Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
{Peringatan! Novel dewasa, pembaca di bawah umur disarankan untuk menjauh}
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Masa Depan
Sejak pasukan pencari berangkat dari goa tambang, suasana menjadi sunyi dan mencekam. Yang tersisa di dalam hanyalah Kobold wanita, orang tua, dan anak-anak. Mereka memilih untuk tidak membuat keributan, takut suara mereka akan menarik perhatian monster di sekitar hutan.
Ingatan akan serangan Harpy yang terjadi pagi tadi masih membekas kuat. Trauma dan ketakutan menjalar di seluruh penjuru goa. Beberapa Kobold muda dan sekelompok Troll ditugaskan berjaga di pintu masuk goa, tetapi keberanian Kobold telah pudar dan hanya ingin bermalas-malasan. Pada akhirnya, hanya para Troll yang tetap berjaga, dibayar dengan imbalan makanan.
Sekarang sudah satu hari semenjak kepergian pasukan pencari. Ketidak pastian tentang nasib mereka membuat banyak spekulasi buruk menyebar.
***
Di Pintu Masuk Goa
"Hmmm... burung?" gumam salah satu Troll sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, melihat sesuatu mendekat dari kejauhan.
"Burung! Burung yang banyak sekali!" seru Troll lainnya, suaranya penuh kegembiraan.
"Apakah burung itu bisa dimakan?" tanya Troll lain, air liurnya menetes membayangkan makanan lezat.
Meskipun memiliki tubuh besar dan kekuatan yang mengesankan, sayangnya, para Troll hanya memiliki kecerdasan setara anak berusia lima tahun. Mereka tidak berpikir untuk melaporkan apa yang dilihat pada para Kobold. Sebaliknya, mereka malah bersorak-sorai, berputar-putar seperti melakukan tarian ritual yang aneh.
"Burung! Burung! Burung!" seru para Troll sambil tertawa gembira.
Suara gaduh para Troll membangunkan seorang Kobold muda yang bertugas berjaga di dalam goa. Dengan wajah kesal dan mata yang masih mengantuk, ia keluar sambil menggerutu.
"Tch, dasar bodoh, kenapa berisik sekali di pagi-pagi begini!" ujarnya kesal sambil mengusap matanya.
Pemandangan para Troll yang menari berputar-putar membuatnya naik pitam. "Hei, makhluk bodoh! Apa yang kalian lakukan?!" bentaknya.
"Burung! Burung! Burung!" Namun, para Troll tetap tidak menggubrisnya.
Dengan rasa penasaran yang memuncak, Kobold itu mendongak ke langit. Matanya membelalak saat melihat sebuah benda raksasa melayang di udara, dikelilingi oleh puluhan Harpy.
"Gawat! Mereka kembali!" teriaknya panik.
Tanpa membuang waktu, ia berlari masuk ke dalam goa, memberi tahu semua Kobold bahwa Harpy datang untuk menyerang lagi. Kabar itu menyebar cepat seperti api, membuat semua penghuni goa dilanda kepanikan. Mereka mengira pasukan Konjing telah gagal dan justru memprovokasi kemarahan para Harpy.
***
Kepanikan Menyebar
"Ayo cepat, kita kabur dari sini!" seru salah satu Kobold tua, wajahnya pucat pasi.
"Tidak! Kita lebih aman jika tetap bersembunyi di dalam goa!" bantah Kobold lainnya.
Dua pendapat itu memicu perdebatan sengit. Beberapa Kobold ingin lari ke hutan, sementara yang lain merasa goa adalah tempat teraman untuk bersembunyi. Kebingungan merajalela, hingga akhirnya tidak ada solusi yang bisa diambil.
Sedangkan di luar, suara gemuruh kepakan sayap semakin mendekat. Para Kobold merasakan teror menyelimuti mereka. Wajah-wajah ketakutan menatap pintu masuk goa, yakin bahwa kematian dalam wujud Harpy telah datang.
Namun tiba-tiba, suara familiar menggema dari luar.
"Hei! Kenapa kalian tidak keluar dan menyambut kami?!" seru suara lantang penuh emosi.
Semua Kobold terdiam. "Konjing?" gumam mereka tak percaya. Bagaimana mungkin mereka mendengar suara Konjing yang dikira telah tewas?
"Itu pasti tipuan para Harpy!" ujar seorang Kobold tua, suaranya gemetar. Kobold lain mengangguk setuju, percaya bahwa ini hanyalah muslihat licik untuk memancing mereka keluar.
"Apa cuma para Troll di sini yang tahu cara menyambut pahlawan yang pulang berburu, hah?!" suara Konjing terdengar lebih keras dan marah.
Ucapan itu memicu kemarahan para Kobold yang bersembunyi. "Tua bangka sialan! Pergi kau! Tidak ada makanan untukmu!" teriak salah satu Kobold tua.
Keadaan menjadi sunyi untuk sesaat. Hingga akhir ledakan amarah Konjing tidak bisa ditahan. "Dasar bodoh! Aku hanya pergi satu hari, dan kalian sudah kehilangan akal sehat!" geramnya.
Konjing memberi isyarat pada pasukannya untuk menghampiri goa dan memberikan "pelajaran" pada para Kobold yang tidak tahu berterima kasih.
Wira yang baru saja turun dari perahu udara, merasa kebingungan dengan keadaan di goa tambang. Namun, ia memutuskan untuk tidak ikut campur dengan maslah para Kobold. Karena ada masalah yang lebih mendesak yang harus diselesaikan.
Dengan tenang, Wira memberikan makanan sebagai hadiah untuk para Troll yang menyambut mereka dengan suka cita. Setelah itu, ia mengundang Tahlira untuk berbicara tentang rencana membuat sarang Harpy di dalam Dungeon.
***
Saat membebaskan Konlot, Wira dan rombongannya juga menyelamatkan para pejantan dari berbagai ras yang telah diculik oleh para Harpy. Dengan langkah berat dan wajah bingung, para mantan korban itu mengikuti Wira turun dari perahu udara.
"Sekarang kalian bebas," kata Wira pada mereka dengan suara penuh keceriaan.
Namun, tidak ada reaksi. Mereka semua terlihat kebingungan, seolah tak tahu apa yang harus dilakukan setelah terbebas dari cengkeraman para Harpy. Hingga akhirnya, seorang Minotaur dengan tubuh kekar dan mata ragu melangkah maju.
"Apakah... aku bisa tinggal di goa itu?" tanyanya penuh keraguan seraya menunjuk goa yang dijaga Kobold dan Troll. Para korban lain juga menunjukkan keinginan yang sama, meski tak ada yang berani mengutarakannya.
Wira memiringkan kepala, keningnya berkerut.
"Tinggal di goa ini? Bersama para Kobold dan Troll?" tanyanya heran. "Kenapa kalian tidak kembali ke desa atau tempat asal kalian?"
Berbagai alasan pun keluar dari mulut mereka. Ada yang merasa terhina karena telah diculik Harpy, sehingga kehilangan keberanian untuk kembali ke komunitas mereka. Ada pula yang, mengejutkannya, telah jatuh cinta pada para Harpy dan berencana membangun rumah tangga bersama wanita-wanita burung itu.
Wira dapat memahami alasan pertama. Namun, alasan kedua membuatnya tak bisa berkata-kata. ‘Membangun keluarga dengan Harpy? Apa mereka berubah menjadi masokis setelah diculik?’ pikir Wira sambil menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba, seorang Lizardman dengan sikap angkuh maju dan bertanya dengan nada mengintimidasi,
"Jadi, katakan! Kami diizinkan tinggal di sini atau tidak?"
Nada kasar itu langsung memicu reaksi dari ketiga peliharaan Wira. Malika mendesis penuh ancaman, Kinta menyalak garang, dan Sumba meringkik marah. Seakan alam ikut bereaksi, hawa di sekitar mereka terasa berat, langit bergemuruh seakan hujan petir akan segera turun, gunung berapi bergemuruh seakan siap memuntahkan laharnya, dan kabut tebal mulai menyeruak menampilkan bayangan kematian.
Melihat gejolak alam yang diakibatkan oleh kemarahan peliharaannya, Wira segera mengangkat tangannya, menenangkan ketiganya sebelum keadaan menjadi tak terkendali. Alam pun kembali menjadi tenang setelah Kinta, Sumba dan Malika menenangkan diri.
Dengan suara tegas, ia berkata, "Tolong, jika kalian ingin tinggal di sini, kalian harus menjaga sikap dan sopan santun. Ini demi kebaikan kalian sendiri." Ucapnya dipenuhi intimidasi yang kuat membuat para pejantan ketakutan setelah mati.
Rasa takut menyelimuti wajah Lizardman itu. Intimidasi dari Malika, Kinta, dan Sumba membuatnya pucat. Hingga akhir dua tidak bisa menahan diri setelah merasakan intimidasi dari manusia yang sebelumnya dia remehkan. Harga dirinya runtuh ketika ia merasa sesuatu mengalir di kakinya, ia sangat malu karena tak sengaja kencing berdiri.
"Ya... ya, tentu saja," jawabnya cepat, sambil menunduk dalam-dalam.
Wira menghela napas dan berkata,
"Baik, kalian boleh tinggal di sini. Tapi dengan syaratnya jangan membuat keributan, hormati penduduk lain, dan kalian harus membayar sewa."
Para pejantan itu saling berpandangan, bingung dengan syarat sewa. Bagaimana mereka bisa membayar jika tak memiliki uang atau sumber penghasilan? Melihat kebingungan mereka, Wira berpikir cepat.
"Aku akan memberikan pekerjaan bagi kalian yang ingin tinggal di sini," ucapnya, mulai memikirkan rencana jangka panjang.
‘Mungkin aku harus menciptakan mata uang,’ pikirnya dalam hati. Rencana besar mulai terbentuk di benaknya: membangun komunitas multi-ras di dalam goa tambang ini. Jika berhasil, tempat ini bisa berkembang menjadi kota tempat berbagai makhluk hidup berdampingan.
Namun, keraguan masih menghantuinya. Selama ini, Wira tak ingin Hutan Semaraksa berkembang atau menarik perhatian dunia luar. Namun, kenyataan telah berubah. Monster terus bermunculan, seakan hutan ini menjadi titik respawn bagi makhluk-makhluk mengerikan yang entah darimana asalnya.
Dengan tekad yang kuat, Wira bergumam, "Karena itu, aku akan memperluas area Dungeon hingga menutupi seluruh hutan dan Gunung Semaraksa." Rencananya kini sudah jelas. Mengendalikan kekacauan dengan membangun peradaban baru.