Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26.
Pagi hari ...
Fadila masih betah dalam tidur nyenyaknya dan tak merasa terusik sedikitpun. Biasanya Fadila tidur selalu dalam ketakutan dan kegelisahan sejak perceraiannya dan memiliki Anan.
Kini rasanya semua beban berat di pundak dan hati Fadila berkurang. Hingga ia bisa tidur nyenyak sampai matahari terbit.
"Mi!"
Anan yang sudah bangun dan duduk sendirian di pinggir ranjang tempat semula Fadila tidur. Bocah itu mulai merasa kesepian dan bosan tanpa teman.
"Mami! Daddy!"
Membangunkan kedua orang tuanya adalah pilihan terbaik bagi Anan. Sampai yang di bangunkan tak kunjung membuka mata, dan malah saling memeluk.
"Bangun, bangun, bangun."
Anan menaiki tubuh Fadila yang tersembunyi di dekapan Arnan.
"Daddy! Lepacin Mami aku." Menyadari maminya di peluk sang daddy. Anan memukul pelan tubuh Arnan.
Arnan yang merasakan ada sesuatu menepuk lengannya, perlahan membuka kedua matanya. Dengan setengah sadar, Arnan melihat bocah yang berada di antara dirinya dan sang istri.
"Anan! Kenapa, Nak?" Tanya Arnan.
Pria itu hendak mengucek mata dengan kedua tangannya. Tapi tangan kirinya terasa berat karena ada kepala Fadila di lengan kekarnya itu.
Senyum manis dan bahagia terbit di wajah Arnan. Paginya kini akan selalu terasa indah dan menyenangkan dengan hadirnya Fadila dan Anan.
"Awacs, Daddy! Jangan ambil Mami aku." Anan mendorong tubuh besar Arnan.
Tentu saja tubuh Arnan tidak bergerak sedikitpun. Perbandingan tubuh keduanya yang sangat berbeda jauh membuat Anan tak mampu menggeser daddy nya.
"Daddy, masih mengantuk. Mau bobok lagi sama mami, Anan keluar saja main sama kakek, nenek."
Arnan malah semakin memeluk tubuh mungil Fadila di dekapannya. Anan yang tak mau kalah dengan daddy nya semakin mendorong kuat tubuh Arnan. Bahkan bocah gembul itu tak segan-segan memukuli tangan dan tubuh Arnan.
"Mami, aku! Mami aku, Daddy."
Arnan tertawa melihat wajah menggemaskan Anan yang sedang kesal padanya. Pria itu melepaskan pelukannya pada Fadila dan balik memeluk tubuh Anan.
"Anan, kok cepat banget bangunnya?" Tanya Arnan sembari duduk dengan Anan di pangkuannya.
"Cudah biaca, Mami celalu bangun cepat. Jadinya aku juga ikut bangun cepat," ucap Anan polos.
Arnan menoleh melihat Fadila yang masih pulas. "Tapi itu mami nya masih tidur nyenyak, bahkan gak bangun meski kita ribut." Arnan kembali menatap Anan yang sedang melihat maminya.
"Mami! Aku lapal ..."
"Sst, jangan bangunkan mami. Biar mami tidur sebentar lagi, kita pergi mandi dulu, yuk!"
Arnan mengajak Anan mandi dari pada harus mengganggu tidur Fadila.
"Mandi cama, Daddy." Arnan mengangguk.
Keduanya beranjak dari kasur dan masuk ke dalam kamar mandi bersama. Mereka bahkan berbincang ringan sembari berjalan menuju kamar mandi.
Fadila yang sebenarnya sudah bangun sejak Anan memukuli tubuh suaminya. Memilih untuk tetap diam dan memejamkan mata. Ingin mendengar apa yang akan di lakukan Arnan pada anaknya yang bersikap kurang sopan.
Alangkah hangatnya hati Fadila mendengar interaksi pria beda usia itu. Bahkan tanpa Arnan dan Anan sadari kalau sejak mereka berencana untuk mandi bersama. Fadila sudah mengintip dan bahkan melihat langkah mereka.
Senyum manis wanita terbit melihat bagaimana akrabnya sang anak dengan ayah tirinya.
"Semoga pernikahanku kali ini akan baik-baik saja dan gak ada lagi drama perselingkuhan. Semoga kamu benar-benar menyayangi dan menerima kami dengan tulus, Mas.
Fadila memejamkan mata setelah mengucapkan harapannya. Wanita itu menghela napas panjang lalu bangkit dari baringnya. Duduk menunggu anak dan suaminya selesai mandi.
Fadila mengambil ponselnya dan melihat apakah ada pesan yang masuk. Kedua mata wanita itu melotot saat melihat jam yang ada di ponselnya.
"Apa? Aku terlambat."
Fadila panik saat baru menyadari dirinya terlambat bekerja. Wanita itu bahkan tak melihat pesan yang ada di ponselnya dan berjalan cepat ke sana ke mari.
"Mas! Sudah belum? Aku sudah terlambat bekerja." Menggedor pintu kamar mandi dengan panik. "Mas! Cepetan."
Arnan yang mendengar suara panik istrinya langsung membalut tubuhnya dan Anan dengan handuk. Anan bahkan menatap daddy nya heran mendengar gedoran pintu.
"Ciapa yang pukul-pukul pintu na, Daddy?" Tanya Anan polos.
"Mami," sahut Arnan.
Keduanya keluar dari kamar mandi dan mendapati Fadila yang langsung menerobos masuk kamar mandi begitu saja.
Arnan dan Anan melihat Fadila heran.
"Mami, tenapa?" Tanya bocah itu.
"Daddy, juga gak tahu." Arnan geleng kepala.
Fadila sendiri mempercepat mandinya dan segera keluar kamar mandi. Berganti pakaian kerja, merapikan penampilan dan berbalik.
Baru sadar kalau ia sudah mengabaikan suami dan anaknya yang sejak tadi memandanginya bingung. Anan sudah rapi dan tampan dengan pakaiannya.
Tentu Arnan yang memakaikan pakaian bocah itu. Sedangkan Arnan sendiri baru memakai celana bahan hitam dan kemeja putih yang bahkan belum rapi.
Kedua tangan Arnan terlihat jelas bedak yang baru di gunakannya untuk membedaki Anan.
"Kenapa?" Tanya Fadila heran karena terus di tatap.
"Kamu yang kenapa, Mi? Sedari tadi kelihatan panik dan buru-buru banget," sahut Arnan.
Fadila menghela napas lalu mendekati Arnan. Karena Anan sudah rapi, maka Fadila ingin membantu Arnan merapikan penampilan pria itu.
"Masukin kemeja kamu." Wanita itu mengambil dasi yang tergeletak di kasur.
Arnan menuruti Fadila dan memasukkan kemejanya ke dalam celana hingga rapi. Fadila merapikan kerah kemeja suaminya lalu memasangkan dasi.
Dengan telaten Fadila memasangkan dasi pada Arnan. Sedangkan pria itu sendiri memandangi istrinya lekat dan penuh kebahagiaan.
"Terimakasih," ucap Arnan setelah Fadila selesai dengan dasinya.
Fadila hanya membalas dengan senyuman saja. Mereka bersiap dan keluar kamar setelahnya.
Mama Marni dan papa Simon yang sudaj menunggu di meja makan tersenyum melihat kehadiran keluarga kecil anaknya.
"Akhirnya kalian muncul juga. Sini Anan, sama Nenek."
Wanita tua itu mengulurkan tangan kanannya dan di sambut oleh Anan yang berlari mendatanginya.
"Mau makan, Nek." Mama marni mengangguk. "Iya, makannya sama Nenek, sama Kakek."
Marni mendudukkan Arnan di antara dirinya dan sang suami. Mereka berdua melayani Anan dengan sangat baik dan lembut. Kasih sayang mereka curahkan untuk cucu mereka yang menggemaskan itu.
"Ini! Makanlah."
Fadila tersentak kaget saat Arnan meletakkan piring berisi sarapan di hadapannya. Karena terlalu asik melihat kebahagiaan anaknya yang kini memiliki keluarga lengkap yang sangat menerimanya.
Fadila sampai lupa untuk mengambil sarapan untuk suaminya. Bahkan untuk dirinya sendiri saja ia lupa dan malah terus menatap Anan.
"Tapi ... Ini punya, Mas." Arnan menggeleng. " Itu untuk kamu, Mas ambil lagi nih." Pria itu mengisi piringnya dengan nasi dan lauk.
Meski tinggal di negeri orang selama beberapa tahun belakangan. Arnan tak pernah bisa meninggalkan nasi. Bukan makan namanya kalau tidak ada nasi. Dan belum kenyang kalau belum makan nasi menurutnya.
"Maaf, Ma. Aku gak bantu siapin sarapannya," ucap Fadila sebelum sarapan.
Mama Marni yang sedang sibuk menyuapi Anan menoleh pada menantunya yang nampak ketakutan. Bahkan Fadila terlihat gemetaran karena rasa takutnya.
"Gak masalah, sayang. Kamu itu menantu Mama yang sudah seperti anak Mama sendiri. Bukan pembantu yang harus mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak di dapur. Semua itu tugas pembantu, dan di sini sudah ada pembantu yang akan mengerjakan semuanya."
Mama Marni tersenyum tulus dan menatap lembut Fadila. Berharap menantunya tidak merasa takut padanya dan mau menganggapnya mama sendiri.
"Te ... Terimakasih, M-Ma." Fadila terbata karena tak menyangka dengan perlakuan mama mertuanya.
Arnan menggenggam tangan Fadila dan tersenyum pada istrinya itu. Fadila merasa hangat hatinya mendapatkan perlakuan lembut dari keluarga suaminya.