Memilik cinta yang begitu besar tak menjamin akan bertakdir. Itulah yang terjadi pada Rayyan Rajendra. Mencintai Alanna Aizza dengan begitu dalam, tapi kenyataan pahit yang harus dia telan. Di mana bukan nama Alanna yang dia sebut di dalam ijab kabul, melainkan adiknya, Anthea Amabel menggantikan kakaknya yang pergi di malam sebelum akad nikah.
Rayyan ingin menolak dan membatalkan pernikahan itu, tapi sang baba menginginkan pernikahan itu tetap dilangsungkan karena dia ingin melihat sang cucu menikah sebelum dia menutup mata.
Akankah Rayyan menerima takdir Tuhan ini? Atau dia akan terus menyalahkan takdir karena sudah tidak adil?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Dalam Pengawasan
Rayyan kembali dengan banyak makanan juga obat yang diresepkan. Mbok Arum menghadang sang pemilik rumah.
"Mas, tadi ada yang bawain makanan buat Mbak Abel."
Dahi Rayyan mengkerut. Tanpa berbicara Mbok Arum segera menyerahkan makanan tersebut kepada majikannya.
"Sengaja belum Mbok buka dan belum dikasih ke Mbak Abel."
Rayyan segera memeriksa dan sebuah nama tertulis di sana.
Get Well Soon cantik. (Alva)
Senyum begitu tipis terukir. Rayyan menyerahkan bungkusan makanan itu ke Mbok Arum.
"Makan saja sama Mbok. Aku udah beliin makanan yang lebih sehat untuk Anthea."
Mbok Arum hanya bisa menatap punggung Rayyan yang semakin menjauh. Dia meyakini jika majikannya itu sedang marah.
Anthea tengah terlelap dengan begitu tenang. Rayyan meletakkan bungkusan makanan dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan bunyi. Ponsel Anthea terus bergetar dan segera Rayyan raih. Nama Alva yang tertera di sana.
"Punya nyali gede nih orang."
Gambar gagang telpon berwarna merah dia tekan. Dan dengan sengaja Rayyan menekan tombol power cukup lama untuk menonaktifkan ponsel Anthea.
Satu jam kemudian, Anthea terbangun. Dia melihat Rayyan sudah ada di kamarnya.
"Ray," panggilnya lemah.
Sang pemilik nama segera mengarahkan pandangannya pada Anthea. Dia segera beranjak dari sofa menuju tempat tidur.
"Makan sekarang, ya. Terus obatnya diminum."
Anthea mengangguk patuh. Rayyan melarang Anthea untuk makansendiri. Biarlah dia yang menyuapi.
"Ray--"
"Kalau lu makan sendiri pasti gak bakalan abis."
Anthea pun terdiam. Dia seperti manusia yang sudah berada di titik pasrah. Perhatian yang Rayyan tunjukkan sedikit membuat Anthea bingung. Disela makannya, dia membuka suara.
"Jangan perlakukan aku seperti ini, Ray."
Kalimat itu mampu membuat Rayyan menatap Anthea dengan dahi yang mengkerut.
"Aku tak mau berhutang Budi."
Rayyan semakin tak mengerti akan ucapan Anthea. Dia meminta penjelasan, tapi Anthea semakin terbungkam.
"Gua ini suami lu, Anthea."
Perkataan itu penuh dengan penekanan. Namun, tak membuat Anthea gentar.
"Aku tak melupakan status kamu itu, Ray. Meskipun hanya pernikahan terpaksa di mana kita tak saling mencinta.'
Rayyan tak bisa menjawab ataupun menyanggah ucapan Anthea. Steroform yang berisi bubur Anthea ambil dari tangan Rayyan.
"Apa salah kalau gua bersikap baik sama lu?"
Anthea terdiam. Dia kembali menatap Rayyan yang tengah menatapnya dengan begitu Lamat.
"Jangan terlalu baik, Ray," balas Anthea.
"Aku cuma takut kebaikan kamu sekarang ini akan membuat aku menjadi sosok yang bergantung pada kamu. Bukan lagi sosok yang mandiri."
"Sekarang, aku hanya mempercayai diriku sendiri untuk bergantung. Orang lain sudah banyak buat kecewanya."
Dari setiap kata yang keluar dari bibir Anthea membuat hati Rayyan sedikit ngilu. Seperti ada luka yang masih menganga, tapi dia coba untuk terus bersikap baik-baik saja.
Keadaan mendadak hening. Anthea kembali melanjutkan makannya. Suara Rayyan membuat atensi Anthea kembali teralihkan.
"Terlalu mandiri juga gak baik, Anthea."
"Lu juga butuh seseorang untuk lu bergantung. Bukan masalah materi, tapi masalah hati," jelas Rayyan dengan pandangan tertuju pada istrinya.
"Semandiri-mandirinya manusia bohong kalau dia tidak pernah merasa kesepian. Dia juga butuh teman walaupun hanya untuk sekedar mendengarkan keluhan."
Mimik wajah Anthea seketika berubah. Dia menundukkan wajahnya.
"Anthea, lihat gua!"
Perlahan, perempuan itu menegakkan kepala. Matanya merah menahan air mata yang ingin meluncur bebas.
"Gak ada yang bisa aku percaya lagi di dunia ini, Ray. Semuanya hanya baik di depan, tapi selalu menusukku di belakang. Semuanya hanya bisa membuatku sakit, hingga aku gak tahu lagi harus dengan cara apa mengobati sakitku ini."
Air mata itupun akhirnya meluncur. Anthea menangis dengan isakan sangat lirih. Awalnya Rayyan ragu, tapi hati kecilnya mendorongnya untuk memeluk tubuh ringkih Anthea.
"Luapkan semuanya yang membuat lu sakit. Gua akan dengarkan."
Isakan itu semakin keras. Tangan Anthea pun perlahan melingkar di pinggang Rayyan. Hati Rayyan terasa disayat-sayat ketika mendengar isakan Anthea.
"GERD itu akan kambuh ketika banyak hal berat yang dia pikirkan. Dekati dia, ajak bicara dari hati ke hati. Tapi, jangan dipaksa dia untuk bercerita. Terkadang, ada orang yang tak bisa bercerita, hanya bisa mengungkapkannya dengan air mata. Maka, peluklah dia. Berikan pelukan ternyamanmu. Dan dari isakan itu kamu akan tahu sedalam apa luka, sedih, sakit juga kecewanya."
Sebelum dia berangkat ke apotek dan membeli bubur, Rayyan menghubungi sang Tante dan bercerita tentang Anthea. Nasihat itu yang diberikan oleh mami Aleena. Dan ternyata benar, sakitnya Anthea karena pikiran berat yang tengah dia tanggung. Namun, Rayyan belum tahu apa yang sebenarnya Anthea pikirkan.
Sepuluh menit kemudian, isakan itu terhenti. Anthea mengendurkan pelukannya dan matanya begitu merah. Begitu juga dengan hidungnya.
"Mau lanjut makan lagi?" Anthea menggeleng.
"Langsung minum obat aja, ya. Terus istirahat."
Anthea begitu patuh dan membuat Rayyan sedikit melengkungkan senyum. Obat yang diberikan Papa Khairan memberikan efek mengantuk. Anthea pun kini sudah terpejam dengan wajah yang tenang.
"Gua akan selalu usahakan jadi pendengar yang baik untuk lu, Anthea. Lu dipaksa mandiri karena keadaan."
Rayyan berpikir seperti itu karena dia memang tidak tahu jikalau Alanna memiliki adik perempuan. Alanna tak pernah bercerita apapun. Begitu juga dengan ibunya. Jadi, Rayyan menganggap jika Alanna anak tunggal. Ternyata, dia dibohongi.
Memilih tidur di kamar Anthea karena Rayyan masih khawatir akan kondisi istrinya. Dia juga rela tidur di sofa yang sebenarnya tak cukup untuk tubuhnya.
Anthea yang sudah terjaga sedari jam empat pagi hanya memiringkan tubuhnya menatap Rayyan yang terbaring di sofa. Lengkungan senyum terukir.
"Ayah, apakah jiwa Ayah sedang bersemayam di tubuh Rayyan? Kenapa aku merasa nyaman dan tenang ketika dipeluknya? Aku juga merasakan kehangatan setiap kali melihat sorot matanya."
"Kenapa liatin gua terus?"
Mata Anthea mengerjap karena terkejut mendengar suara Rayyan. Langkah kaki Rayyan mulai mendekat. Dia kembali memeriksa suhu tubuh Anthea.
"Jangan kerja dulu. Gua juga mau kerja di rumah."
Anthea terkejut mendengarnya. Dia menatap Rayyan seakan meminta penjelasan.
"Jarak kantor ke rumah cukup memakan waktu. Kalau lu kenapa-kenapa gua gak bisa gerak cepat."
"Kan ada Mbok Arum, Ray. Lagian aku udah baikan."
"Tetap lu harus terus dalam pengawasan gua."
Rayyan pun meninggalkan kamar Anthea. Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya.
"Mimpi siyalan!" erangnya.
Ya, semalam dia bermimpi jika lelaki bernama Alva itu menjenguk Anthea dan malah bercanda di dalam rumahnya. Di mana Anthea begitu bahagia bersama si Alva Alva itu. Dan itulah yang menjadi alasan Rayyan akan bekerja di rumah hari ini.
.
Sesuai dengan ucapan Rayyan dia terus mengawasi Anthea sambil bekerja. Dia juga sudah menghubungi orang untuk memasang cctv di rumah.
"Mau buah gak?" Anthea membawa piring berisi buah mendekat ke arah Rayyan.
"Simpan aja di meja."
Baru hendak mendekat, perutnya terasa sakit. Ringisan kecil itu mampu didengar Rayyan dan segera Rayyan menghampiri Anthea. Piring yang ada di tangan Anthea segera Rayyan ambil dan letakkan di sembarang tempat. Dia segera membawa tubuh Anthea ke atas tempat tidur.
"Jangan banyak gerak dulu."
Rayyan mengambil kompresan yang memang sedari pagi sudah Mbok Arum siapkan untuk jaga-jaga. Dia menatap Anthea untuk meminta ijin menyingkap kaos yang digunakan. Anggukan sebagai persetujuan.
Kompresan itu Rayyan letakkan di atas perut Anthea. Namun, Anthea meminta tangan Rayyan tak dilepas dari kompresan itu. Rayyan hanya mengikutinya saja.
"Kalau kamu pegel, berbaringlah. Space-nya masih cukup kok."
.
Suara bel berbunyi membuat Mbok Arum segera menuju pintu. Seorang lelaki tampan dengan penampilan rapi sudah tersenyum kepadanya.
"Saya mau jenguk Abel."
Lelaki itu adalah lelaki yang kemarin mengantarkan Anthea. Sekarang, lelaki itu membawa banyak bungkusan.
"Sebentar ya, Mas. Saya lihat Mbak Abelnya."
Lelaki itu mengangguk dengan senyum yang belum pudar. Mbok Arum menuju kamar Anthea. Dan ketika membuka pintu dia dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya tak bisa berkata. Namun, rona bahagia terpancar di sana. Mbok Arum memilih untuk menutup pintu kamar itu dengan pelan. Dan kembali ke depan.
"Maaf, Mas. Mbak Abelnya lagi tidur."
"Apa gak bisa dibangunin? Saya ingin tahu keadaannya," paksanya.
"Tidak tega, Mas. Mbak Abel tidurnya sangat nyenyak karena lagi dikekepin."
"Dikekepin? Maksudnya? Abel--"
...*** BERSAMBUNG ***...
Kenceng gak nih komennya? Tembus 50 komen up lagi.
bln ny prihatin dengan traumaanak ny
malah menyiksa batin ny pula, dengan kelakuan kasar ny.
sungguh tak pantas di sebut seorang ibu
anthea betul2 hidup sendiri.
miris,,,tapi kamu harus tenang sekarang anthea,,ada rayyan tempat sandaranmu.
buka hatimu tuk rayyan,,,,