa jauh dan hampa. Dalam hatinya, hanya ada rasa sakit yang mendalam.
"Kenapa ini harus terjadi? Kenapa selalu aku? Kenapa kisah percintaanku selalu tidak berhasil? Dosa apa yang telah aku lakukan dahulu?" pikirnya, sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Setiap langkah terasa berat, seolah bebannya semakin menumpuk di dadanya. Kenangan bersama Alfaro terus menghantui pikirannya, mengingatkan pada momen-momen bahagia yang kini terasa seperti mimpi yang telah hilang.
Dia teringat saat-saat mereka tertawa bersama, berbagi impian dan harapan. "Apakah semua itu sia-sia?" tanyanya dalam hati. Dia tidak bisa memahami mengapa perasaan Alfaro bisa berkurang bahkan menghilang secepat itu. Rasa sakit yang dirasakannya seolah tak terobati, dan dia merasa kehilangan yang begitu dalam.
Saat melewati kafe tempat mereka sering menghabiskan waktu, Kayyisa tidak bisa menahan tangisnya. Dia berhenti sejenak, menatap ke dalam kafe. "Seandainya aku bisa mengubah semuanya," bisiknya, merindukan momen-momen indah yang kini terasa begitu jauh. Ada seorang barista yang melihatnya. Barista laki-laki itu merasa iba melihat Kayyisa. "Tampaknya dia sudah mengikuti putus dengan pacarnya." Bisik barista laki-laki itu di dalam hati. Ketika barista itu ingin menghampiri Kayyisa, Kayyisa melanjutkan langkahnya, mencoba untuk mengalihkan pikirannya dengan memperhatikan sekitar. Barista itupun menghentikan langkahnya dan menghela nafas.
Mobil-mobil berlalu-lalang, orang-orang berjalan dengan tujuan masing-masing, tetapi semuanya tampak membosankan dan tidak berarti baginya. Dia merasa terasing di tengah keramaian. Kayyisa menemukan sebuah bangku di taman dan duduk untuk sejenak. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk mendinginkan pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku seperti hilang arah. Aku seperti sendirian disini." tanyanya pada diri sendiri. Dia merasa bingung dan putus asa, tidak tahu ke mana harus melangkah selanjutnya.
"Apa mungkin aku di takdirkan untuk sendiri sampai mati? Ataukah aku perlu waktu untuk diri sendiri?" pikirnya. Dia tahu bahwa menjalani waktu sendiri adalah langkah yang penting untuk menemukan kembali dirinya, untuk bisa mengatasi rasa sakit ini. Namun, saat ini, semua yang dia inginkan hanyalah memahami perasaannya dan mengapa segalanya terasa begitu menyakitkan.
Dengan air mata yang masih membasahi pipinya, Kayyisa menutup matanya sejenak, berdoa agar waktu bisa menyembuhkan lukanya. "Aku akan belajar untuk mencintai diriku sendiri," dia bertekad, meskipun hatinya masih terasa hancur.
Malam semakin larut, dan Kayyisa tahu bahwa dia harus melanjutkan hidupnya. Meskipun langkahnya terasa berat dan penuh keraguan, dia berusaha untuk bangkit. "Aku harus menemukan kekuatan di dalam diriku, tapi apakah aku bisa? Bisakah aku tanpa Alfaro?" bisiknya, berusaha untuk menenangkan hati yang terluka. Dengan pelan, dia berdiri dan melanjutkan langkahnya, meskipun perasaannya masih penuh dengan kesedihan.
Kayyisa duduk sendirian di bangku taman, merasakan kesedihan yang mendalam setelah perpisahan dengan Alfaro. Dalam pikirannya, ada banyak hal yang mengganggu, termasuk kenangan masa lalunya dengan Bara, mantan kekasihnya. Ketika Bara tiba di sampingnya, dia mengamati wajah Kayyisa yang muram. "Kayyisa, apa yang terjadi? Kamu terlihat sangat sedih," tanyanya, suaranya lembut dan penuh perhatian.
Kayyisa merasakannya. Dia tahu Bara peduli, tetapi dia tidak ingin membuka luka lamanya, terutama tentang hubungannya dengan Alfaro.
"Aku... aku baik-baik saja," jawab Kayyisa, berusaha terdengar meyakinkan, meskipun suaranya bergetar. Dia berusaha tersenyum, tetapi senyumnya tampak dipaksakan.
Bara tidak percaya begitu saja. "Kamu pasti nggak baik-baik saja kan? Aku tahu kamu lebih dari itu Kayyisa. Jika ada yang ingin kamu bicarakan, aku di sini untuk mendengarkan,"** katanya, nada suaranya penuh empati.
Kayyisa merasa terjebak. Di satu sisi, dia ingin menjelaskan betapa sakitnya perasaannya setelah putus dengan Alfaro, tetapi di sisi lain, dia tidak ingin membebani Bara dengan semua kerumitan emosional itu. "Tahu aku lebih dari itu katamu?Hubungan kita berakhir pun kamu penyebabnya Bara. Disaat aku memohon, apa kamu peduli? Aku hanya butuh waktu sendiri, Bara. Mungkin lebih baik jika aku pergi," ujarnya sambil berdiri.
Bara terlihat bingung dan sedikit kecewa. "Kayyisa, tunggu! Jangan pergi. Aku cuma ingin menyembuhkan sakitmu." pintanya, ingin agar Kayyisa tetap di sampingnya. Kayyisa berhenti melangkah dengan tangisan yang makin deras. "Menyembuhkan? Jangan sok jadi pahlawan kesiangan kamu Bara! Kamu sudah tidak ada hubungannya lagi denganku. Jadi, jangan temui aku. Kalau kamu tak sengaja melihat aku, abaikan. Aku sudah orang lain untukmu." ucapnya dengan tegas, berusaha menjauh dari Bara.
Sebelum Bara sempat menjawab, Kayyisa melangkah pergi, berusaha menahan air mata yang mengancam akan jatuh. Dia merasa bersalah karena menghindar, tetapi dia tidak siap untuk membuka semua rasa sakit yang dia rasakan. "Semua laki-laki brengsek! Bedebah! Hanya bisa menyakiti perasaan! " pikirnya, emosinya sudah tidak terhatan lagi.
Bara berdiri di sana, terdiam, menyaksikan Kayyisa menjauh. Dia merasakan kekhawatiran dan ketidakpastian. "Aku hanya ingin membantumu, aku masih cinta sama kamu Kayyisa. Aku menyesal." bisiknya, tetapi Kayyisa sudah pergi menjauh.
Kayyisa berjalan menjauh dari taman, berusaha menenangkan pikiran dan perasaannya. Dia merasa kesepian, tetapi pada saat yang sama, dia juga merasa bahwa menjaga rahasia adalah pilihan yang lebih baik saat ini.
"Aku harus berfokus pada diriku sendiri," pikirnya, merasakan beban di hatinya. Meskipun dia tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus menghindar, untuk saat ini, dia memilih untuk menyimpan semua perasaannya dalam hati.
Dengan langkah yang mantap, Kayyisa melanjutkan perjalanannya, berusaha mencari cara untuk mengatasi kesedihannya sendiri, meskipun itu berarti menjauh dari orang-orang yang peduli padanya. Dia berharap, suatu saat nanti, dia akan menemukan keberanian untuk berbagi apa yang sebenarnya terjadi dan menerima dukungan yang dia butuhkan.
...****************...
Malam itu, suasana di rumah Elvano terasa tegang. Setelah melihat rekaman CCTV di ruang kerjanya, Elvano merasa tidak bisa lagi menyimpan rahasia yang mengganggu pikirannya. Dia tahu bahwa apa yang dia saksikan bisa menghancurkan hati Kayyisa, tetapi dia juga percaya bahwa kebenaran adalah hal yang paling penting.
Elvano memanggil Shereny ke ruang kerjanya. "Sayang, kita perlu bicara. Aku baru saja melihat sesuatu yang sangat mengkhawatirkan di CCTV," katanya, suaranya tegas namun penuh kecemasan.
Shereny merasa jantungnya berdegup kencang. "Ada apa sayang? Kamu kayak serius banget deh, " tanyanya, merasakan ketegangan di udara.
Elvano mengangguk, wajahnya serius. "Maaf kalau aku sembunyikan ini dari kamu. Aku melihat Alfaro dan Maya berduaan di ruang kerja aku malam kemarin. Mereka tampak sangat dekat, dan aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan di antara mereka."
Shereny terkejut, mulutnya terbuka seolah tidak percaya. "Apa? Kenapa mereka bisa berada di sini? Kayyisa tidak tahu tentang ini, kan?" tanyanya, khawatir tentang dampak informasi ini pada sahabatnya.
"Tidak, Kayyisa tidak tahu. Dan itulah yang membuatku merasa sangat tidak nyaman. Dia berhak tahu kebenaran tentang apa yang terjadi," jawab Elvano, merasa berat dengan beban yang harus dia sampaikan.
Shereny menghela napas, berusaha mencerna semua informasi ini. "Tapi bagaimana kita bisa memberitahunya? Dia sudah cukup terluka setelah putus dengan Alfaro. Ini bisa menghancurkan hatinya," ucapnya, merasa ragu.
"Aku tahu, dan aku benci harus melakukannya. Tapi jika kita tidak memberitahunya, dia akan terus hidup dalam kebohongan dan ketidakpastian. Kita tidak bisa membiarkan dia terjebak dalam kegelapan ini, bagaimanapun Kayyisa sudah sangat baik padamu, padaku juga." Elvano menegaskan, matanya penuh keyakinan.
Shereny merasa tertekan, tetapi dia tahu bahwa Elvano benar. "Baiklah, kita harus melakukannya dengan hati-hati. Kita perlu mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Kayyisa," katanya, berusaha menyiapkan diri untuk momen yang sulit itu.
Setelah berdiskusi, mereka sepakat untuk mengundang Kayyisa ke rumah mereka. Shereny merasa campur aduk, tetapi dia tahu bahwa kebenaran adalah langkah penting untuk membantu sahabatnya. Shereny memegang tangan Elvano "Biar aku saja yang bicara dengan Kayyisa ya sayang. Aku rasa dia akan lebih nyaman jika bicara denganku."