Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
"Mas, kamu nanti gajian kan?" Tanya Munaroh saat Bimo sudah mau berangkat ke garasi tempatnya bekerja selama ini.
"Belum tau, ini juga masih akhir bulan." Sahut Bimo acuh, sudah menduga kemana arah pembicaraan istrinya. Setiap kalian Bimo gajian, Munaroh pasti akan meminta uang untuk dia kirim ke kampung untuk jatah orang tuanya dan anaknya yang dari pernikahan sebelumnya. Munaroh dinikahi Bimo sudah janda anak satu. Suami Munaroh tidak sanggup lagi menghadapi sikap Munaroh yang selalu menuntut dan sering selingkuh demi rupiah.
"CK, biasanya juga akhir bulan begini kamu gajian. Aku gak mau tau ya, mas. Pokoknya aku nanti minta uang lebih, karena ibuku kemarin telpon kalau beras dan kebutuhan yang lain pada habis." Oceh Munaroh dengan wajah bersungut-sungut. Bimo cuma diam tak menanggapi, karena ujungnya pasti panjang.
"Sudahlah, aku mau berangkat kerja dulu." Bimo langsung menaiki motor matik miliknya tanpa lagi menoleh ke arah istrinya yang malah mencak mencak gak terima karena di acuhkan.
"Awas ya kamu, mas. Aku tidak akan diam saja kalau kamu menghabiskan uang gajimu untuk keluarga benalumu itu. Aku istrimu, aku yang lebih berhak dengan semua uangmu. Dan aku juga akan pastikan kalau kamu juga tidak akan pernah memberikan uang sama Luna dan mantan istrimu yang sok alim itu." Geram Munaroh dengan mulut komat Kamit. Dengan membawa rasa kesal, Munaroh memutuskan untuk mandi, karena ada bau yang tercium kurang sedap dari area intimnya.
"Kenapa sih, tumben aku keputihan gak habis habis. Padahal biasanya cuma dua tiga hari paling lama. Tapi ini sudah hampir seminggu masih keluar dan baunya gak enak gini. Mungkin karena aku stres, jadi berpengaruh pada hormonku. Ini semua gara gara mas Bimo yang semakin seenaknya saja." Rutuk Munaroh di sela sela mandinya.
Sedangkan di lain tempat, Bimo nampak termenung di pos jaganya. Wajahnya nampak lesu dengan banyaknya beban pikiran yang dia tanggung.
"Bim, masih pagi ngelamun saja, entar kesambet genderuwo kapok." Tergur Slamet yang sedari tadi memperhatikan teman satu kerjanya itu.
"Pusing aku, met. Makin hari makin blangsak saja hidupku. Keluargaku semua menggantungkan nasibnya padaku, belum lagi Munaroh selalu saja ngoceh dan menuntut macam macam, lama lama gila aku kalau begini terus." Curhat Bimo yang mengusap wajahnya dengan kasar. Jelas sekali dia begitu tertekan dengan permasalahan hidupnya akhir akhir ini.
Slamet justru terkekeh mendengar keluhan Bimo. Laki laki yang sudah menjadi partner kerja Bimo selama belasan tahun itu sangat paham dan tau bagaimana cerita hidup Bimo.
"Kamu kok malah ketawa, tau temannya lagi pusing malah ngejek." Sungut Bimo tak terima, namun tawa Slamet justru semakin kencang mendengar ocehan Bimo.
"Kamu tau gak Bim, apa yang kamu alami sekarang itu adalah buah dari kelakuan kamu sendiri. Pernah gak kamu berpikir kalau ini balasan dari sikap dzolim kamu sama Laras dan Luna. Mungkin apa yang sekarang kamu alami belum seberapa dari derita dan rasa sakit yang dialami oleh Laras dan Luna. Tapi kamu harus ingat, hukum tabur tuai itu berlaku dan nyata." Sambung Slamet setelah berhenti dari menertawakan Bimo.
"Halah, itu cuma mitos saja. Laras itu pembangkang, sok alim dan selalu merasa benar. Wajar kalau aku tidak sudi memberikan uang buat Luna, karena aku tau, pasti yang habisin uangnya ya Laras. Enak saja itu perempuan, sudah bukan siapa siapa kok masih mengharapkan uang dariku. Jadi, apa yang aku alami ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan si Laras itu. Tapi, ngomong ngomong gimana ya kabarnya perempuan itu, pasti sekarang makin kucel, atau sedang Luntang Lantung gak jelas karena gak bisa apa apa, dia kan pemalas. Miskin saja belagu minta cerai, pasti nyesel dan sering nangis tuh karena menyesal aku ceraikan." Ucap Bimo panjang lebar, bukannya sadar akan kesalahannya, tapi Bimo justru semakin jumawa dan membenarkan semua sikap dzolim nya pada Laras dan Luna.
"Kamu salah besar, Bim. Laras sekarang makin cantik, dia kelihatan lebih segar dan muda. Dan kayaknya dia sekarang terlihat bahagia, karena sering buat status jalan jalan ketempat hiburan dengan anaknya. Kayaknya bukan Laras yang menyesal cerai dengan kamu, tapi kamu yang akan menyesal bercerai dengan Laras. Munaroh tidak ada apa apanya di bandingkan sama Laras yang sekarang." Sahut Slamet puas, karena bisa membuat Bimo terlihat pias.
"Kaku serius, met? Paling juga kamu Ngada Ngada biar aku merasa bersalah, mana mungkin perempuan miskin kayak Laras bisa berubah total hidupnya dalam sekejap. Dia saja susah gak punya siapa siapa." Sinis Bimo yang berusaha menyangkal ucapan Slamet tentang mantan istrinya. Namun dalam hatinya sesungguhnya Bimo juga jadi penasaran. Laras memang cantik saat mereka baru bertemu dulu, tapi sejak jadi istrinya dan melahirkan Luna, Laras terlihat Kumal dan kusam.
"Aku cuma ngomong faktanya saja, Bim. Percaya atau tidak itu urusan kamu. Tapi yang pasti, jujur aku ikut senang melihat Laras bahagia dan hidup lebih baik setelah berpisah darimu. Karena, sejak dia kamu selingkuhi, hidupnya selalu tersiksa lahir dan batin. Ingat omonganku tadi, Bim. Hidup di dunia ini hukumnya tabur tuai, semoga kamu sudah siap menerima apa yang akan kamu tuai." Sambung Slamet dengan senyuman tipis, dari dulu Slamet sudah sering mengingatkan Bimo untuk tidak menyakiti Laras, tapi justru Bimo semakin menyiksa perempuan yang dinikahi sah demi membela perempuan partner zina nya.
Bimo langsung terdiam, pikirannya mulai tidak tenang dengan apa yang Slamet ucapkan. Slamet tidak perduli, dia kembali menjalankan tugasnya dengan patroli di penjuru gudang dengan mengendarai motornya.
"Apa benar yang Slamet katakan, apa Laras sekarang hidupnya lebih baik, apa dia jadi cantik kayak dulu lagi. Aku jadi penasaran, kalau memang benar, dia kerja apa dan dimana dan tentunya dia pasti punya uang banyak. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Besok aku akan berkunjung ke rumahnya dengan dalih ingin bertemu Luna. Bagaimanapun Luna itu anakku, aku berhak menemui anakku kapanpun aku mau." Batin Bimo bermonolog, bahkan laki laki yang terlihat makin kurus itu nampak senyum senyum membayangkan kecantikan Laras yang dulu membuatnya tergila gila.
Sudah pukul lima sore, Bimo sampai di kontrakan yang fis tempati bersama Munaroh. Perempuan yang menjadi istrinya itu sudah terlihat duduk di depan rumah menunggu kepulangan Bimo. Senyumnya merekah kala melihat kedatangan Bimo.
"Mas, akhirnya kamu pulang. Aku sudah nungguin kamu dari tadi." Cerocos Munaroh yang langsung berdiri menghampiri suaminya.
"Ngapain kamu nungguin aku, biasanya juga gak pernah. Mana Brio, aku mau ajak dia jenguk Dewi." Balas Bimo acuh, matanya mengitari lapangan yang ada di depan rumahnya. Terlihat bocah umur lima tahun itu berlarian dengan teman teman sebayanya.
"CK, sebelum kamu pergi. Aku minta uang jatahku dulu, karena kalau kamu sudah dengan keluarga kamu itu, pasti uangmu langsung habis. Apalagi Dewi keponakan kamu itu, selalu saja suka minta ini itu kayak kamu bapaknya saja." Sungut Munaroh dengan wajah masam, tanpa banyak bicara, Bimo mengeluarkan uang dari dompetnya sebanyak tujuh lembar berwarna merah pada Munaroh.
"Kamu gak salah mas, kamu kasih aku tujuh ratus ribu saja?" Teriak Munaroh dengan dada kembang kempis. Bimo tak perduli, laki laki tinggi kurus itu justru masuk ke dalam rumah tanpa perduli dengan ocehan istrinya. Munaroh semakin berang, dengan kemarahan yang memuncak, Munaroh melempar Bimo dengan sandal yang dia pakai hingga mengenai punggung Bimo.
"Kurang ajar kamu, Munaroh. Dasar perempuan sinting." Geram Bimo dan melangkah menuju istrinya yang nampak tak bersalah. Dengan sekuat tenaga Bimo langsung menampar Munaroh berkali kali hingga membuat perempuan itu tersungkur dengan darah keluar dari mulut dan hidungnya.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..