Mawar Ni Utami gadis yatim piatu yang dua kali dipecat sebagai buruh. Dia yang hidup dalam kekurangan bersama Nenek nya yang sakit sakitan membuat semakin terpuruk keadaannya.
Namun suatu hari dia mendapatkan sebuah buku kuno dan dari buku itu dia mendapat petunjuk untuk bisa mengubah nasibnya..
Bagaimana kisah Mawar Ni? yukkk guys kita ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2.
Hari pun terus berlalu dan waktu panen pun telah tiba. Mawar Ni dan Nenek Mami pagi pagi sudah tersenyum ceria bersiap siap untuk pergi ke sawah. Formulir pendaftaran karyawan pabrik bulu mata sudah diisi oleh Mawar Ni tetapi masih tersimpan rapi di dalam lemari dia tidak berani memberikan formulir itu pada Dahlia sebab Sang Nenek tetap tidak mengizinkan.
“Ayo Ni cepat ... “ teriak Nenek Mami sambil membawa satu karung yang dilipat rapi. Mereka berdua akan pergi ke sawah untuk melakukan ngasak yaitu memungut sisa sisa padi setelah panen.
“Ayo Nek.” Ucap Mawar Ni dan segera mengeluarkan sepeda ontelnya.
Mawar Ni pun mengayuh sepeda ontel itu dan Nenek Marmi membonceng dengan memegang erat pinggang Sang cucu. Sepeda terus menyusuri jalan desa menuju ke lokasi persawahan.
Beberapa menit kemudian mereka pun sudah sampai di lokasi persawahan. Di lahan lahan sawah itu sudah terlihat sangat ramai para buruh tani laki laki yang bekerja memanen padi. Dulu waktu Nenek Marmi masih muda dia pun juga bekerja memanen padi memakai ani ani. Tetapi berjalannya waktu pemilik lahan menghendaki kaum laki laki saja yang bekerja memakai alat sabit agar lebih cepat dan memakai mesin yang dioperasikan oleh pekerja laki laki pula.
“Wah sudah banyak yang menunggu untuk ngasak Nek.” Ucap Mawar Ni saat melihat banyak kaum lansia dan perempuan menunggu di tepi jalan. Mawar Ni pun menghentikan sepeda nya di bawah pohon yang rindang di tepi jalan.
“Iya Ni, itu mesin panen Juragan Han tambah banyak.” Gumam Nenek sambil turun dari boncengan.
Para lansia dan perempuan kaum marginal, golongan ekonomi bawah, memang sudah biasa melakukan ngasak di saat panen tiba. Kaum pemilik lahan tidak marah dengan hadirnya orang orang yang melakukan ngasak. Pemilik lahan tidak merasa rugi, dan itung itung berbagi rejeki pada kaum marginal.
“Sudah dari tadi kamu Jum?” tanya Nenek pada seorang wanita muda yang menggendong anak laki laki usia dua tahun dan di sampingnya ada anak perempuan usia lima tahun. Jumilah ada lah seorang janda beranak dua. Dia pun antri menunggu panen padi selesai.
“Iya Nek, katanya panen akan selesai lebih cepat karena sekarang banyak memakai mesin panen.” Ucap Jumilah sambil tersenyum lebar. Baginya kegiatan ngasak sangat membantu perekonomian nya. Anak pertama nya pun juga sudah sangat pintar untuk membantu mengambil sisa sisa panen yang tertinggal atau terjatuh saat pengangkutan.
Mereka para pengasak duduk di tepi jalan sambil berbincang bincang menunggu pekerja memanen selesai mengangkut padi padi.
Beberapa waktu kemudian tampak para pekerja laki laki sudah mengangkut padi padi hasil panen ke mobil mobil truk dan mobil pick up.
“Mak, sudah itu! ayo!” teriak Ayu anak pertama Jumilah sambil bangkit berdiri dengan tangan membawa kantong plastik tebal besar kosong yang siap untuk tempat padi sisa panen yang akan dia pungut.
Para lansia dan perempuan kaum marginal itu pun segera berjalan menuju ke area persawahan. Mereka mengambil padi padi yang terjatuh atau padi padi yang masih tertinggal di tanaman padi yang tidak ikut terpotong oleh pekerja, tanpa sengaja.
“Lumayan ya, bisa untuk makan menyambung hidup hasil ngasak. Aku kadang dapat tiga karung Ni, kalau dikumpulkan.” Ucap Jumilah sambil memunguti padi dan di taruh di dalam karung. Para pengasak memang mencari sisa padi hingga beberapa hari berkeliling dari sawah satu ke sawah lainnya yang habis di panen.
“Iya mbak lumayan banget, sambil nunggu masa tanam tiba kita dapat rejeki dari ngasak.” Ucap Mawar Ni juga sambil memasukkan padi padi ke dalam karung.
Mereka semua tampak bercanda ria, riang gembira sambil terus memungut sisa sisa padi. Teriknya sinar mentari tidak dihiraukan oleh mereka. Tampak Ayu pun tas plastik di tangannya sudah berisi banyak padi.
“Mak... lihat aku sudah dapat banyak!” teriak Ayu sambil tersenyum lebar kedua tangan mungilnya membawa kantong plastik sudah berisi banyak padi.
Akan tetapi tiba tiba mereka semua kaget karena bunyi klakson mobil yang sangat keras.
DIN
DIN
DIN
Semua para pengasak menoleh ke arah suara. Sebuah mobil sedan bagus berhenti di pinggir jalan.
Dan sesaat kemudian pintu mobil terbuka. Muncul sosok Irawan bersama Pak Handoko. Ekspresi wajah Irawan tampak tegang, wajah memerah. Dia menutup pintu mobil dengan keras dan berjalan dengan sangat cepat.
“Wan, biar saja mereka mengambil sisa sisa panen. Itu sudah tradisi di masyarakat kita, tidak rugi Wan.” Ucap Pak Handoko sambil berjalan di belakang Irawan.
“Tidak bisa Pa. Itu tidak boleh dilakukan di sawah sawah kita, Itu mengurangi keuntungan kita. Sama saja merugikan kita Pa.” Ucap Irawan sambil terus melangkah. Pak Handoko yang mengikuti tampak nafasnya ngos ngosan.
Tidak lama kemudian Irawan berdiri menghadap ke lahan sawah sambil berkacak pinggang menatap orang orang yang sedang ngasak dengan tatapan tajam.
“Hai kalian semua, pergi dari sawahku sekarang juga!” teriak Irawan dengan sangat lantang.
Para pengasak sekarang tidak hanya kaget tetapi juga sangat ketakutan.
“Itu juragan muda menyuruh kita pergi. Ayo kita pergi sekarang.” Ucap seorang Kakek yang juga sebagai pengasak di tempat itu.
“Ayo Nek, cepat kita pergi.” Ucap Mawar Ni , Nenek pun melangkah di samping Mawar Ni ikut membantu membawa karung yang berisi gabah itu. Namun isinya separuh saja belum ada .
“Hei! Tinggalkan semua padi padi itu dan jangan kalian bawa sebutir sekalipun!” Teriak Irawan lagi sebab para pengasak berjalan sambil membawa hasil pungutan mereka.
“Hah?” teriak kaget para pengasak.
“Gan, tolong biarlah ini kami bawa.” Suara mereka mengiba dengan penuh permohonan.
“Tidak boleh, aku akan rugi jika kalian mengambil padi padi yang ada di sawahku. “ teriak Irawan lagi.
Tampak wajah wajah para pengasak itu langsung terlihat sangat sedih dan kecewa. Ayu yang paham situasi tampak menangis tersedu sedu sambil memeluk kantong plastik berwarna putih susu yang telah berisi padi yang dia pungut.
Hati Mawar Ni tidak tega melihat kesedihan teman teman pengasak nya, terlebih melihat Ayu sebab ibarat dia melihat dirinya waktu kecil. Di saat dia seumuran Ayu dia pun ikut Sang Nenek ngasak.
“Gan, tolong biarlah yang sudah kami ambil ini kami bawa, ini yang terakhir kali. Kami janji.” Ucap Mawar Ni memberanikan diri sambil menatap Irawan.
“Sekali aku bilang tidak bisa, ya tidak bisa! Cepat tinggalkan padi padi yang sudah kalian ambil dan segera pergi kalian semua!” teriak Irawan tanpa menatap Mawar Ni .
Para pengasak pun dengan berat hati mengeluarkan padi padi di dalam karung mereka. Ekspresi wajah mereka tampak sedih dan sangat kecewa.
Ayu pun sambil terus menangis membuang padi padi yang sudah dia pungut ke sawah lagi.
“Hu... hu... hu... hu... aku sudah capek mengambilnya Mbak Ni tapi ga boleh aku bawa hu... hu.. hu...”
“Ayo Yu.. kita cari lagi di tempat lain keburu siang..” ucap Mawar Ni sambil menggandeng tangan Ayu agar cepat melangkah pergi. Karena Irawan terus melotot ke arah padi padi sisa di sawah.
“Seperti itukah hasil pendidikan tinggi Juragan muda? Ngasak adalah tradisi di desa ini yang sudah turun temurun dan bisa digunakan untuk jaring pengaman sosial bagi kami kaum marginal ekonomi rendah...” ucap Mawar Ni agak keras, sambil berjalan menuntun sang nenek yang langsung lemas tubuhnya karena kecewa dan Ayu yang masih terus menangis..
“Masa bodo! Bukan urusanku!” teriak Irawan