NovelToon NovelToon
Sekedar Menjadi Ibu Sambung

Sekedar Menjadi Ibu Sambung

Status: tamat
Genre:Tamat / Anak Genius / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menikah Karena Anak
Popularitas:2.3M
Nilai: 4.8
Nama Author: Mommy Ghina

“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.

Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.

“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jangan tinggalkan Ibu, Nak!

Setengah jam sebelumnya ...

Bu Kaila bersama Ayah Iqbal sesampainya di rumah sakit tak menyangka bertemu dengan besannya yang berniat ingin sarapan di salah satu resto siap saji yang ada di lobby rumah sakit.

Di sinilah mereka berempat duduk dan berbicara. Bu Kaila menatap lekat kepada besannya, di saat suaminya menanyakan keadaan Jihan, dan sudah bisa dipastikan jika besannya pasti tahu.

Mau tidak mau Papa Gibran harus menceritakan kondisi Jihan pada besannya secara hati-hati, walau pasti berakhir dengan keadaan yang kurang nyaman. Di kala Papa Gibran mulai bercerita, Mama Erina hanya bisa menundukkan kepalanya, rasanya sungkan untuk menatap Bu Kaila dan Ayah Iqbal. Dan benar saja setelah setengah jam Papa Gibran bercerita, raut wajah Ayah Iqbal terlihat murka sementara Bu Kaila sudah menitik air mata. Ibu mana yang tidak tersayat hatinya mendengar kondisi anaknya dalam keadaan kritis sejak semalam, dan mereka sebagai orang tua tidak mendapatkan kabar secepatnya. Sungguh sesak!

“Kami benar-benar minta maaf Pak Iqbal, Bu Kaila,” ucap Papa Gibran penuh penyesalan. Memang Papa Gibran tidak tahu awal cerita kenapa Jihan bisa menyayatkan pergelangan tangannya, tapi menarik benang merahnya pasti berhubungan dengan putranya sendiri.

Ayah Iqbal untuk saat ini mengepalkan kedua tangannya yang terpaku di atas meja, mau marah itu sudah pasti tapi bukan kepada besannya, namun kepada menantunya. Ayah Iqbal menarik nafasnya dalam-dalam. “Kami ingin melihat anak kami,” balas Ayah Iqbal mengutarakan keinginannya, lalu dia bergerak beranjak dari duduknya dan mengajak istrinya untuk mengikutinya.

“Saya antar Pak Iqbal, Bu Kaila.” Papa Gibran bersama Mama Erina turut berdiri dan mengiring besannya ke lantai dua. Sepanjang jalan menuju ruang observasi tidak ada lagi pembicaraan yang hangat di antara dua keluarga tersebut, yang ada mereka berempat melangkah dan tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

Sesampainya di lantai dua dan hampir mendekati ruang observasi, kebetulan sekali Fathi bersama Kinan. Tampak geram lah Ayah Iqbal melibat menantunya yang kini dia anggap sebagai pria brengsek.

“BUGH!”

Tubuh Fathi terhuyung mengenai daun pintu, wajahnya pun berpaling ke samping akibat bogeman dari ayah mertuanya.

Suara “BUGH” kembali terdengar, Kinan refleks menahan tubuh Fathi agar pria itu tidak jatuh terjerembap.

“Kinan, tolong pergi dari sini!” tegur Papa Gibran dengan sorot netranya tidak sukanya.

“Tapi Om Gibran.” Kinan tidak rela disuruh pergi, apalagi dalam kondisi Fathi dipukul oleh mantan mertua Fathi, ini yang Kinan ketahui untuk status Ayah Iqbal.

“Kalau Om bilang pergi ... ya pergi, kembali ke ruanganmu!” Akhirnya Papa Gibran menaikkan intonasi suaranya, dan sudah tentu membuat Kinan agak tersentak, lalu dia melepaskan tangannya dari lengan Fathi.

“Baik Om Gibran,” jawab Kinan terpaksa patuh untuk meninggalkan Fathi, walau hatinya udah mulai kepo kena Fathi dipukul.

“Kenapa mantan mertuanya Mas Fathi pakai pukul Mas Fathi segala, Memangnya salah apa! Masih untung Mas Fathi mau mengobati Jihan, anaknya sendiri yang cari perkara bundir kok ngamuknya sama Mas Fathi. Ck ... dasar orang miskin emang kayak begitu kelakuannya, lupa diri kalau sudah ditolong!” gerutu batin Kinan saat kakinya melangkah menjauhi ruang observasi.

Netra Ayah Iqbal masih menajam pada menantunya, dan Fathi hanya bisa menundukkan kepalanya sembari menyentuh rahang kokohnya yang terasa sakit.

“PRIA BRENGSEK!” umpat Ayah Iqbal murka. Bu Kaila menyentuh tangan suaminya. “Ayah cukup, kita kesini untuk melihat keadaan Jihan. Dengan Ayah menghajar Fathi tetap tidak akan mengubah keadaan Jihan,” ucap Bu Kaila berusaha menenangi suaminya, kalau tidak Fathi akan kembali dihajar oleh suaminya.

Ayah Iqbal mendengkus kesal dan luar biasa sangat kecewa ada Fathi yang selama ini sudah menjadi menantu terbaik selama menikah dengan Embun, namun kenapa sekarang berbeda.

Pintu ruang observasi sudah dibuka oleh Papa Gibran, dan mereka berempat masuklah ke dalam, tinggallah Fathi terpaku di luar ruangan. Pria itu menarik napasnya dalam-dalam, lalu menengadahkan wajahnya ke langit-langit dengan perasaan yang mulai tidak enak.

“Apa yang akan terjadi setelah ini,” gumam Fathi sendiri dan memelas.

Sementara itu Bu Kaila di dalam ruangan tangisan pecah melihat keadaan anaknya, sedangkan Ayah Igbal menangis dalam diamnya, tapi air matanya sudah mengalir.

“Ya Allah, Nak jangan tinggalkan Ibu Nak ... harusnya waktu itu Ibu lebih peka sama ucapan kamu di rumah!” seru Bu Kali menyesal dalam tangisannya.

Dikecuplah pipi Jihan dengan lembut, diusapnya kening dengan deraian air mata. “Bangun Nak! Ibu gak kuat kalau kamu pergi tinggalkan Ibu. Kenapa bukan Ibu aja yang pergi! Jangan kamu, Nak! Ibu gak sanggup kehilanganmu, cukup Embun saja yang pergi, Nak,” ucap Bu Kaila, tangisannya semakin pecah, dan Ayah Iqbal langsung memeluk istrinya.

“Bangunkan anak kita Ayah! Bilang sama Jihan, kita akan menuruti permintaannya, Ayah!” teriak Bu Kaila dalam pelukan suaminya, kedua tangannya mengguncang tubuh suaminya.

Papa Gibran dan Mama Erina turut bersedih dan amat pilu melihat besannya, serta bisa merasakan guncangan hebat yang mendera keluarga besannya. Baru enam bulan yang lalu harus kehilangan anak pertamanya, dan sekarang anak keduanya masih berjuang antar hidup dan mati.

Fathi sudah masuk kembali ke dalam ruang observasi dan hanya bisa berdiri di sudut ruangan, kakinya sangat berat untuk mendekati karena rasa bersalahnya.

Dalam beberapa menit Ayah Iqbal membiarkan istrinya menangis, setelahnya barulah dia mengurai pelukannya, lalu bergerak menghampiri putri kecilnya yang suka usil dan selalu ceria.

Dengan rasa hati yang hancur, Ayah Iqbal mengecup kening putrinya lantas air matanya jatuh mengenai kening putri kecilnya. “Maafkan Ayah, Nak. Bangunlah Jihan, Ayah sangat menyesal ... tolong bangunlah, kami tak sanggup jika kamu menyusul Embun,” ucap Ayah Iqbal dengan suaranya yang bergetar hebat.

“Ayah berjanji akan menuruti dan mendengarkan permintaanmu, Nak! Ayah mohon bukalah matamu, Ayah berjanji,” lanjut kata Ayah Iqbal, air matanya yang menetes mengenai kelopak netra Jihan.

Ayah Iqbal mengusap lembut pipi anaknya penuh dengan kasih sayang, bibirnya pun terkatup menahan agar dirinya tidak meledakkan tangisannya, cukup air matanya yang yang terjatuh, tapi sungguh melihat putrinya sangat menyakitkan. Lantas dia menolehkan wajahnya ke arah Fathi berdiri, lalu dia bergerak dengan cepat  mendekati menantunya itu.

“BUGH!” tubuh Fathi terhuyung kembali.

“Selama ini Ayah diamkan kamu menuduh Jihan sebagai biang Embun meninggal. Tapi sekarang justru kamulah membunuh anak saya!” seru Ayah Iqbal, tangannya kembali melayang namun Bu Kaila cepat menahannya.

Fathi tampak tergugu, dan pasrah jika dirinya kembali dihajar oleh mertuanya.

Ayah Iqbal pun menolehkan wajahnya ke samping. “Jangan kotor tangan Ayah, biarlah Allah yang membalas perbuatan Fathi terhadap Jihan,” pinta Bu Kalia, bukan bermaksud membela menantunya tapi justru menyelamatkan suaminya untuk tidak melakukan kesalahan yang fatal. Semua orang pandangannya tertuju pada Fathi, dan tidak memperhatikan tangan Jihan yang sudah mulai bergerak.

“Tapi dia telah membunuh anak kita, Bu!” seru Ayah Iqbal masih dikuasai oleh amarahnya.

“A-Ayah ... A-Ayah,” suara yang begitu pelan memanggil.

 Bersambung ... ✍🏻

 

 

1
Badai Z
🤣🤣🤣modus papa fathi tuh.. dari tadi dia udah bangun kali ya tp pura-pura tidur
Imoy
katanya Jihan bisa taekwondo.. kenapa g dipraktekkin..
Badai Z
widih itu ayah dan anak sama licik dan picik... udah tau nggak disukai fathi masih aja... nggak tau diri mereka 😇😇😇😇
Badai Z
siapa lg tuh yg ngikutin mereka??? kinan kah???
Badai Z
😄😄😄😄
Badai Z
gemeush ih ama klakuan ezra🤣🤣🤣🤣
Badai Z
ada ada ezra... km bukan bantuin papa km malahan buka aibnya.... kira kira jihan kluar tanduk'a nggak ya??? 🤣🤣🤣🤣
Desi Puspitasari
ada yg terbakar TPI bukan api
Badai Z
syedih liat ezra kya gitu
Desi Puspitasari
dasar ulet
Desi Puspitasari
bibit" ulet keket😂
Desi Puspitasari
udah mulai mengandung bawang
Desi Puspitasari
baru nyaho kau pak dokter😂😂
Desi Puspitasari
bagus Jihan jgn lembek
Desi Puspitasari
🤣🤣🤣lucu nih si om
Desi Puspitasari
aduh jgn galak" bang tar jatuh cintrong😂
Desi Puspitasari
seru nih
Badai Z
☺☺☺☺
Badai Z
nyesel kan loe???? lagian si marah marah mulu kerjaan'a... emosian bgt udah kl ngomong selalu nyalahin dan nyakitin jihan lg....
Badai Z
fathi yg aneh.... knpa lg dia bgtu???
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!